Saturday 2 April 2016

Kartel Pangan dan Reformasi Pasar

KOMISI Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menyidangkan dugaan kartel daging sapi dan unggas. Dalam kasus daging sapi, ada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) diperiksa. Mereka diduga sengaja menahan pasokan dari feedloter ke rumah pemotongan hewan. Akibatnya, harga daging tetap tinggi. Pada saat bersamaan, ada 12 perusahaan unggas tengah diperiksa. Tudingannya sama, mereka diduga berperilaku kartel mempermainkan harga di pasar. Ujung-ujungnya juga sama, harga ayam mahal.
U
paya KPPU yang tiada lelah menyeret pelaku terduga kartel harus diapresiasi. Namun, seperti kentut yang bisa dicium tapi sulit dilihat, kartel bisa dirasakan tapi tidak mudah dibuktikan. Buktinya, sampai saat ini dalam bidang pangan KPPU baru bisa membuktikan kartel pada garam. Pada 12 Maret 2006, KPPU menghukum tujuh perusahaan masing-masing sebesar Rp2 miliar karena terbukti mengendalikan harga garam. Pada 2014, KPPU sebenarnya telah menghukum 19 perusahaan importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun, keputusan KPPU dibatalkan di tingkat pengadilan negeri.

Berdiri pada 2000 setelah UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha ti dak Sehat diundangkan, 239 perkara telah diputuskan KPPU. Namun, tak sedikit yang kandas di pengadilan negeri atau Mahkamah Agung.Hingga 31 Desember 2015, 55 putusan KPPU dibatalkan PN, lebih banyak dari yang dibatalkan MA (30 putusan). Sebaliknya, jumlah yang dikuatkan MA sebanyak 80 putusan, sedangkan PN hanya menguatkan 74 putusan. Bisa jadi, perspektif hakim-hakim PN dan MA berbeda dengan hakim-hakim KPPU dalam melihat persaingan usaha tidak sehat. Ini menambah tantangan KPPU dalam mengurai, membongkar, dan menghukum ulah kartel.

Kesulitan bukti

Kartel--yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan, yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang, dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar--secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam.Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel.

Bagi Indonesia, kartel pangan bukanlah hal baru. Politik otoriter dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan elite penguasa dan para sekondannya telah menciptakan kaveling-kaveling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era Orde Baru itu terus bermetamorfosis di era Reformasi, dan dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi.

Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang pada 2015. Pelaku ‘jual-beli’ kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum pada 2013, tapi harga daging sapi sampai sekarang masih mahal.

Kartel pangan tumbuh subuh di negeri ini bukan hanya karena kue ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, melainkan juga didorong oleh kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seekers), lemahnya penegakan aturan main, dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi). Akibatnya, hampir pada setiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadinya kartel pangan.

Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar, yakni beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. Kartel kian menggila apabila produksi domestik tidak mencukupi.

Persengkongkolan

Dalam ilmu ekonomi dikenal dua bentuk ekstrem struktur pasar, yakni monopsoni plus varian berupa oligopsoni dan struktur monopoli plus varian berupa oligopoli. Struktur ekonomi disebut monopsoni apabila pembeli hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur pasar disebut monopoli apabila penjual komoditas hanya satu, atau beberapa penjual (oligopoli) bersekongkol mengatur harga jual komoditas. Empat bentuk struktur itu menandai telah terjadi kegagalan pasar (market failures). Istilah ini sering disandingkan dengan istilah kega galan negara (state failures), yang ditandai ketidakmampuan negara melakukan eksekusi program sampai menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri (Arifi n, 2013).

Apa pun bentuk dan struktur pasarnya, petani dan konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Di hulu, petani berhadapan dengan para tengkulak yang bisa disebut pengijon atau pengagep. Mereka terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk pangan.
Caranya, mereka menetapkan kriteria sepihak, serbatidak jelas, tidak transparan, dan tidak adil. Petani tidak berdaya. Selain tidak memiliki alternatif pasar, informasi pasar sepenuhnya berada di tangan tengkulak. Situasi makin rumit apabila petani terikat utang kepada pengijon, baik untuk modal kerja maupun kebutuhan hidup.

Daron Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty (2012) berkesimpulan bahwa ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis. Kondisi diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tanpa sadar ternyata telah memfasilitasi terjadinya penguasaan pasar mela lui kebijakan tata niaga yang salah.

Ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, reformasi struktur pasar. Caranya, mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap komoditas strategis. Reformasi struktur pasar tidak untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi mendorong munculnya pelaku usaha baru. Kedua, membenahi administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga. Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi aksi aji mumpung, baik menimbun maupun menciptakan kelangkaan pasar semu pelaku kartel.

Ketiga, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk inefisiensi perdagangan. Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar, dan teknologi baru akan mengurangi inefi siensi sistem perdagangan yang akut.

Keempat, memperkuat KPPU baik dalam kewenangan menemukan alat bukti, memperluas defi nisi pelaku usaha sebagai subjek hukum KPPU, maupun peningkatan denda administratif menjadi Rp500 miliar agar ada efek jera. Amendemen UU No 5/1999 tak bisa ditawar.

Khudori
Media Indonesia, 29/03/2016
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Negosiasi Sandra dan Ulama

Kekerasan dengan berbagai rupa di Mindanao, Filipina selatan, seperti penyanderaan, penculikan, dan bentrokan senjata, bukan saja nyaris tidak ada hentinya, susul-menyusul dalam rentang waktu yang sangat lama, melainkan juga bagai benang kusut yang sulit dicari ujung pangkalnya. Rangkaian kekerasan itu memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang melibatkan banyak pihak, mulai dari penjajah Spanyol dan Amerika Serikat hingga pertengahan abad ke-20, masa pasca kemerdekaan di era pemerintahan Filipina, dan kemudian berlanjut dengan munculnya berbagai kelompok nasionalisme bangsa Moro yang menuntut merdeka atau otonomi.

Situasi tersebut menyebabkan tidak mudah pula untuk memahami setiap aksiden kekerasan, penyanderaan, maupun penculikan yang terjadi di Filipina bagian selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim itu. Kali ini penyanderaan menimpa 10 warga negara Indonesia yang merupakan anak buah kapal dari kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Penyanderaan dilakukan kelompok yang oleh media disebut sebagai kelompok Abu Sayyaf, di wilayah Perairan Sulu, Kepulauan Mindanao. Penyanderaan itu memang harus segera dihentikan dan sandera harus segera dibebaskan dengan segala cara yang sah menurut hukum.

Namun, seyogianya peristiwa penyanderaan itu sendiri tidak serta-merta diasosiakan atau dikaitkan langsung dengan hal di luar peristiwa itu sendiri, seperti terorisme, keterkaitan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta negosiasi damai Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dengan pemerintah pusat Filipina yang masih timbul tenggelam, kecuali ada pengakuan langsung dari pihak penyandera bahwa mereka terkait dengan hal tersebut.

Abu Sayyaf

Kelompok yang kini dikenal dengan nama kelompok Abu Sayyaf semula adalah kelompok idealis dari pasukan bersenjata Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) di awal-awal perjuangan bangsa Moro di tahun 1980-an yang dipimpin oleh komandan yang bernama Abu Sayyaf. Mereka bersikukuh untuk mempertahankan tuntutan merdeka dan menolak langkah Profesor Nur Misuari—Guru Besar di Fakultas Studi Islam The University of The Philippines yang kemudian menjadi pemimpin besar MNLF—untuk bernegosiasi damai dengan pemerintah pusat Filipina dengan pilihan otonomi.

Negosiasi damai MNLF itu sendiri melahirkan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) di mana Pemerintah Indonesia memiliki andil besar di dalamnya. ARMM adalah suatu pemberian wilayah otonomi yang terbatas bagi daerah yang mayoritas Muslim di Kepulauan Mindanao, di mana Nur Misuari terpilih menjadi gubernur pertama ketika itu.

Di samping melahirkan Abu Sayyaf, negosiasi itu juga melahirkan kelompok baru yang menamakan diri sebagai MILF. MILF bahkan lebih besar dari kelompok Abu Sayyaf, konon lebih dari separuh pengikut MNLF berpindah ke MILF, termasuk sebagian angkatan bersenjatanya yang menolak bergabung dengan tentara negara Filipina, sebagai konsekuensi dari perjanjian damai.

Namun, berbeda dengan kelompok Abu Sayyaf yang murni angkatan bersenjata, MILF lebih berupa organisasi yang bersifat campuran. MILF yang dipimpin Hasyim Salamat—alumni Al-Azhar Mesir yang sebelumnya adalah deputi Nur Misuari di MNLF—juga menolak hasil negosiasi MNLF pimpinan Nur Misuari tersebut, dengan bertahan pada tuntutan merdeka. Dalam realitas politik, MILF kemudian menjadi oposisi lewat cara separatis terhadap ARMM yang merupakan hasil perjanjian MNLF dengan Pemerintah Filipina.

Sebagai konsekuensi dari menolak pilihan damai, kelompok Abu Sayyaf kemudian menjadi kelompok desersi yang memisahkan diri dari pasukan yang dibawa Nur Misuari untuk bergabung dengan militer Filipina di bawah perjanjian damai tersebut. Semula kelompok Abu Sayyaf menjalankan misinya dengan murni dan moral yang tinggi melawan tentara Filipina maupun ARMM dengan tetap berteguh pada tuntutan merdeka. Namun, ketika mereka kehabisan logistik, pasukannya pun satu per satu memisahkan diri, terpecah-pecah, dan mencari jalan sendiri-sendiri. Sebagian mereka mengambil jalan perampokan dan penculikan untuk mempertahankan hidup.

Kelompok Abu Sayyaf kemudian juga tidak terorganisasi secara struktural. Ia lebih merupakan aksi sendiri-sendiri dan kelompok-kelompok kecil yang mungkin satu sama lain tidak saling terkoordinasi. Bahkan, penculikan dan penyanderaan itu menyerupai apa yang dalam kehidupan interpreneurship disebut sebagai multi-level marketing (MLM). Seseorang mungkin bertindak sendiri melakukan penculikan terhadap seseorang, tetapi sandera itu kemudian dijual kepada orang lain yang lebih memiliki kekuatan tawar dengan pihak tertentu dengan harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya, sampai kepada orang atau pihak yang bahkan bisa bernegosiasi dengan kedutaan atau perwakilan negara tertentu, sesuai dengan asal dan kebangsaan orang yang diculik, dengan tuntutan harga lebih tinggi.

Pada akhirnya, Abu Sayyaf seperti menjadi penyebutan kelompok yang melakukan aksi penculikan dan penyanderaan, meskipun sebenarnya aksi itu tidak dilakukan oleh kelompok mereka. Karena itu, tuntutan penculik sering kali bersifat eksklusif, misalnya dengan tuntutan jumlah uang tertentu, dan tidak mencerminkan keterkaitan dengan tuntutan kelompok lain, apalagi dengan gerakan global, seperti NIIS dan terorisme. Karena itu, peristiwa penyanderaan ini sebaiknya terlebih dulu diidentifikasi secara detail dan hati-hati. Boleh jadi, penyanderaan itu dilakukan oleh kelompok yang semata-mata mencari uang dan perampokan biasa. Sekali lagi, kecuali mereka secara eksplisit mengklaim sebagai bagian dari gerakan lain. Julukan Abu Sayyaf juga sering dipakai secara serta-merta oleh orang luar atau pemerintah untuk menunjuk orang atau sekelompok orang yang bertindak menyerupai cara mereka.

Struktur sosial

Meskipun Islam sangat awal masuk ke wilayah Mindanao, tetapi Islam nyaris tidak mengubah struktur sosial masyarakat Mindanao awal. Masyarakat Mindanao terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang dipimpin oleh ”raja kecil” yang disebut datu. Setiap datu menguasai kelompok masyarakat dan wilayah tertentu dan boleh jadi berhadapan dengan kelompok yang dipimpin oleh datu yang lain. Persaingan dan konflik kekerasan seperti hal yang biasa ketika terjadi persaingan. Tradisi ini juga terjadi dalam perjuangan kemerdekaan atau otonomi sekalipun.

Mindanao juga terdiri atas berbagai etnis. Namun, yang paling besar adalah etnis Tausug yang merupakan etnis mayoritas di Kesultanan Sulu, dan suku Magindanao yang merupakan mayoritas di Kesultanan Magindanao yang berdomisili di pulau utama Mindanao. Polarisasi ini nantinya akan tecermin pula pada perbedaan dua organisasi MNLF yang berbasis di Sulu dengan mayoritas etnis Tausug dan MILF yang mayoritas etnis Magindanao dan berpusat di Magindanao. Pemimpinnya juga dari etnis dan asal-usul yang berbeda. Jika Nur Misuari berasal dari Tausug dan Sulu, Hasyim Salamat berasal dari suku dan Kesultanan Magindanao.

Sesungguhnya, baik MNLF maupun MILF merupakan kelompok pembaharu yang merupakan kritik keras terhadap feodalisme dalam sistem datu. Akan tetapi, ketika keduanya berhadapan dengan kekuasaan pusat Filipina dan berhadapan satu sama lain, keduanya kembali ke legitimasi kesukuan dan kesultanan mereka. Jika MNLF kembali kepada legitimasi Kesultanan Sulu dan etnis Tausug, MILF mencari legitimasi dari Kesultanan Magindanao dan suku Magindanao.

Pada Oktober 2014, terjadi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dengan MILF untuk menggantikan ARMM yang merupakan hasil perjanjian damai dengan MNLF. Namun, lagi-lagi perjanjian tersebut terkendala oleh sikap Kongres Filipina yang mempersoalkan landasan konstitusi dalam perjanjian tersebut.

Macetnya perjanjian damai antara MILF dan pemerintah pusat Filipina tersebut membuka dua luka yang menjadi salah satu sebab penting bagi berlanjutnya kekerasan kini. Luka pertama adalah di pihak MNLF karena perjanjian dengan MILF tersebut serta-merta menghapus ARMM yang merupakan hasil perjanjian dengan MNLF. Luka kedua adalah batalnya perjanjian dengan MILF itu sendiri, yang telah terjadi untuk kesekian kalinya.

Tradisi

Terlepas dari macetnya pembicaraan damai (peace talk) antara MILF dan pemerintah pusat Filipina, masyarakat Kepulauan Mindanao, khususnya wilayah yang hingga kini penduduknya mayoritas Muslim, seperti Pulau Sulu, Basilan, Tawi-Tawi, dan Magindanao, memiliki tradisi Islam yang sangat kuat betapapun keseharian mereka dituding terlibat dalam kelompok penculik dan perampok. Mereka memiliki penghormatan terhadap kepemimpinan agama yang sangat kuat ketimbang kepada pemerintah, khususnya pemerintah pusat Filipina. Karena itu, penting dipertimbangkan untuk melibatkan pemimpin agama dalam kemungkinan negosiasi dengan para penyandera itu.

Ulama Indonesia juga memiliki kedudukan tersendiri di sebagian masyarakat Mindanao Muslim secara umum, khususnya dari organisasi yang menonjol, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan pesantren. Bukan tidak mungkin mereka akan membuka diri jika negosiasi itu melibatkan kalangan mereka.

Lebih dari itu Pemerintah Indonesia perlu ambil bagian sekali lagi dalam perdamaian Mindanao di tengah-tengah kemacetan dan ancaman kekerasan yang kian tinggi sebagaimana yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia di tahun 1980-an dan 1990-an.

Ahmad Suaedy
Kompas, 01/04/2016
Anggota Ombudsman Republik Indonesia; Wakil Ketua Lakpesdam PBNU

Diplomasi Minyak Sawit

Isu aktual terkait ekspor produk perkebunan asal Indonesia kian menyulitkan diplomasi minyak sawit. Genderang perang dagang memasuki babak baru.

Pengenaan pajak progresif untuk ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) digulirkan Pemerintah Perancis. Selain itu, ada kampanye negatif berupa peredaran produk pangan asal Uni Eropa berlabel palm oil free (POF) atau pangan olahan bebas minyak sawit.

Produk berlabel POF merepresentasikan kampanye antisawit dengan membangun opini masyarakat kalau POF lebih aman dikonsumsi dibandingkan produk yang mengandung sawit. Hal ini tentu mendiskreditkan produk minyak sawit.

Pemerintah patut menolak kehadiran produk POF dan memprotes keras rencana Perancis menerapkan pajak progresif karena melanggar prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994.

Sebaliknya, pemerintah harus membuat aturan ketat untuk melindungi petani sawit lokal yang menguasai 45 persen perkebunan sawit di Indonesia. Produk makanan impor asal Uni Eropa yang beredar di Tanah Air harus produk yang menggunakan minyak sawit asal Indonesia.

Kampanye negatif

Bagaimana kita memaknai kampanye negatif ini? Untuk menjawab pertanyaan sulit ini, pemerintah harus mampu mencari solusi atas tantangan yang dihadapi industri minyak sawit nasional terkait persaingan minyak nabati di era perdagangan bebas yang semakin berat.

Serangan datang dari aktivis anti sawit dan kebijakan negara tujuan ekspor, seperti Perancis, dan akan diikuti negara Eropa lainnya.Harga CPO dan produk turunannya dari Indonesia pasti jadi lebih mahal. CPO tidak akan kompetitif lagi dan industri makanan akan mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain yang lebih murah.

Masyarakat Eropa terus gencar berkampanye negatif atas produk minyak sawit karena iri dengan keunggulan gizi minyak sawit. Mereka seakan membulatkan satu tekad, sawit patut dimusuhi karena tidak ramah lingkungan. Alasan di balik itu sesungguhnya negara-negara Eropa hendak melindungi produksi minyak nabatinya yang berbahan biji bunga matahari, kanola, dan kedelai.

Tuduhan tidak ramah lingkungan tidak terbantahkan karena praktik pembakaran lahan berlangsung setiap tahun untuk perluasan perkebunan sawit. Di Riau, misalnya, kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi di tahun 2016. Pembakaran hutan disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon perusak lapisan ozon dan dikaitkan juga dengan rusaknya habitat orangutan dan gajah. Deforestasi telah lama menjadi amunisi untuk membendung masuknya minyak sawit ke Barat.

Kebakaran hutan yang sudah menjadi kalender tahunan seharusnya bisa dicarikan solusinya supaya masa depan industri kelapa sawit nasional semakin baik.Pemerintah harus kampanye lebih serius lagi tentang larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pemerintah juga harus tegas terhadap perusahaan perkebunan yang menjadi tersangka pembakaran hutan, misalnya dengan mencabut izin ataupun melalui proses pengadilan.

Industri hilir

Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia penghasil minyak sawit mentah terbesar dunia sudah tercapai. Tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia dari urutan pertama. Jika pada 2006 produksi CPO baru 16 juta ton,data terbaru memperlihatkan dengan luas areal sawit 14 juta hektar pada 2015, Indonesia mampu memproduksi CPO 33 juta ton.

Indonesia menempati posisi puncak dalam klasemen negara produsen CPO dunia. Namun, di balik melimpahnya produksi CPO, industri ini dituduh merusak hutan dan menghilangkan hak hidup masyarakat lokal.

Semua tuduhan itu patut menjadi catatan penting pemerintah untuk membangun citra baik atas keunggulan Indonesia memproduksi minyak sawit mentah tertinggi di dunia. Prestasi hebat ini jangan sampai ternodai oleh kurangnya pemahaman para pemilik perkebunan sawit tentang lingkungan hidup.

Citra baik dan penilaian positifatas produksi CPO Indonesia erat kaitannya dengan rencana pemerintah membangun sejumlah industri hilir minyak sawit.

Produk turunan CPO yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi dansiap dilepas di pasarglobal. Produksi CPO yang diperkirakan sudahmencapai 33juta ton memang perlu didiversifikasi menjadi biodiesel dan berbagai produk turunan untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor.

Produk turunan CPO, seperti gliserin dan fatty alcohols, dapat menjadi contoh oleokimia dasar yang harganya meningkat setiap tahun. Penggunaan oleokimia ini amat luas sebagai bahan dalam industri sabun dan detergen, kosmetika, bahan farmasi, plastik, karet, dan sebagainya. Pengembangan industri hilir juga membuka lapangan kerja baru di Tanah Air.

Produk turunan

Di bidang pangan, CPO dapat diolah menjadi beragam produk turunan. Mulaiminyak goreng, margarin, es krim, cocoa butter substitute (CBS), whipping cream, emulsifier, hingga produk healty oil (nutrasetikal berbasis minyak sawit) yang diminati masyarakat (Sibuea, 2014).

Di tengah pasar yang kian mengglobal,pengusaha sawit nasional tidak bisa lagihanya mengandalkan ekspor CPO semata mengingat nilai tambah yang relatif kecil. Apalagi, harga CPO sewaktu-waktu dapat turun karena kampanye negatif dan pasokan CPO dari sejumlah negara lain yang juga mengembangkan perkebunan kelapa sawit.

Hal lain yang tidak kalah penting ialah pengembangan pasar dengan diplomasi cerdas untuk membidik negara-negara pengimpor minyak sawit baru guna mengompensasi hambatan ekspor dari sejumlah negara Eropa Barat.

Pemerintah harus tegar melawan kampanye negatif dengan pengembangan perkebunan sawit yang berbasisekonomi hijau (green economy) dan harus mampu menunjukkan keunggulan minyak sawit sesuai syarat transfat free, seperti keinginan pasar Eropa dan Amerika Serikat.


Posman Sibuea
Kompas, 01/04/2016
Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Katolik Santo Thomas, Medan

Pilkada DKI dan Politik Ekologi

Meskipun Pilkada DKI Jakarta 2017 masih jauh, tetapi suhu politik di Ibu Kota mulai memanas. Para bakal calon gubernur DKI Jakarta mulai mengeluarkan jurus untuk merebut kursi DKI 1.

Bahkan, ada kubu yang tak segan menggunakan isu etnis dan agama untuk memenangi kursi gubernur DKI Jakarta. Pilkada DKI direduksi menjadi sekadar politik identitas suku, etnis, dan agama tertentu.

Padahal, persoalan di Jakarta sebenarnya tidak ada kaitannya dengan politik identitas. Persoalan di Jakarta lebih terkait dengan politik ekologi, karena pemicu krisis ekologi di Jakarta adalah kebijakan politik elite, baik di Kantor Gubernur DKI Jakarta maupun DPRD.

Penguasaan lahan

Krisis ekologi di Jakarta diawali dengan penguasaan lahan secara luas di Jakarta oleh perusahaan pengembang properti. Sebagian besar lahan di Jakarta kini dikuasai 10 perusahaan pengembang properti kakap. Akibatnya, pemerintah kesulitan menambah ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air.

Kesulitan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menambah RTH akibat penguasaan lahan oleh segelintir perusahaan pengembang properti, tampak dari laju penurunan luas RTH yang berbanding lurus dengan kenaikan pasokan kawasan komersial di Jakarta. Target luasan RTH dalam tata ruang Jakarta terus dikurangi sebagai bagian dari legalisasi perubahan itu, dari 37,2 persen dalam rencana induk 1965-1985 hingga 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010. Sedangkan tambahan pasokan ruang komersial begitu hebatnya, 3.046.000 meter persegi pada 2000-2006. Bandingkan dengan 1960-1999 yang hanya 1.454.000 meter persegi.

Penentuan RTRW adalah kebijakan politik, krisis ekologi berupa krisis RTH di Jakarta terkait erat dengan proses politik gubernur dan DPRD.

Jadi mahal

Penguasaan lahan skala luas menyebabkan harga lahan di Jakarta menjadi mahal. Tahun 2013 saja, berdasarkan survei Bank Indonesia, harga tanah pada triwulan II-2013 di Jakarta meningkat rata-rata 20,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya year on year (yoy). Kenaikan harga tanah tertinggi terjadi di Jakarta Pusat 22,14 persen dan di Jakarta Selatan 20,30 persen.

Harga tanah yang mahal jelas tak terjangkau warga miskin kota. Mereka akhirnya tersingkir ke bantaran sungai dan kawasan permukiman kumuh yang tak jarang dibangun di atas RTH. Celakanya, atas nama pembangunan Kota Jakarta, warga miskin ini kemudian digusur. Jakarta seakan hanya untuk yang kaya.

Melejitnya harga tanah di Jakarta juga membuat kawasan sekitar Jakarta, seperti Bogor-Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) diserbu pengembang perumahan untuk memfasilitasi warga yang bekerja di Jakarta. Akibatnya, kota-kota di Bodetabek menghadapi krisis pertanian, RTH, dan ruang publik. Krisis ekologi pun menular di wilayah sekitar Jakarta.

Krisis udara bersih

Bukan hanya RTH, Jakarta kini juga alami krisis udara bersih yang cukup parah gara-gara asap kendaraan bermotor. Merujuk kepada penelitian Universitas Indonesia, 57,8 persen pasien di rumah sakit Jakarta mengalami komplikasi pernapasan akibat polusi udara. Dari keseluruhan pasien, 1,2 juta atau 12,6 persen di antaranya memiliki keluhan asma atau bronkitis. Dengan perkiraan biaya Rp 173.000-Rp 4,4 juta per pasien, total ongkos pengobatan akibat asma dan bronkitis bisa mencapai Rp 210 miliar-Rp 5,3 triliun.

Sayangnya, Pemprov DKI Jakarta justru menambah panjang jalan dengan membangun 6 tol dalam kota. Padahal, sudah banyak penelitian di dalam atau pun luar negeri yang menunjukkan, pembangunan jalan tol justru menambah penggunaan kendaraan pribadi dan berujung pada peningkatan polusi udara.

Di Mumbai, India, misalnya, ketika panjang jalan diperpanjang dua kali lipat sepanjang 1951-2007, jumlah kendaraan bertambah 43 kali.

Studi oleh Universitas California di Berkeley antara 1973-1990 mendapati, untuk setiap 10 persen kenaikan kapasitas jalan raya (termasuk jalan tol), lalu lintas juga naik 9 persen dalam waktu 4 tahun (Carol Jouzatis, ”39 Million People Work, Live Outside City Centers” USA Today, November 4, 1997: 1A-2A).

Sementara studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam Kota Jakarta (PT Pembangunan Jaya, Mei 2005) justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 kilometer di Jakarta akan selalu dibarengi pertambahan 1.923 mobil pribadi. Dapat dibayangkan berapa ratus ribu mobil lagi yang akan berkeliaran di Jakarta jika dibangun jalan tol dalam kota baru sepanjang 69,77 km dan berapa besar biaya kesehatan yang harus ditanggung warga akibat polusi udara.

Krisis air bersih

Krisis ekologi lain yang terjadi di Jakarta adalah air bersih. Krisis air bersih sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Namun, pemerintah kota Jakarta seperti tidak berdaya. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mencatat, air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah ternyata justru menjadi air larian (run off) penyebab banjir.

Data BPLHD DKI Jakarta menyebutkan, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian yang berpotensi memicu banjir.

Semua krisis ekologi itu nyata dirasakan warga Jakarta. Bahkan, warga kota harus membayar tambahan biaya kesehatan yang muncul akibat krisis ekologi itu. Siklus krisis ekologi di Ibu Kota harus dihentikan dari akarnya, yaitu kebijakan politik.

Di sinilah politik ekologi relevan dimunculkan, bukan politik identitas.

Firdaus Cahyadi
Kompas, 01/04/2016
Direktur Eksekutif OneWorld-Indonesia

Tan Malaka

Tanggal 13 Februari 1922, Tan Malaka ditangkap di Bandung saat memimpin sekolah Sarekat Islam (SI). Bagi Belanda, ia berbahaya. Tanggal 23 Maret 2016, juga di Bandung, Tan Malaka dilarang tampil. Pementasan "Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah" di pusat kebudayaan Perancis IFI batal karena ditolak massa. Setelah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil turun tangan, baru esoknya bisa dipentaskan.

Masa lalu telah berlalu, tetapi kecemasan sejarah terus saja membayang: Tan Malaka masih dianggap berbahaya. Dia memang sosok kontroversial. Ditolak karena Marxis/komunis. Namanya dihapus dalam sejarah bangsa oleh rezim Orde Baru.

Tan Malaka memang misterius. Jejak perjuangannya melampaui 11 negara di dua benua. Namun, di mana pun ia berada, selalu dianggap berbahaya. Dialah orang paling dicari polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok. Terpaksa ia bersembunyi dan menyamar. Sedikitnya ia punya 23 nama samaran. Toh, pernah merasakan bui di Filipina dan Hongkong.

Tan Malaka memang sosok kontroversi. Marxis, tetapi mengkritik keras Komunisme Internasional (Komintern) karena enggan bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Pada usia 25 tahun (1921), dia sudah memimpin PKI, tetapi ditolak oleh PKI. Dia menolak rencana pemberontakan tahun 1926-1927, juga tak terlibat pemberontakan Madiun tahun 1948. Dari tempat persembunyiannya di Bangkok, dia membangun partai sendiri, Partai Republik Indonesia (Pari) tahun 1927.

Tan Malaka juga ironi. Mendapat gelar pahlawan pada 1963, tetapi akhir hayatnya sangat tragis. Dia dieksekusi dengan tangan terikat ke belakang, yang disinyalir dilakukan tentara pada 1949. Harry A Poeze, sejarawan Belanda yang setia menelusuri jejak Tan Malaka, menelusuri makamnya di Selopanggung, Kediri.

Namun, sulit membantah Tan Malaka tokoh legendaris. Sesungguhnya ia nasionalis tulen. Apa pun ideologinya, ia mencurahkan hidup untuk kemerdekaan bangsanya. Bahkan, tak hirau dengan kehidupannya sendiri. Tak heran, nama besarnya menjadi patron bagi para pejuang bangsa. Dia disebut "Bapak Republik Indonesia", setelah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik) tahun 1925.

Di kalangan mahasiswa sampai awal 1990-an, ia adalah idola. Pada zaman Orde Baru, buku-bukunya dicari lewat bisik-bisik. Madilog (1943) jadi puncak karya Tan Malaka, sebagai filsuf sampai tataran praksis, bukan cuma tataran ide. Berburu buku-buku Tan Malaka tak saja sulit, tetapi juga kater-ketir. Sekitar 1988-1989, karena sering berjongkok di penjual buku loakan di Pasar Senen, Jakarta Pusat, beruntung mendapatkan buku-buku lawas Tan Malaka, termasuk masih dalam bentuk ketikan.

Tahun 1994, ketika pergi ke Bayah, Banten selatan, salah satu tempat persembunyian Tan Malaka zaman penjajahan Jepang, ada orang tua yang mengenalnya. Pak Tua cuma ingat, tahun 1940-an, ada lelaki bertubuh tidak tinggi, tetapi dikenal pintar dan jago bicara. Sayang, sewaktu di Haarlem, Belanda, tahun 2014, tak sempat menelusuri jejak Tan Malaka (1913-1919).

Sekarang tahun 2016. Komunisme telah lama apkir. Rezim pun telah berganti. Namun, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka, begitu nama lengkapnya, tetap saja "berbahaya". Dia benar-benar pejuang revolusioner yang kesepian. Sejarah memang penuh ironi. Padahal, kata sejarawan Sir John Seeley (1834-1895), belajar sejarah agar kita lebih bijak. Kita-generasi yang merasakan kenikmatan kemerdekaan sekarang-sesungguhnya telah berutang kepada Tan Malaka dan pendiri bangsa yang lain.

M Subhan SD
Kompas, 31/03/2016
Wartawan Senior Kompas