Wednesday 4 June 2014

Wakil Rakyat, antara Kajian Semantis dan Realita


Wakil Rakyat, antara Kajian Semantis dan Realita

PADA suatu ketika penulis menyempatkan diri mampir di sebuah rumah makan. Tidak ada yang menarik di sana karena kebetulan penulis makan bukan karena lapar, tapi untuk memenuhi kewajiban makan tiga kali sehari. Kemudian, di sela makan itu, benak penulis terserap bacaan kusam yang sudah lama tapi sangat mengesankan. Indonesia, Obama, "James Bond", begitulah bacaan itu diberi judul.
Yang menarik bukan pengarangnya, kebetulan Garin Nugroho, yang dimuat Kompas, 11 November 2012. Saking menariknya, penulis mengoyak kolom tersebut setelah permisi dari pemilik rumah makan. Dengan rapi, Garin Nugroho memaparkan Obama yang menjadi superstar di AS, berikut James Bond yang berhasil menjadi ikon sikap nasionalisme Inggris.

Penulis menjadi tahu benar bahwa menurut Obama kekuatan bangsa itu bukan melulu karena kekuatan perang, juga dari ikatan bangsa yang saling mendukung. Kemudain, muncul pertanyaan dalam hati: Andai indikator kekuatan bangsa adalah kekuatan perang dan intensitas keterikatan batin warga negara, jelas Indonesia bukan negara yang kuat? Hanya mungkin akan kuat kalau indikator kedua: keterikatan batin warga.

Begitupun, penulis belum berani memberi nilai sempurna pada kategori keterikatan batin ini. Masuk akal saja, karena memang pemerintah kita belum bertindak adil pada semua lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jargon hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih tetap menjadi sebuah realita yang tak terbantahkan. Pada gilirannya, ekspektasi kita kepada pemerintah menjadi reinkarnasi Ratu Adil menjadi termentahkan. Sebaiknya, kita tidak usah lagi mempertanyakan apakah keterikatan batin masyarakat telah bersinergi, sebab pemerintah sendiri belum merasa adanya ikatan batin dengan rakyat, kecuali menjelang pemilu seperti saat ini.

Kennedy, Kini Giliran Wakil Rakyat
Kali ini penulis tidak bermaksud mengupas pandangan Barrack Obama, juga bukan mengupas mengapa James Bond menjadi ikon berharga di Inggris. Penulis hanya sangat tergugah ketika Garin Nugroho memaparkan bahwa SBY akhirnya didaulat rakyat menjadi orang nomor 1 di Indonesia selain karena visi, rupanya juga karena postur tubuh SBY yang ganteng berikut bahasanya yang tertata apik.

Berpijak pada pandangan tersebut, maka tidak salah Jabar menjual sosok artis menjadi gubernur. Sebenarnya tidak mengapa, hanya saja bagi penulis itu sesuatu yang sangat tragis, jika tidak dramatis. Lebih tragis lagi karena kartel partai politik terjebak pada aspek kepopuleran minus kapabilitas. Parpol yang dipercayakan mampu menjaring pemimpin berdedikasi tinggi malah cenderung terjebak pada materi apa yang melekat, bukan pada kemampuan apa yang dimiliki calon tersebut. Pada titik ini, kita wajar mengadili bahwa parpol belum mampu membaca alur gerak psikologi masyarakat. Parpol belum mampu belajar dari sosok Jokowi-Basuki yang dipilih ketika rakyat merindukan kerja nyata dan politik pelayanan. Secara fisik, jelas Jokowi-Basuki bukan tandingan artis, bahkan kalau boleh disebut, mereka terkhusus Jokowi, adalah orang yang patut dikasihani.

Penulis makin tergugah ketika membaca paragraf paling akhir. Garin Nugroho mengatakan saat ini sebenarnya kita sedang inflasi politikus sekaligus inflasi produk-produk budaya populer. Anehnya, di tengah membludaknya nama-nama politikus itu, ternyata kita kehilangan sifat-sifat kepahlawanan. Sangat mungkin situasi demikian nantinya akan bermuara pada hilangnya ikatan emosional kita terhadap bangsa. Jika sudah demikian, militansi kita terhadap negara pun akan mengalami resesi akbar. Pada akhirnya, kita akan menjawab "ya" pada pertanyaan, apakah kita kehilangan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia?

Jangan Mengambil Cermin yang Salah
Pertanyaan di atas bukan tanpa maksud, apalagi sebab. Maksudnya kurang lebih supaya pemerintah tidak mengambil cermin yang salah ketika hendak bercermin. Kiranya, sebabnya juga ada. Apabila melihat pemerintah - sering kita sebut sebagai wakil rakyat - kita sering kali menjadi muak. Muak dengan praktik demokrasi karena pemilu kita ibarat memilih orang bodoh di antara orang idiot atau memilih pencuri di antara penyamun.

Memang kita patut bersyukur sebab tidak lagi memilih kucing di dalam karung. Tapi, tetap saja frase wakil rakyat ini telah mencederai maknanya, tidak saja secara leksikal namun juga secara semantis. Singkatnya, realita yang kita tonton selama ini sudah menjadi pembohongan frase wakil rakyat secara semantis.

Mungkin wakil rakyat boleh berkelit. Sebut saja mereka boleh membuat pembenaran manakala menerima upeti penghargaan dari negara lain. Sebagai wakil rakyat, ya, merekalah yang menerima, bukan rakyat. Tapi, kiranya, kajian semantis dan psikologinya lebih menekankan bahwa wakil rakyat itu lebih rendah dan berpihak pada rakyat. Alur berpikirnya bahwa ketua tidak pernah berharap menjadi wakil ketua. Kita memang tidak berharap wakil kita menjadi jelek atau hina. Seperti pada pertandingan sepak bola, kita mengirimkan wakil kita yang terbaik. Tapi, penekanannya bukan pada wakil tersebut harus direndahkan atau didiskreditkan dan bukan bula menjadi sebuah kehormatan yang patut dibangga-banggakan setinggi mungkin, tapi lebih pada penekanan bahwa wakil rakyat tersebut merupakan sebuah amanah dan sebuah kewajiban yang harus dikerjakan secara berkeadilan.

Kita tidak butuh, walaupun sebenarnya butuh andai memang ada, seorang James Bond yang lihai menjaga nama baik negara dalam dunia perang. Yang paling awal kita butuhkan adalah seorang pemimpin, seorang wakil rakyat, yang benar-benar menjadi wakil rakyat secara leksikal dan semantis. Di tengah hiruk-pikuk Obama yang mengakui bahwa rakyat adalah referensinya untuk memimpin - bukan menguasai - kita masih pantas menitip secercah harapan. Semoga pada akhirnya masyarakat makan bukan karena lapar, tapi karena memang sebagai manusia harus makan seperti yang saya lakukan di rumah makan.

Lebih jauh, di tengah inflasi politikus dan budaya sekuler ini, semoga politisi kita dengan hati jernih - benar-benar harus dengan hati jernih minus faktor x - mampu membidani lahirnya wakil rakyat yang tidak menabrak makna semantisnya. Jika masih boleh, hendaknya politikus kita juga terlepas dari anggapan masyarakat - poly (banyak) dan tikus. Sebab poli + tikus sering diartikan kaum awam sebagai banyak tikus. Semoga wakil rakyat tidak menambah daftar alpa lagi di mata rakyat.

(Oleh :Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan

0 comments: