Tuesday 15 March 2016

Quo Vadis Kedaulatan Komunikasi?

Perkembangan teknologi komunikasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi informasi memberikan warna baru bagi bentuk komunikasi publik. Hal itu sangat terasa dalam kehidupan berdemokrasi di berbagai negara.
Teknologi informasi dan komunikasi menyediakan akses lebih luas terhadap informasi dan kemampuan warga negara dalam merefleksikan aspirasinya di luar lingkup individu. Masyarakat informasi yang dihasilkan kemajuan teknologi mulai bergerak, membentuk ruang-ruang publik virtual sebagai sarana merepresentasikan kehendak dan menyatakan eksistensi mereka.

Ruang virtual yang tersedia merupakan sarana untuk menyatakan visi, ukuran, ataupun persoalan demokrasi, menurut versi masingmasing individu. Dialoglah yang kemudian menjadi jembatan integrasi untuk menumbuhkan budaya demokrasi. Beberapa tahun belakangan ini warga dunia maya (netizenship) di Indonesia meledak keras.

Publik dengan mudah mengakses berita, opini, dan barang komoditas hanya dalam hitungan detik dengan sentuhan daripada kejadian realitas. Hal ini tidak teriring pola pikir masyarakat yang kurang mampu memfilter keadaan dalam perubahan komunikasi ini sehingga terkesan semua informasi positif dan negatif berbentuk sama dan sangat sulit membedakannya. Mana yang sebenarnya dan mana yang hoax.

Siapa yang tidak memiliki akun media sosial. Hampir dipastikan bahwa siapa pun yang memiliki handphone, pasti ada memiliki akun di Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan sebagainya. Kondisi tersebut seperti kelaziman yang mengubah bagaimana cara berkomunikasi pada era yang serbadigital ini.

Karakteristik media sosial adalah konten oleh pengguna atau lebih populer disebut dengan user generated content (UGC). Term ini menunjukkan bahwa di media sosial konten sepenuhnya milik dan berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun. UGC merupakan relasi simbiosis dalam budaya media baru, yang memberikan kesempatan dan keleluasaan pengguna untuk berpartisipasi (Lister et al., 20013:221).

Situasi ini jelas berbeda jika dibandingkan media lama (konvensional), di mana khalayaknya sebatas menjadi objek atau sasaran pasif dalam distribusi pesan. Media baru—termasuk media sosial—menawarkan perangkat atau alat serta teknologi baru, yang memungkinkan khalayak (konsumen) untuk mengarsipkan, memberikan keterangan, menyesuaikan, serta menyirkulasi ulang konten media (Jenkins, 2002).

Dan ini membawa pada kondisi produksi media yang do-it-yourself. Beberapa sektor industri media telah melibatkan penonton yang aktif sebagai perpanjangan tangan pemasaran mereka. Tentu saja industri media itu mendapatkan umpan balik yang lebih besar dari penggemar mereka, dan bekerja sama dengan penonton yang turut menghasilkan konten ke dalam proses desain mereka.

Teknologi baru telah meruntuhkan hambatan antara konsumsi media dan produksi media. Misalnya YouTube memberikan perangkat atau fasilitas pembuatan kanal (channel). Kanal ini dimiliki khalayak yang telah memiliki akun. Di kanal ini pengguna bisa mengunggah video berdasarkan kategori maupun jenis yang diinginkan.

Ibarat sebuah kanal stasiun televisi di perangkat TV, kanal yang dibentuk oleh pengguna ini gambaran atau sebagai model produksi dari TV secara mikro di media sosial (Lister et al., 2003:227-228).

Terancamnya Kedaulatan Komunikasi

Layanan over the top (OTT) adalah layanan pengiriman konten berupa data, informasi, atau multimedia menggunakan content distribution network (CDN) dan dioperasikan oleh operator yangberbedadari networkservice provider (NSP).

Melihat perkembangannya, perusahaan media asing yang lebih mendominasi ruang konten di Indonesia. Beberapa hari ini kita mendengar dan membaca di berbagai media, pemerintah akan memblokir Google, Facebook, dan Twitter di Indonesia. Sebagai jajaran perusahaan OTT, mereka diminta oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara agar menguatkan posisi mereka secara hukum menjadi badan usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Sanksi tegas akan diberikan kepada perusahaan raksasa tersebut. Jika tak mau memenuhi persyaratan ini, tindakan tegas pemerintahtelahmenantiseperti pemblokiran video YouTube milik Google, Instagram dan WhatsApp milik Facebook, serta layanan microblogging Twitter. Saat ini kebanyakan OTT di Indonesia hanya memiliki representative office seperti Google atau Twitter.

Kebijakan yang diutarakan menkominfo itu menegaskan hal ini kepada tiga perusahaan besar milik AS tersebut untuk melindungi pengguna layanan internet di Indonesia. Di sinilah posisi pemikiran kita teruji. Bagaimana bisa perusahaan media baru dalam kategori OTT bisa masuk ke negara kita tanpa berkontribusi apa pun? Menjadi barang dagangan yang lepas tanpa regulasi.

Sedangkan perusahaan media konvensional selalu dikejar dengan aturan-aturan tegas dalam ukuran kebijakan. Memang seharusnya pemerintah harus berani mengambil sikap tegas terhadap seluruh perusahaanOTTsepertiGoogle, Facebook, Twitter. Memaksa mereka mendirikan BUT menjadi bentuk penegakan kedaulatan Indonesia atas perusahaan asing tersebut.

Negara selama ini sudah banyak dirugikan dengan kehadiran perusahaan layanan aplikasi asal luar negeri. Mereka terbukti banyakmeraupkeuntungandari Indonesia, sementara tidak ada timbal balik terhadap negara kita. Kalau mereka memperoleh penghasilan dari Indonesia, seharusnya mereka harus membayar pajak ke Indonesia (PPN) dan bayar pajak penghasilan bila perusahaan beruntung.

Sejumlah negara sudah bertindak tegas terhadap perusahaan penyedia aplikasi yang tidak menaati aturan sebagai BUT. Kalau di bidang penyiaran misalnya, kepemilikan harus dimiliki mayoritas media lokal. Sedangkan media baru tidak ubahnya dengan media konvensional. Sebab itu, harus diatur kepemilikannya serta diawasi kontennya. Apabila tidak disensor, tentu akan berbahaya untuk generasi muda karena bisa saja tidak sesuai dengan sosio-budaya kita.

Perlindungan Konsumen
Alasan utama mendesak perusahaan OTT membuat BUT adalah perlindungan konsumen. Terutama dari sisi data pribadi yang mereka kumpulkan. Bayangkan, sebuah OTT seperti Facebook saja bisa mengumpulkan berbagai data mulai dari kegemaran, alamat, hingga tempat-tempat yang dikunjungi penggunanya.

Hal tersebut bisa saja dipakai untuk berbagai tujuan sehingga mesti dikenai aturan tertentu agar pemilik data terlindungi. Perusahaan OTT tak harus mendirikan usaha atau kantor sendiri, namun bisa dilakukan melalui kerja sama dengan operator telekomunikasi ataupun joint venture dengan perusahaan lokal.

Kalau ini terjadi—perusahaan mau bertransformasi sebagai BUT, tentu saja akan ada banyak keuntungan yang dapat kita rasakan. Jika perusahaan OTT menjadi BUT, tentu dipastikan ada kantor riil yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga dapat membuka lapangan kerja baru di Tanah Air.

Tak hanya itu, kepemilikan perizinan legalitas untuk beroperasi di Indonesia juga dapat dimanfaatkan sebagai senjata utama agar mereka mematuhi seluruh undang-undang yang berlaku di negara kita. Setiap transaksi yang mereka lakukan pun akan dikenai pajak sehingga dapat menambah pemasukan bagi negara.

Rencana pemerintah untuk mengeluarkan aturan ini sekitar akhir Maret 2016 (dengan masa transisi terlebih dahulu) harus dilaksanakan. Jangan sekadar menjadi wacana populis dalam kegalauan aturan negeri kita saat ini. Masyarakat memerlukan kepastian perlindungan dari negaranya. Saatnya kedaulatan komunikasi negeri ini dijaga dengan wibawa yang terhormat, menuju masyarakat yang adil dan makmur.

YULIANDRE DARWIS PHD
Koran SIndo, 15/03/2016
Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Universita Andalas


0 comments: