Sunday 21 February 2016

Eksplorasi dan Eksploitasi Budaya

Kalau tak ada aral melintang, awal September ini kami melalui dan bersama PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) akan menampilkan Opera Batak di Eropa. Saya sendiri akan tampil sebagai pemain di sana. Ada beberapa yang saya herankan. Direktur PLOt, Thomson Hs, pada proporsal dengan sengaja membuat identitas saya sebagai penulis. Penulis? Saya penasaran, tepatnya minder karena merasa, saya belum menulis apa-apa. Apalagi, belakangan Thomson ‘memerintahkan’ agar saya menulis buku. Oh!

Saya memang sudah menulis buku, tetapi belum punya keberanian untuk menerbitkan! Nah, mengapa harus menulis buku?

Kebetulan pada tahun 2015 ini, Indonesia akan menjadi tamu kehormatan atau guest of honour pada moment Frankfurt Book Fair (FBF). FBF merupakan salah satu pameran buku terbesar dan tertua di dunia sekaligus menjadi etalase bagi perkembangan intelektual suatu negara yang terlihat dari buku-buku yang dipamerkan. FBF ini akan dihadiri sekitar 100 negara, 8.000-10.000 jurnalis, ribuan penerbit, dan perusahaan media dari seluruh dunia.

Kenyataan ini memungkinkan momentum bertemunya ribuan agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan, seniman, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Seperti biasanya, di sana, sastra akan menjadi fokus utama. Lalu, sebagai tamu kehormatan, bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi FBF ini?

Seadanya?

Menurut Claudia Kaiser, Wakil Presiden FBF, Indonesia sebelumnya mengungkapkan minatnya untuk menjadi ‘tamu kehormatan’. Setali tiga uang, melalui prosedur, FBF akhirnya memilih Indonesia karena kita kaya akan budaya dan tradisi, etnis, serta agama. Bayangkan, kita secara fisik mempunyai 17.504 pulau, 1.128 suku, dan 750 bahasa ibu. Sungguh sebuah peluang untuk menjadi negara yang adidaya budaya. Masalah lanjutannya, setelah menyodorkan diri, bagaimana kita akan menanggungjawabinya? Apakah kita akan tampil begitu saja sehingga promosi Indonesia melempem atau sebaliknya?

Sebagai gambaran awal, Ainun Na’im dalam konfrensi pers FBF di Perpustakaan Kemendikbud mengatakan bahwa sejauh ini sudah ada 150 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Inggris. Dilihat sekilas, angka itu sudah baik, tetapi rasanya masih sangat kurang kalau harus diikutkan sebagai ‘tamu kehormatan’ di ajang sekelas FBF. Sangat kurang pula apabila kita mengomparasikannya dengan ribuan budaya, ratusan juta orang, puluh ribuan pulau di negeri ini. Apakah kualitas bangsa ini hanya sebegitu?

Rupanya inilah kenyataan. Bonus demografi tidak selalu relevan dengan fakta di lapangan. Sekadar menyebut contoh, Indonesia, misalnya, dari segi minat baca masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan negara ‘mungil’ Malaysia. Konon, lagi, kalau kita membandingkannya dari segi menulis buku. Hal itu semakin berlipat-lipat karena ketika sudah bertahun-tahun, negeri ini juga tak kunjung-kunjung mengesahkan RUU Sistem Perbukuan Nasional. Nah, mengapa Indonesia masih ‘kurang’ dalam kreativitas?

Banyak jawaban yang bisa digulirkan. Salah satunya dan yang paling utama, karena adanya diskriminasi secara tak langsung. Apa diskriminasi itu?

Banyak! Lihat saja, sejauh ini Indonesia sepertinya hanya ada di Jawa, lebih lagi di Jakarta. Semua memuncak dan membludak di Jawa. Eksplorasi dari daerah kurang diperhatikan. Kalaupun diperhatikan, seakan-akan hal itu dibuat dan hanya ada untuk kepentingan (Jawa) Ja-karta sehingga yang lahir hanya eksploitasi. Hasilnya, ke daerah sebatas menetes padahal kalau berpikir, seberapalah yang dihasilkan dari Jakarta, kecuali kesumpekan dan timbunan kepenatan, ditambah lagi huru-hara koruptor.

Kenyataan inilah yang kemudian menimbulkan masalah berlipat-lipat, seperti iri dan tak betah karena merasa dinomorduakan. Hasilnya, beberapa daerah sibuk memendam ‘kebencian’ hingga lupa bahwa mereka sejatinya memiliki ‘kreativitas’ yang luar biasa. Kebencian ini kelak menjadi masalah baru lagi karena fokus kita tak lagi untuk membangun, tetapi untuk berdiplomasi dan berkompromi, kita juga lupa untuk memuji, tetapi mengutuk dan mencerca.

Masih jelas di benak kita ketika semboyan ‘Garuda di Dadaku’ dipelesetkan menjadi ‘Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku’. Masih terang pula bahwa daerah-daerah kaya seperti Aceh dan Papua tak pernah puas dengan Indonesia yang ‘begini’. Karena itu, mereka masih ‘bergerak’ di bawah tanah dan ingin lepas dari Indonesia. Jakarta sejauh ini memang sudah memberi mereka otonomi khusus, tetapi hal itu tak terlalu membantu karena otonomi itu dibaca sebagai tawaran atas ‘diskriminasi’ yang telah terjadi selama ini, bukan sebagai ‘pemberian istimewa’ karena kesitimewaan mereka.

Indonesia Adidaya

Saya tak mengatakan, beri lebih banyak ke pelosok, apalagi perbatasan meski memang kita harus lebih kuat di perbatasan. Perlu bagi kita memeratakan pembangunan. Hal itu mendesak agar ekplorasi dan kreativitas masyarakat Indonesia berkembang pesat tidak seperti selama in, misalnya, dalam konteks penulisan di mana penerbit, distribusi, dan penulis buku masih terkonsentrasi di Jawa. Walhasil, orang di luar Jakarta harus menerbitkan buku dan pemikirannya ke Jawa. Belum lagi, seperti pengalaman banyak teman agar diterbitkan, ide mereka dipaksa diubah karena katanya kurang sesuai dengan bahasa gaul yang kini menggerogoti Jawa.

Hal itulah yang secara tak langsung mengatakan, hanya orang Jawa yang boleh mengeksplorasi (padahal sebenarnya justru mengeksploitasi) budaya dan ide-ide kreatif di pelosok. Orang pribumi-pelosok cukup sebagai saksi dan narasumber, bukan penggubahnya. Kalau orang pribumi-pelosok ngotot menjadi penggubah, maka mereka mau tak mau harus menyesuaikan gaya bahasanya dengan yang kini menggerogoti Jawa.

Ironisnya kemudian, ketika hasil eksplorasi budaya itu dibukukan, orang ‘pelosok’ akan membelinya dengan harga mahal, itu pun kalau didistribusikan. Di sini, jelas sekali, sentralisasi Jawa sudah membuat pemerataan pendidikan kebudayaan menjadi terhambat dan sangat timpang.
Riduan Situmorang
Penulis, pegiat sastra dan budaya di PLOt, penggagas Teater Z, Medan

0 comments: