Riduan Situmorang--Selamat pagi, Bu Ratna. Semoga Ibu hari ini
baik-baik saja. Oh, iya, barangkali
menurut Ibu sapaan ini hanya sekadar basa-basi. Saya klaim itu tidak, Bu. Saya
tulus menyapa Ibu, walau tidak setulus ketika anak menyapa ibunya. Saya juga
tulus mendoakan supaya Ibu baik-baik saja. Bukan semata supaya saya sopan.
Apalah arti kesopanan. Begitu menurut saya. Barangkali, Ibu sepemahaman dengan
saya dalam hal ini.
Bu
Ratna yang terhormat. Sejujurnya, saya dulu pernah mengagumi Ibu. Bahkan,
sampai detik ini, saya masih mengagumi Ibu. Kekaguman itu adalah karena Ibu termasuk
wanita yang sangat berani. Berani kepada siapa pun. Berbicara penuh emosi
sehingga kata-kata seakan berjiwa, bukan semata hanya lontaran kata-kata. Itu
terlihat dari mimik Ibu, juga dari nada-nadanya yang sering bergetar. Ibu
seperti membacakan puisi perjuangan. Ya, ibu adalah seorang seniman.
Tetapi
Bu Ratna. Entahlah saya yang terlalu sensitif. Semakin ke sini, semakin saya
melihat keberanian Ibu sebagai yang kebablasan. Ibu tidak lagi mengenal sopan
santun. Apakah itu artinya bahwa keberanian tak punya jarak, bahkan yang tipis
sekalipun dengan ketidaksopanan? Entahlah! Yang pasti, sekali lagi harus
kukatakan, Ibu adalah seorang pemberani. Kurang pemberani apalagi ketika Ibu sebagai
sosok wanita pernah dengan leluasa mengecam Bu Mega pada perhelatan Pilpres
kemarin?
Baiklah, kalau untuk Bu Mega, barangkali itu hanya
ucapan khas cinta sesama wanita agar saling mendukung. Agar wanita tak lagi
dipandang sebelah. Agar wanita berwibawa. Agar wanita tak kebablasan. Tetapi bagaimana
dengan ujaran, bahkan makian kepada Pak SBY? Sedekat yang saya ketahui, Ibu
termasuk rajin mengkritik beliau semasa dia masih presiden. Saya salut atas itu
semua yang meski ada bahasa yang mengganggu saya ketika Ibu mengatakan bahwa
SBY adalah “Presiden Goblok Sejagad”. Apakah itu artinya bahwa mayoritas orang
Indonesia adalah orang goblok?
Ah, Bu Ratna. Ibu memang orang pemberani. Pada kasus
kematian Angeline, di sebuah stasiun TV yang boleh dibilang cukup sering
mengangkat tema politik, Ibu juga marah. Kebetulan pula, Ibu hampir selalu
menjadi bintang tamu pada acara itu. Dan, acara itu selalu saja rutin
mengundang Ibu (entah karena apa). Kata Ibu saat itu—mudah-mudahan saya salah
ingat—bahwa Angeline meninggal karena kemiskinan. Sungguh analisis yang dalam.
Dan memang benar bahwa anak yang malang itu meninggal karena kemiskinan.
Tetapi, Bu Ratna, siapa pun tahu bahwa ucapan Ibu
saat itu sedang menjerumuskan Pak Jokowi. Sekali lagi, mudah-mudahan saya
salah. Padahal, kalau kita cukup berpikir jernih, adalah konyol menyalahkan
Jokowi begitu saja. Ayo, Jokowi memerintah sejak kapan? Konyol sekali, bukan?
Tetapi, sudahlah, barangkali bagi Ibu kekonyolan itu sinonim dengan keberanian.
Oh, iya, mudah-mudahan Ibu masih ingat juga ketika Ibu mengatakan bahwa Jokowi adalah
pemimpin bodoh. Ah, malangnya negeri
ini. Sebelumnya sudah dipimpin presiden goblok sejagad, eh, digantikan pula dengan pemimpin bodoh.
Selamat pagi Bu Ratna yang terhormat. Tetap, sengaja
kuulangi sapaan ini. Supaya kita semakin lekat, dekat, dan tentu saja semakin
jernih berpikir. Bu, pasti Ibu belum lupa pada peristiwa teranyar, di mana saat
itu, Anton Medan menarik diri keluar pada acara yang selalu membuat Ibu jadi
bintang tamu. Dasar memang Anton Medan. Tidak etis meninggalkan pembicaraan
begitu saja.
Tetapi, Bu Ratna, jika saja saya tak kejauhan, di
samping saya masih mengagumimu sebagai sosok pemberani, harus kukatakan bahwa
keberanian Ibu sudah kebablasan. Tidak saja lari dari topik (topiknya saat itu
“Siapa Penantang Ahok”, 8 Maret 2016), tetapi sudah pada pelecehan, bahkan
penghinaan? Begini Bu Ratna. Bagiku sederhana saja, tak usah dibuat rumit,
yaitu, bukankah topiknya siapa penantang Ahok?
Lha, mengapa ujung-ujungnya malah mencaci Ahok, menuduh
bahwa Nasdem keliru, menghasut lagi bahwa Ahok korupsi di Rumah Sakit Sumber
Waras. Betapa beraninya, Ibu mengatakan bahwa Ahok korupsi dengan asumsi 99%
dan semua bukti itu ada pada Ibu. Lagi, Ibu pun menyeret-nyeret bahwa TNI dan
Polri dibayari oleh Ahok untuk menangani setiap penggusuran (sudahlah, saya
sebut saja namanya penggusuran), seperti yang ada di Kalijodo?
Ibu bahkan geram pada media nasional yang membuat
berita penggusuran Kalijodo itu aman, padahal, sebenarnya, seperti klaiman Ibu,
itu terjadi karena rakyat tak berdaya. Tepatnya, tak berdaya melawan kekasaran
Ahok. Oh, Ibu memang selalu
emosional. Kata-kata menjadi bergairah. Lihatlah, Ibu dengan berani akan
menindaklanjuti orang yang mencoba “menghina” Ibu dengan membawa bukti hard-copy “penghinaan” itu sembari mempertunjukkannya
kepada jutaan pemirsa di Indonesia? Jujur saja, bagi saya pribadi ini sebuah
ancaman. Entahlah bagi Ibu.
Tak hanya ancaman bahkan, ini juga kelucuan luar biasa.
Di mana Ibu berhak mengancam akan menindalkanjuti orang yang “menghina” Ibu,
tetapi Ibu malah bebas menghina orang lain? Menuduhkan bahwa Ahok korupsi
dengan dosis keyakinan 99%, menyeret-nyeret bahwa Polri dan TNI dibayari Ahok.
Ah, Bu Ratna memang orang berani. Tak banyak perempuan
dikaruniai bakat yang sama dengan Ibu. Yang pasti, ini harus saya utarakan, Bu,
menurut kacamata saya, semua tuduhan Ibu, selain lari dari konteks, selain
melecehkan, ini juga adalah fitnah. Apakah saya terlalu berani untuk ucapan
ini? Mudah-mudahan itu karena saya sudah berhasil menduplikasi keberanian Ibu.
Paling tidak memang, dasar keberanian saya punya
pijakan. Masih kalah dari Ibu. Untuk kasus korupsi yang Ibu yakini 99%,
misalnya, sudah dibantah oleh Komisioner KPK. Polri juga sudah mengklarifikasi.
Bahkan TNI melalui media sosialnya, Twitter malah sempat melucu dengan
mengatakan “Bu @RatnaSpaet pegang kwitansinya? Boleh lihat Bu?” Ibu (entahlah itu ajudan Ibu) membalas lagi, “Itu Asumsi @TNIAU Media tdk liat konteks.
Asumisi itu muncul krn sesuai UU tugas TNI mengawal Pgusuran tapi melindungi
Negara, bangsa.” Betulkah tuduhan seseirus ini, di acara televisi serius
pula, hanya asumsi? Oh!
Selamat pagi Bu Ratna. Di akhir surat ini, saya
tetap mau mengatakan bahwa Ibu adalah sosok yang berani. Berani dalam hal
segala apa pun. Entah itu fakta, bahkan asumsi sekalipun. Maaf, kalau kemudian
saya terlalu berani mendefinisikan ini bahwa sesudah ini, bagi saya keberanian
rupanya tak jauh beda dari seruduk dan seruduk. Jangan-jangan Ahok juga memang
hanya seruduk demi seruduk makanya disebut sebagai orang berani, bukan?
Mudah-mudahan Ibu masih sempat membaca surat
ini!
Pegiat Literasi,
Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan (PLOt)
0 comments:
Post a Comment