Wednesday 2 March 2016

Selamat Pagi, Tere Liye

Riduan Situmorang--Selamat pagi, Bung Tere! Semoga Bung hari ini sehat-sehat saja. Oh, iya, tahu kenapa saya sapa Anda dengan “selamat pagi”? Ini hanya simpati kepada Anda. Sebab, Anda adalah orang yang paling menyukai pagi. Di antara 24 jam potongan waktu, Anda selalu lebih menyukai pagi. Begitu katamu, bukan? Maaf, kalau saya salah. Sebab, pernyatan itu sama sekali tak bersejarah bagiku, juga bagi negeri ini. Jadi, kalau saya salah, itu tak masalah. Kan, tak bersejarah!
Asal kau tau aja, Bung. Surat ini saya tuliskan di tengah kebisingan. Saya baru siap mengajar di bimbel. Ini lagi berisik. Tapi, itu tak masalah. Justru yang paling berisik sekarang adalah hatiku. Entahlah apa yang sedang terjadi. Baiklah, mari kita terbuka!

Tulisan ini dimulai pukul 16.55. Pas di kalimat ini, sudah pukul 16.57. Hehehe, saya tak selancar, Bung. Cepat menulis. Saya? Hmmmm, otak gue malah dungu, mendekati idiot barangkali. Untung Bung Tere tak seidiot saya.

Oh, iya, Bung! Ada apa dengan Bung? Kenapa Bung terlalu lantam? Atau, saya yang terlalu sensitif kali ya? Maklumlah, hatiku terlalu sempit. Belum seperti, Bung yang hatinya lapang. Sesukanya ngomong, sesukanya pula bilang, gitu aja kok repot?

Wah, Bung memang orang hebat. Hebat sekali. Saya akui itu. Maka itu, selekas bilang “gitu aja kok repot”, Bung masih mendikte kami dengan mengutipkan kalo kata-kata ini adalah kata Gus Dur yang diterjemahkan dari bahasa Arab: yassir wa la tuassir”. Bung bilang, itu artinya: permudah, jangan dipersulit. Saya sepaham dengan itu.

Tetapi, hatiku sempit, Bung. Tidak selapang Anda. Saking sempitnya, saya malah curiga kalo kata-kata ini hanya lempar batu sembunyi tangan. Anda meminjam kata-kata Gus Dur. Lho, maksudmu kami mau menghakimi Gus Dur, bukan Bung?

Supaya masalahnya terang, Bung. Baik saya tanyakan: apa maksud nasihat Bung supaya kami membaca sejarah? Emangnya kami lupa sejarah? Atau, Bung sudah hafal sejarah?Atau, Bung harus dimasukkan ke buka sejarah sekarang juga supaya kami baca?

Bung, saya tak bermaksud plagiat ini. Saya hanya mau menuliskan nasihat Bung ini secara utuh lagi. Boleh ya! Maaf, kalo ini plagiat.

“Indonesia itu merdeka karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan—yang sebagian besar di antara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh-tokoh agama lain. Orang-orang religius beragama”

“Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris, atau Jepang? Silakan cari!”

Anda lanjutkan lagi dengan menghakimi dan menyuruh kami, “Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan”

Apa maksud, Bung? Apa ini masalah sepele sehingga ini boleh dibilang “gitu aja kok repot” seperti yang Bung bilang? Bung menghapus karya dan jasa orang lain, orang besar malah, yang telah membiarkan Anda bebas menulis ribuan kata-kata, tapi Bung hanya bilang, “gitu aja kok repot?” Dan, itu Bung tuliskan di media sosial seakan ini masalah comberan. Emangnya ini masalah comberan yang tak perlu direpoti?

Gimana kalau suatu kali saya menganggap karya Bung semua tak ada. Oh, baiklah. Saya katakan itu semua ada, tapi semuanya plagiat. Apakah Bung marah. Lalu, gimana reaksi Bung kalo kubilang: “gitu aja kok repot?”

Bung. Entahlah saya lebai. Entahlah saya tak tahu sejarah. Entahlah Tuan mahatau sejarah negeri ini. Entahlah Tuan adalah sastrawan paling terkenal. Tapi, mengapa Bung meniadakan karya orang lain? Mengapa Bung? Ini urusan gampang, ya?

Sedemikian hebatnyakah Bung sehingga nama-nama sebesar Tjokroaminoto, Sutan Sjahrir, Tiga Bung Besar, Sutan Ibarhim Malaka, Bung abaikan begitu saja? Lalu, eh, dengan seenaknya juga bilang lagi: “gitu aja kok repot”?

Hehehe, Bung memang ada-ada saja. Jujur saja, saya saat ini mau bilangin kepada anak-anak supaya ga baca buku Bung. Biar aja mereka baca sejarah. Sejarah hidup Bung tentunya, tepatnya sejarah satus Bung itu. Sebab, Bung itu orang hebat. Hebat kali. Kurang hebat apa lagi kalo sudah bisa meniadakan orang besar?

Bung. Banyak sekali yang mau kusampekan padamu. Tetapi, aku paham ini masalah recehan. Gitu aja kok repot bukan?

Bung, selamat pagi. Saya ucapkan ini hanya simpati. Saya tidak seperti Bung menyukai pagi. Saya lebih suka malam. Malam adalah waktu untuk bercengkerama dengan keluarga. Berdiskusi dengan anak. Menonton berita, siapa tau ada sejarah. Tidur telentang. Ditemani istri. Menjemput mimpi. Mimpi bertemu dengan Bung—mudah-mudahan. Tapi, kalo bertemu, saya hanya bilang: ini orang yang paling tahu sejarah itu, ya? Oh, pantaslah. Diakan hebat!

Bung, kapan pun kau baca surat ini. Sudilah lagi tak usah membaca sejarah. Sejarah bukan sastra (punya Bung tentunya) yang cukup dibaca. Sejarah harus diimani dan didalami. Kalo Bung hanya membaca, ya, gitu jadinya. Orang komunis tak ada gunanya, sosialis tak ada untungnya, liberalis apalagi.

Hehehe, Bung maaf. Kok jadi aku pula yang nasihati. Lupa saya. Tapi sudahlah. Lupakan. Gitu aja kok repot.

Selamat pagi Bung! Sekali lagi, jangan lupa, pahami sejarah. Bila perlu, bolehlah hasil menulis itu dibikin untuk beli buku orang-orang “berpaham” kiri. Bung tahu Madilog? Punyaku ada. Kalo berkenan, biar saya kirimkan ke alamat Bung. Tak usah kirim ongkos-kirimnya. Demi Bung yang hebat, saya mau kok berikhlas hati. Satu-satunya alasanku iklas adalah biar kami yang tak tahu sejarah ini tak jatuh ke comberan.

Atau jangan-jangan, barangkali Bung sedang keliru, ya? Tak tahu bedain apa itu his stotry atau history. Ah, bodoh amat. Gitu aja kok repot!

Selamat pagi, Bung!
Pencinta Humor yang Tak Lucu

0 comments: