Tuesday 15 March 2016

Surat Terbuka untuk Bu Ratna

Riduan Situmorang--Selamat pagi, Bu Ratna. Semoga Ibu hari ini baik-baik saja. Oh, iya, barangkali menurut Ibu sapaan ini hanya sekadar basa-basi. Saya klaim itu tidak, Bu. Saya tulus menyapa Ibu, walau tidak setulus ketika anak menyapa ibunya. Saya juga tulus mendoakan supaya Ibu baik-baik saja. Bukan semata supaya saya sopan. Apalah arti kesopanan. Begitu menurut saya. Barangkali, Ibu sepemahaman dengan saya dalam hal ini.
            Bu Ratna yang terhormat. Sejujurnya, saya dulu pernah mengagumi Ibu. Bahkan, sampai detik ini, saya masih mengagumi Ibu. Kekaguman itu adalah karena Ibu termasuk wanita yang sangat berani. Berani kepada siapa pun. Berbicara penuh emosi sehingga kata-kata seakan berjiwa, bukan semata hanya lontaran kata-kata. Itu terlihat dari mimik Ibu, juga dari nada-nadanya yang sering bergetar. Ibu seperti membacakan puisi perjuangan. Ya, ibu adalah seorang seniman.
            Tetapi Bu Ratna. Entahlah saya yang terlalu sensitif. Semakin ke sini, semakin saya melihat keberanian Ibu sebagai yang kebablasan. Ibu tidak lagi mengenal sopan santun. Apakah itu artinya bahwa keberanian tak punya jarak, bahkan yang tipis sekalipun dengan ketidaksopanan? Entahlah! Yang pasti, sekali lagi harus kukatakan, Ibu adalah seorang pemberani. Kurang pemberani apalagi ketika Ibu sebagai sosok wanita pernah dengan leluasa mengecam Bu Mega pada perhelatan Pilpres kemarin?
Baiklah, kalau untuk Bu Mega, barangkali itu hanya ucapan khas cinta sesama wanita agar saling mendukung. Agar wanita tak lagi dipandang sebelah. Agar wanita berwibawa. Agar wanita tak kebablasan. Tetapi bagaimana dengan ujaran, bahkan makian kepada Pak SBY? Sedekat yang saya ketahui, Ibu termasuk rajin mengkritik beliau semasa dia masih presiden. Saya salut atas itu semua yang meski ada bahasa yang mengganggu saya ketika Ibu mengatakan bahwa SBY adalah “Presiden Goblok Sejagad”. Apakah itu artinya bahwa mayoritas orang Indonesia adalah orang goblok?
Ah, Bu Ratna. Ibu memang orang pemberani. Pada kasus kematian Angeline, di sebuah stasiun TV yang boleh dibilang cukup sering mengangkat tema politik, Ibu juga marah. Kebetulan pula, Ibu hampir selalu menjadi bintang tamu pada acara itu. Dan, acara itu selalu saja rutin mengundang Ibu (entah karena apa). Kata Ibu saat itu—mudah-mudahan saya salah ingat—bahwa Angeline meninggal karena kemiskinan. Sungguh analisis yang dalam. Dan memang benar bahwa anak yang malang itu meninggal karena kemiskinan.
Tetapi, Bu Ratna, siapa pun tahu bahwa ucapan Ibu saat itu sedang menjerumuskan Pak Jokowi. Sekali lagi, mudah-mudahan saya salah. Padahal, kalau kita cukup berpikir jernih, adalah konyol menyalahkan Jokowi begitu saja. Ayo, Jokowi memerintah sejak kapan? Konyol sekali, bukan? Tetapi, sudahlah, barangkali bagi Ibu kekonyolan itu sinonim dengan keberanian. Oh, iya, mudah-mudahan Ibu masih ingat juga ketika Ibu mengatakan bahwa Jokowi adalah pemimpin bodoh. Ah, malangnya negeri ini. Sebelumnya sudah dipimpin presiden goblok sejagad, eh, digantikan pula dengan pemimpin bodoh.
Selamat pagi Bu Ratna yang terhormat. Tetap, sengaja kuulangi sapaan ini. Supaya kita semakin lekat, dekat, dan tentu saja semakin jernih berpikir. Bu, pasti Ibu belum lupa pada peristiwa teranyar, di mana saat itu, Anton Medan menarik diri keluar pada acara yang selalu membuat Ibu jadi bintang tamu. Dasar memang Anton Medan. Tidak etis meninggalkan pembicaraan begitu saja.
Tetapi, Bu Ratna, jika saja saya tak kejauhan, di samping saya masih mengagumimu sebagai sosok pemberani, harus kukatakan bahwa keberanian Ibu sudah kebablasan. Tidak saja lari dari topik (topiknya saat itu “Siapa Penantang Ahok”, 8 Maret 2016), tetapi sudah pada pelecehan, bahkan penghinaan? Begini Bu Ratna. Bagiku sederhana saja, tak usah dibuat rumit, yaitu, bukankah topiknya siapa penantang Ahok?
Lha, mengapa ujung-ujungnya malah mencaci Ahok, menuduh bahwa Nasdem keliru, menghasut lagi bahwa Ahok korupsi di Rumah Sakit Sumber Waras. Betapa beraninya, Ibu mengatakan bahwa Ahok korupsi dengan asumsi 99% dan semua bukti itu ada pada Ibu. Lagi, Ibu pun menyeret-nyeret bahwa TNI dan Polri dibayari oleh Ahok untuk menangani setiap penggusuran (sudahlah, saya sebut saja namanya penggusuran), seperti yang ada di Kalijodo?
Ibu bahkan geram pada media nasional yang membuat berita penggusuran Kalijodo itu aman, padahal, sebenarnya, seperti klaiman Ibu, itu terjadi karena rakyat tak berdaya. Tepatnya, tak berdaya melawan kekasaran Ahok. Oh, Ibu memang selalu emosional. Kata-kata menjadi bergairah. Lihatlah, Ibu dengan berani akan menindaklanjuti orang yang mencoba “menghina” Ibu dengan membawa bukti hard-copy “penghinaan” itu sembari mempertunjukkannya kepada jutaan pemirsa di Indonesia? Jujur saja, bagi saya pribadi ini sebuah ancaman. Entahlah bagi Ibu.
Tak hanya ancaman bahkan, ini juga kelucuan luar biasa. Di mana Ibu berhak mengancam akan menindalkanjuti orang yang “menghina” Ibu, tetapi Ibu malah bebas menghina orang lain? Menuduhkan bahwa Ahok korupsi dengan dosis keyakinan 99%, menyeret-nyeret bahwa Polri dan TNI dibayari Ahok.
Ah, Bu Ratna memang orang berani. Tak banyak perempuan dikaruniai bakat yang sama dengan Ibu. Yang pasti, ini harus saya utarakan, Bu, menurut kacamata saya, semua tuduhan Ibu, selain lari dari konteks, selain melecehkan, ini juga adalah fitnah. Apakah saya terlalu berani untuk ucapan ini? Mudah-mudahan itu karena saya sudah berhasil menduplikasi keberanian Ibu.
Paling tidak memang, dasar keberanian saya punya pijakan. Masih kalah dari Ibu. Untuk kasus korupsi yang Ibu yakini 99%, misalnya, sudah dibantah oleh Komisioner KPK. Polri juga sudah mengklarifikasi. Bahkan TNI melalui media sosialnya, Twitter malah sempat melucu dengan mengatakan  Bu @RatnaSpaet pegang kwitansinya? Boleh lihat Bu?  Ibu (entahlah itu ajudan Ibu) membalas lagi, “Itu Asumsi @TNIAU Media tdk liat konteks. Asumisi itu muncul krn sesuai UU tugas TNI mengawal Pgusuran tapi melindungi Negara, bangsa.” Betulkah tuduhan seseirus ini, di acara televisi serius pula, hanya asumsi? Oh!
Selamat pagi Bu Ratna. Di akhir surat ini, saya tetap mau mengatakan bahwa Ibu adalah sosok yang berani. Berani dalam hal segala apa pun. Entah itu fakta, bahkan asumsi sekalipun. Maaf, kalau kemudian saya terlalu berani mendefinisikan ini bahwa sesudah ini, bagi saya keberanian rupanya tak jauh beda dari seruduk dan seruduk. Jangan-jangan Ahok juga memang hanya seruduk demi seruduk makanya disebut sebagai orang berani, bukan?
Mudah-mudahan Ibu masih sempat membaca surat ini!

Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan (PLOt)

0 comments: