Wakil Rakyat, antara Kajian Semantis dan Realita
|
PADA suatu ketika penulis menyempatkan diri mampir di sebuah rumah
makan. Tidak ada yang menarik di sana karena kebetulan penulis makan
bukan karena lapar, tapi untuk memenuhi kewajiban makan tiga kali
sehari. Kemudian, di sela makan itu, benak penulis terserap bacaan kusam
yang sudah lama tapi sangat mengesankan. Indonesia, Obama, "James
Bond", begitulah bacaan itu diberi judul.
|
Yang menarik bukan pengarangnya, kebetulan Garin
Nugroho, yang dimuat Kompas, 11 November 2012. Saking menariknya,
penulis mengoyak kolom tersebut setelah permisi dari pemilik rumah
makan. Dengan rapi, Garin Nugroho memaparkan Obama yang menjadi
superstar di AS, berikut James Bond yang berhasil menjadi ikon sikap
nasionalisme Inggris.
Penulis menjadi tahu benar bahwa menurut
Obama kekuatan bangsa itu bukan melulu karena kekuatan perang, juga dari
ikatan bangsa yang saling mendukung. Kemudain, muncul pertanyaan dalam
hati: Andai indikator kekuatan bangsa adalah kekuatan perang dan
intensitas keterikatan batin warga negara, jelas Indonesia bukan negara
yang kuat? Hanya mungkin akan kuat kalau indikator kedua: keterikatan
batin warga.
Begitupun, penulis belum berani memberi nilai
sempurna pada kategori keterikatan batin ini. Masuk akal saja, karena
memang pemerintah kita belum bertindak adil pada semua lapisan
masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jargon hukum hanya tajam ke bawah
dan tumpul ke atas masih tetap menjadi sebuah realita yang tak
terbantahkan. Pada gilirannya, ekspektasi kita kepada pemerintah menjadi
reinkarnasi Ratu Adil menjadi termentahkan. Sebaiknya, kita tidak usah
lagi mempertanyakan apakah keterikatan batin masyarakat telah
bersinergi, sebab pemerintah sendiri belum merasa adanya ikatan batin
dengan rakyat, kecuali menjelang pemilu seperti saat ini.
Kennedy, Kini Giliran Wakil Rakyat
Kali
ini penulis tidak bermaksud mengupas pandangan Barrack Obama, juga
bukan mengupas mengapa James Bond menjadi ikon berharga di Inggris.
Penulis hanya sangat tergugah ketika Garin Nugroho memaparkan bahwa SBY
akhirnya didaulat rakyat menjadi orang nomor 1 di Indonesia selain
karena visi, rupanya juga karena postur tubuh SBY yang ganteng berikut
bahasanya yang tertata apik.
Berpijak pada pandangan tersebut,
maka tidak salah Jabar menjual sosok artis menjadi gubernur. Sebenarnya
tidak mengapa, hanya saja bagi penulis itu sesuatu yang sangat tragis,
jika tidak dramatis. Lebih tragis lagi karena kartel partai politik
terjebak pada aspek kepopuleran minus kapabilitas. Parpol yang
dipercayakan mampu menjaring pemimpin berdedikasi tinggi malah cenderung
terjebak pada materi apa yang melekat, bukan pada kemampuan apa yang
dimiliki calon tersebut. Pada titik ini, kita wajar mengadili bahwa
parpol belum mampu membaca alur gerak psikologi masyarakat. Parpol belum
mampu belajar dari sosok Jokowi-Basuki yang dipilih ketika rakyat
merindukan kerja nyata dan politik pelayanan. Secara fisik, jelas
Jokowi-Basuki bukan tandingan artis, bahkan kalau boleh disebut, mereka
terkhusus Jokowi, adalah orang yang patut dikasihani.
Penulis
makin tergugah ketika membaca paragraf paling akhir. Garin Nugroho
mengatakan saat ini sebenarnya kita sedang inflasi politikus sekaligus
inflasi produk-produk budaya populer. Anehnya, di tengah membludaknya
nama-nama politikus itu, ternyata kita kehilangan sifat-sifat
kepahlawanan. Sangat mungkin situasi demikian nantinya akan bermuara
pada hilangnya ikatan emosional kita terhadap bangsa. Jika sudah
demikian, militansi kita terhadap negara pun akan mengalami resesi
akbar. Pada akhirnya, kita akan menjawab "ya" pada pertanyaan, apakah
kita kehilangan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia?
Jangan Mengambil Cermin yang Salah
Pertanyaan
di atas bukan tanpa maksud, apalagi sebab. Maksudnya kurang lebih
supaya pemerintah tidak mengambil cermin yang salah ketika hendak
bercermin. Kiranya, sebabnya juga ada. Apabila melihat pemerintah -
sering kita sebut sebagai wakil rakyat - kita sering kali menjadi muak.
Muak dengan praktik demokrasi karena pemilu kita ibarat memilih orang
bodoh di antara orang idiot atau memilih pencuri di antara penyamun.
Memang
kita patut bersyukur sebab tidak lagi memilih kucing di dalam karung.
Tapi, tetap saja frase wakil rakyat ini telah mencederai maknanya, tidak
saja secara leksikal namun juga secara semantis. Singkatnya, realita
yang kita tonton selama ini sudah menjadi pembohongan frase wakil rakyat
secara semantis.
Mungkin wakil rakyat boleh berkelit. Sebut saja
mereka boleh membuat pembenaran manakala menerima upeti penghargaan
dari negara lain. Sebagai wakil rakyat, ya, merekalah yang menerima,
bukan rakyat. Tapi, kiranya, kajian semantis dan psikologinya lebih
menekankan bahwa wakil rakyat itu lebih rendah dan berpihak pada rakyat.
Alur berpikirnya bahwa ketua tidak pernah berharap menjadi wakil ketua.
Kita memang tidak berharap wakil kita menjadi jelek atau hina. Seperti
pada pertandingan sepak bola, kita mengirimkan wakil kita yang terbaik.
Tapi, penekanannya bukan pada wakil tersebut harus direndahkan atau
didiskreditkan dan bukan bula menjadi sebuah kehormatan yang patut
dibangga-banggakan setinggi mungkin, tapi lebih pada penekanan bahwa
wakil rakyat tersebut merupakan sebuah amanah dan sebuah kewajiban yang
harus dikerjakan secara berkeadilan.
Kita tidak butuh, walaupun
sebenarnya butuh andai memang ada, seorang James Bond yang lihai menjaga
nama baik negara dalam dunia perang. Yang paling awal kita butuhkan
adalah seorang pemimpin, seorang wakil rakyat, yang benar-benar menjadi
wakil rakyat secara leksikal dan semantis. Di tengah hiruk-pikuk Obama
yang mengakui bahwa rakyat adalah referensinya untuk memimpin - bukan
menguasai - kita masih pantas menitip secercah harapan. Semoga pada
akhirnya masyarakat makan bukan karena lapar, tapi karena memang sebagai
manusia harus makan seperti yang saya lakukan di rumah makan.
Lebih
jauh, di tengah inflasi politikus dan budaya sekuler ini, semoga
politisi kita dengan hati jernih - benar-benar harus dengan hati jernih
minus faktor x - mampu membidani lahirnya wakil rakyat yang tidak
menabrak makna semantisnya. Jika masih boleh, hendaknya politikus kita
juga terlepas dari anggapan masyarakat - poly (banyak) dan tikus. Sebab
poli + tikus sering diartikan kaum awam sebagai banyak tikus. Semoga
wakil rakyat tidak menambah daftar alpa lagi di mata rakyat.
(Oleh :Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment