Friday 6 June 2014

Pendidikan Manusiawi untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Hasil gambar untuk ABK dan SLBPernahkah Anda menyaksikan film India berjudul "Taare Zameen?" Kalau pernah, bagaimana perasaan Anda jika menempatkan diri Anda sebagai tokoh Ihsaan yang digambarkan sebagai orang yang disleksia? Apa Anda merasa bahagia atau malah merasa terisolasi ketika Anda ditempatkan di sekolah berkebutuhan khusus seperti tokoh Ihsaan dalam film itu?

Maaf, pertanyaan itu berjejer saya utarakan karena memang cara terbaik untuk mengatasi masalah adalah bukan berangkat dari angka-angka statistik yang diinput melalui hasil survei, tetapi mencoba menempatkan diri sebagai orang yang turut merasakan, bukan sebatas menempatkan diri sebagai pengamat yang lalu prihatin. Prihatin saja tanpa merasakan tidak cukup.

Apa relevansi film "Taare Zameen" tersebut dalam kontkes Indonesia terutama dalam hal pendidikan? Salah satunya, ternyata fungsi pendidikan yang paling penting adalah memanusiakan manusia. Caranya tentu harus manusiawi dalam memperlakukan manusia sebagai manusia, bukan sebagai mesin apalagi robot. Ironisnya, di sinilah kita terjebak. Pendidikan kita seakan tidak mengenal orang yang bodoh, tetapi mengenal mereka yang pintar sehingga serta-merta mereka yang kebetulan lahir dibekali otak cerdas dengan sendirinya telah menempatkan mereka di sekolah unggulan.

Sebaliknya, mereka yang kebetulan tidak secerdas anak-anak tadi harus terpaksa legowo menerima nasib, kemudian pasrah ditempatkan di sekolah kurang bergengsi. Lengkaplah sudah penderitaan mereka, sudahlah tidak dikaruniai daya tangkap yang cepat, malah ditempatkan di sekolah abal-abal dengan perlengkapan jauh kalah saing dengan sekolah anak-anak beruntung tadi. Maka, yang pintar menjadi lebih pintar, yang kebetulan agak lemot harus meratapi nasib dengan perangkat dan prasarana sekolah yang ala kadarnya.

Lantas, bagaimana pula kalau hal ini kita korelasikan dengan mereka yang kebetulan terlahir dengan kondisi fisik dan psikis terkategori sebagai disabilitas atau anak berkebutuhan khusus? Sudah pasti kita akan menempatkan mereka pada satu wadah khusus. Kita menyebut lokasi belajar mereka dengan sebutan SLB. Apakah hal ini membantu?
Yang pasti, kita tidak tahu apakah hal ini membantu atau tidak, kecuali kalau kita mencoba menempatkan diri pada posisi sulit mereka. Untuk itu, mari sejenak kembali ke film "Taare Zameen".

Di film itu dikisahkan, mulanya Ihsaan ditempatkan di sekolah normal. Kemudian, karena tidak ada pemahaman, apalagi pendekatan khusus dari guru, akhirnya Ishaan sebagai penyandang disleksia merasa terjajah ketika guru, orang tua dan lingkungannya tidak memahami kendalanya. Selanjutnya, atas saran dari gurunya di sekolah normal tadi, Ishaan ditempatkan di sekolah sejenis SLB. Akan tetapi pada alur cerita selanjutnya kita tangkap Ishaan justru makin merasa terjajah di sekolah barunya. Ternyata, SLB tidak mampu menaikkan tingkat kepercayaan dirinya.

Pesan film itu terang. Pertama, ketika orang lain tidak memahami kendala kita, kita akan merasa diabaikan. Kedua, ketika kita ditempatkan dengan segolongan insan yang kekurangan, hal itu dengan sendirinya akan mengantar kita pada kesadaran baru bahwa kita bukanlah manusia seperti manusia normal lainnya. Kesadaran baru inilah yang kemudian mengantar kita pada tingkat frustrasi sedemikian rupa sehingga bukan pesan positif yang ditangkap, melainkan cenderung negatif. Hal ini akan menjadi lebih tragis lagi ketika guru yang kemudian menangani mereka tidak cepat tanggap.

Ilustrasinya begini! Saya tentunya akan merasa malu ketika suatu ketika ditempatkan pada kelas yang semuanya dihuni oleh kami yang tidak lulus atau remedial. Ketika keluar dari kelas itu, rasa malu saya pasti akan makin besar, apalagi ketika saya merasa dipelototi oleh mereka yang kebetulan lulus sehingga saya merasa trauma untuk sekadar melewati kelas itu. Nasib saya tentunya akan makin tragis kalau guru yang kemudian melatih saya tidak mampu memotivasi. Jika dianalogikan seperti itu, kurang lebih, begitulah para penyandang disabilitas merasa ketika mereka ditempatkan di SLB.

Maaf, saya tidak sedang mengutuk pendirian SLB. Saya justru mendukungnya. Hanya saja, guru-guru yang ditempatkan di sana harus kompeten dan profesional. Guru yang seperti itu tentu tidak sekadar tahu mengajar, tetapi harus mampu mengangkat harga diri siswa sebagai manusia. Sebab, tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan cara membuat setiap manusia menjadi merasa sama.

Untuk itu, kita harus buang jauh-jauh pendekatan pendidikan yang mengusung pendidikan berdaya saing (RPJPN 2005-2025). Misi pendidikan yang berdaya saing seperti ini kebablasan dan salah kaprah. Dengan misi memberdayasaingkan pendidikan kita telah mengajarkan siswa berkompetisi layaknya robot. Alasannya jelas, yaitu secara tidak langsung kita telah menempatkan siswa sebagai mahluk-mahluk yang bisa punah seperti yang telah diutarakan Charles Darwin dalam teorinya.

Pada teori Darwinisme, membunuh sesama merupakan salah satu cara untuk bertahan dan itu dihalalkan. Kecuali beradaptasi, jika tidak membunuh, kita bisa saja terbunuh. Lalu, pada saat yang tidak disadari, kita pun digiring pada suatu arena, katakanlah itu sekolah. Sekolah yang sejatinya menjadi pembibitan benih berubah menjadi arena gladiator untuk bersaing. Di sana, setiap siswa disuntik doktrin-doktrin untuk berlomba. Alhasil, manusia sebagai mahluk sosial diperlakukan menjadi robot yang harus bersaing satu sama lain.

Jadi, dalam menangani anak-anak bangsa, terutama mereka yang lemot dan penyandang disabilitas, kita harus menempatkan diri sebagaimana mereka merasa. Bukan malah menempatkan mereka pada sebuah sekolah khusus, apalagi kalau guru yang menanganinya tidak tahu konteks. Kita tidak boleh lagi mengurungnya di sekolah SLB. Pengurungan seperti ini merupakan turunan langsung dari pengkastaan dan diskriminasi.

Memang, kita akan kewalahan menanganinya. Tapi, bukankah jauh lebih kewalahan kalau mereka, misalnya, sudah merasa setingkat di bawah manusia? Jadi, sebelum mereka merasa setingkat di bawah manusia, kembalikan mereka ke kehidupan normal. Kecuali kalau kita melalui SLB bisa menggaransi guru-guru yang mengajar di sana dapat menyadarkan bahwa mereka berpotensi sama dengan siswa dan manusia normal, termasuk mereka yang sekolah di sekolah unggulan. Ingat, fungsi pendidikan adalah memanusiakan manusia!

(Oleh: Riduan Situmorang, Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan)

0 comments: