Tuesday 15 March 2016

Boikot Israel dan WTO

Konstitusi bangsa Indonesia mengamanatkan agar segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Jika melihat yang terjadi di Palestina saat ini, sudah sepatutnya Indonesia menjadi garda terdepan dalam perjuangan masyarakat internasional agar bangsa Palestina meraih kedaulatan penuh untuk merdeka.

Salah satu seruan Presiden Joko Widodo di depan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, 7 Maret lalu, adalah memboikot produk-produk Israel yang diproduksi di dalam wilayah pendudukan. Seruan ini layak mendapat apresiasi sebagai ekspresi keseriusan Indonesia untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina.

Boikot, sebagai salah satu bentuk sanksi ekonomi, adalah sebuah instrumen yang umum digunakan secara internasional, walaupun dampaknya terhadap kebijakan negara target masih diperdebatkan.

Hal-hal yang perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut jika kebijakan boikot ini akan dituangkan dalam bentuk law, regulation and administrative determination, adalah komitmen bangsa Indonesia dalam World Trade Organization. Penulis berpendapat, dalam skenario penyelesaian sengketa, akan sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan ini. Selain menghadapi kesulitan dalam memperoleh escape clause (klausul untuk menghindar) yang relevan, boikot adalah sebuah bentuk pembatasan kuantitatif yang jelas bertentangan dengan Pasal XI General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Karena posisinya yang sulit untuk dipertahankan inilah, beberapa negara kemudian mengadopsi kebijakan lain yang memiliki efek kurang-lebih sama dengan boikot. Contohnya, kebijakan pelabelan (labelling) oleh Uni Eropa (UE) terhadap produk-produk yang dihasilkan di dalam wilayah jajahan Israel di Palestina (illegal settlement). Pelabelan ini dimaksudkan agar masyarakat Eropa berpikir dua kali sebelum membeli produk-produk dari atas tanah yang terjajah.

Kebijakan tersebut dapat dijadikan patokan oleh Indonesia, tapi dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sesuai dengan Pasal I GATT 1994 tentang prinsip Most Favored Nation dan Non-Discriminatory Measure (bahwa negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya kepada satu atau sekelompok negara tertentu), jika kebijakan Country of Origin Labelling (COOL) hanya diimplementasikan dalam konteks produk-produk yang dihasilkan di atas wilayah jajahan. Hal ini secara politik akan sangat berisiko bagi Indonesia. Apakah Indonesia juga akan melabeli produk-produk yang diproduksi di Tibet, Taiwan, dan negara-negara relevan lainnya? Dengan isu Papua akhir-akhir ini yang terus mengemuka, jangan sampai kita mengambil kebijakan yang akan menjadi bumerang.

Kedua, bagaimana cara menguji bahwa produk-produk Israel yang beredar di Indonesia adalah benar bukan diproduksi di atas tanah Palestina? Bagaimana kalau pabrik berada di wilayah Palestina dan perusahaan induk berada di wilayah “legal” Israel, maka akan sulit untuk mengklasifikasikan produk dimaksud.

Negara sebisa mungkin menjadi pihak yang netral. Tapi Indonesia memiliki organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan jumlah pengikut yang signifikan dan bukan merupakan subyek dari hukum di dalam WTO. NU dan Muhammadiyah bisa mempublikasikan kepada masyarakat mengenai produk-produk apa saja yang diproduksi di Israel dan beredar luas di sini.

Organisasi-organisasi ini bahkan bisa menerbitkan pelabelan mereka sendiri. Sebaiknya label tidak diberikan kepada produk, melainkan kepada pasar swalayan dan warung-warung yang tidak menjual produk-produk Israel, seperti stiker “Bebas Produk Israel”. Selain lebih praktis, hal ini akan menciptakan peluang bisnis baru.

Sebagai tambahan, penulis memandang tidak perlu dibedakan antara produk yang diproduksi di wilayah “legal” Israel dan produk yang diproduksi di wilayah pendudukan di Palestina. Dengan membedakan produk-produk itu, secara tidak langsung kita seperti tidak berkeberatan atas agresi militer Israel pada 1967 di Palestina.

Apakah aktivis kebebasan itu pernah berteriak “Boikot produk dari Bantustan” untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan? Apakah ada aktivis kebebasan berteriak “Cukup boikot produk Cina yang diproduksi di Tibet saja”? 

Hutomo Bayu Listyaghi
Tempo, 15/03/2016
Diplomat Kementerian Luar Negeri RI 

0 comments: