Pernahkah Anda
menyaksikan film India berjudul "Taare Zameen?" Kalau pernah, bagaimana
perasaan Anda jika menempatkan diri Anda sebagai tokoh Ihsaan yang
digambarkan sebagai orang yang disleksia? Apa Anda merasa bahagia atau
malah merasa terisolasi ketika Anda ditempatkan di sekolah berkebutuhan
khusus seperti tokoh Ihsaan dalam film itu?
|
Maaf, pertanyaan itu berjejer saya utarakan karena
memang cara terbaik untuk mengatasi masalah adalah bukan berangkat dari
angka-angka statistik yang diinput melalui hasil survei, tetapi mencoba
menempatkan diri sebagai orang yang turut merasakan, bukan sebatas
menempatkan diri sebagai pengamat yang lalu prihatin. Prihatin saja
tanpa merasakan tidak cukup.
Apa relevansi film "Taare Zameen"
tersebut dalam kontkes Indonesia terutama dalam hal pendidikan? Salah
satunya, ternyata fungsi pendidikan yang paling penting adalah
memanusiakan manusia. Caranya tentu harus manusiawi dalam memperlakukan
manusia sebagai manusia, bukan sebagai mesin apalagi robot. Ironisnya,
di sinilah kita terjebak. Pendidikan kita seakan tidak mengenal orang
yang bodoh, tetapi mengenal mereka yang pintar sehingga serta-merta
mereka yang kebetulan lahir dibekali otak cerdas dengan sendirinya telah
menempatkan mereka di sekolah unggulan.
Sebaliknya, mereka yang
kebetulan tidak secerdas anak-anak tadi harus terpaksa legowo menerima
nasib, kemudian pasrah ditempatkan di sekolah kurang bergengsi.
Lengkaplah sudah penderitaan mereka, sudahlah tidak dikaruniai daya
tangkap yang cepat, malah ditempatkan di sekolah abal-abal dengan
perlengkapan jauh kalah saing dengan sekolah anak-anak beruntung tadi.
Maka, yang pintar menjadi lebih pintar, yang kebetulan agak lemot harus
meratapi nasib dengan perangkat dan prasarana sekolah yang ala kadarnya.
Lantas,
bagaimana pula kalau hal ini kita korelasikan dengan mereka yang
kebetulan terlahir dengan kondisi fisik dan psikis terkategori sebagai
disabilitas atau anak berkebutuhan khusus? Sudah pasti kita akan
menempatkan mereka pada satu wadah khusus. Kita menyebut lokasi belajar
mereka dengan sebutan SLB. Apakah hal ini membantu?
Yang pasti, kita
tidak tahu apakah hal ini membantu atau tidak, kecuali kalau kita
mencoba menempatkan diri pada posisi sulit mereka. Untuk itu, mari
sejenak kembali ke film "Taare Zameen".
Di film itu dikisahkan,
mulanya Ihsaan ditempatkan di sekolah normal. Kemudian, karena tidak ada
pemahaman, apalagi pendekatan khusus dari guru, akhirnya Ishaan sebagai
penyandang disleksia merasa terjajah ketika guru, orang tua dan
lingkungannya tidak memahami kendalanya. Selanjutnya, atas saran dari
gurunya di sekolah normal tadi, Ishaan ditempatkan di sekolah sejenis
SLB. Akan tetapi pada alur cerita selanjutnya kita tangkap Ishaan justru
makin merasa terjajah di sekolah barunya. Ternyata, SLB tidak mampu
menaikkan tingkat kepercayaan dirinya.
Pesan film itu terang.
Pertama, ketika orang lain tidak memahami kendala kita, kita akan merasa
diabaikan. Kedua, ketika kita ditempatkan dengan segolongan insan yang
kekurangan, hal itu dengan sendirinya akan mengantar kita pada kesadaran
baru bahwa kita bukanlah manusia seperti manusia normal lainnya.
Kesadaran baru inilah yang kemudian mengantar kita pada tingkat
frustrasi sedemikian rupa sehingga bukan pesan positif yang ditangkap,
melainkan cenderung negatif. Hal ini akan menjadi lebih tragis lagi
ketika guru yang kemudian menangani mereka tidak cepat tanggap.
Ilustrasinya
begini! Saya tentunya akan merasa malu ketika suatu ketika ditempatkan
pada kelas yang semuanya dihuni oleh kami yang tidak lulus atau
remedial. Ketika keluar dari kelas itu, rasa malu saya pasti akan makin
besar, apalagi ketika saya merasa dipelototi oleh mereka yang kebetulan
lulus sehingga saya merasa trauma untuk sekadar melewati kelas itu.
Nasib saya tentunya akan makin tragis kalau guru yang kemudian melatih
saya tidak mampu memotivasi. Jika dianalogikan seperti itu, kurang
lebih, begitulah para penyandang disabilitas merasa ketika mereka
ditempatkan di SLB.
Maaf, saya tidak sedang mengutuk pendirian
SLB. Saya justru mendukungnya. Hanya saja, guru-guru yang ditempatkan di
sana harus kompeten dan profesional. Guru yang seperti itu tentu tidak
sekadar tahu mengajar, tetapi harus mampu mengangkat harga diri siswa
sebagai manusia. Sebab, tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia
dengan cara membuat setiap manusia menjadi merasa sama.
Untuk
itu, kita harus buang jauh-jauh pendekatan pendidikan yang mengusung
pendidikan berdaya saing (RPJPN 2005-2025). Misi pendidikan yang berdaya
saing seperti ini kebablasan dan salah kaprah. Dengan misi
memberdayasaingkan pendidikan kita telah mengajarkan siswa berkompetisi
layaknya robot. Alasannya jelas, yaitu secara tidak langsung kita telah
menempatkan siswa sebagai mahluk-mahluk yang bisa punah seperti yang
telah diutarakan Charles Darwin dalam teorinya.
Pada teori
Darwinisme, membunuh sesama merupakan salah satu cara untuk bertahan dan
itu dihalalkan. Kecuali beradaptasi, jika tidak membunuh, kita bisa
saja terbunuh. Lalu, pada saat yang tidak disadari, kita pun digiring
pada suatu arena, katakanlah itu sekolah. Sekolah yang sejatinya menjadi
pembibitan benih berubah menjadi arena gladiator untuk bersaing. Di
sana, setiap siswa disuntik doktrin-doktrin untuk berlomba. Alhasil,
manusia sebagai mahluk sosial diperlakukan menjadi robot yang harus
bersaing satu sama lain.
Jadi, dalam menangani anak-anak bangsa,
terutama mereka yang lemot dan penyandang disabilitas, kita harus
menempatkan diri sebagaimana mereka merasa. Bukan malah menempatkan
mereka pada sebuah sekolah khusus, apalagi kalau guru yang menanganinya
tidak tahu konteks. Kita tidak boleh lagi mengurungnya di sekolah SLB.
Pengurungan seperti ini merupakan turunan langsung dari pengkastaan dan
diskriminasi.
Memang, kita akan kewalahan menanganinya. Tapi,
bukankah jauh lebih kewalahan kalau mereka, misalnya, sudah merasa
setingkat di bawah manusia? Jadi, sebelum mereka merasa setingkat di
bawah manusia, kembalikan mereka ke kehidupan normal. Kecuali kalau kita
melalui SLB bisa menggaransi guru-guru yang mengajar di sana dapat
menyadarkan bahwa mereka berpotensi sama dengan siswa dan manusia
normal, termasuk mereka yang sekolah di sekolah unggulan. Ingat, fungsi
pendidikan adalah memanusiakan manusia!
(Oleh: Riduan Situmorang, Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan) |
0 comments:
Post a Comment