Demi Tawaran Menteri-Senior
Oleh: Riduan Situmorang
Setelah sibuk menerapkan politik ala pimpong, akhirnya Partai Golkar
berlabuh di Poros Gerindra, tepat pada masa injury time. Hal itu menjadi
langkah alternatif mengingat elektabilitas ARB tak kunjung-kunjung naik
yang walaupun sudah sering nongkrong di berbagai media. Maka, posisinya
sebagai capres pun terjun bebas menjadi pejabat posisi kunci yang coba
ditawarkan oleh Prabowo yang kebetulan sudah meminang Hatta Rajasa
sebagai pendampingnya.
Yang kemudian menjadi menarik adalah posisi ARB di Poros Pemerintahan
Prabowo-Hatta jika kelak terpilih akan menjadi Menteri Senior atau
menteri utama. Hal ini menarik karena dalam susunan kabinet, kita tidak
menemukan posisi seperti itu. Bahkan, secara yuridis dalam UU No.39
Tahun 2008, istilah ini masih sangat asing. Lalu, bagaimana nanti ARB
menjadi pejabat menteri senior, kecuali kalau bukan dengan mengubah UU
Kementerian Negara? Apakah mungkin mengubah UU tersebut?
Jawabannya mungkin, UUD sekalipun masih tidak haram untuk diubah asal
tujuannya untuk meluruskan dan memuluskan jalan demi mencapai tujuan
nasional, bukan tujuan kolegial. Teknisnya, jika parlemen sudah
menyetujui, eksekutif tinggal hanya mengisi ruang-ruang yang ditambahkan
yang akan diawasi oleh yudikatif, dalam hal ini termasuk jabatan yang
akan diduduki oleh ARB. Akan tetapi, sebegitu mendesakkah pengubahan UU
Kementerian Negara ini untuk diubah? Apa tujuannya, kecuali hanya
sebatas menambah beban negara? Memang, kita belum pantas membahas ini di
sini mengingat pasangan Prabowo belum tentu menang. Tetapi, bagaimana
kalau akhirnya mereka menang? Apakah kita membiarkannya diubah? Apakah
pula mereka bisa mengubahnya?
Deposito Koalisi
Saya tegaskan sekali lagi, segala UU yang sifatnya mendasar sekalipun
bisa diubah asal tujuan pengubahan itu untuk kepentingan masyarakat
umum. Bahkan, kita sebagai rakyat pun harus menjadi yang terdepan untuk
mengusulkannya kepada pemerintah. Hanya, jika saja UU diubah untuk
kepentingan sesaat dan kolegial, lebih-lebih lagi kalau diperalat
sebagai deposito perjanjian platform koalisi, kita harus menentangnya.
Alasannya sederhana, UU diubah untuk kepentingan bersama, bukan
dijanjikan diubah hanya untuk menambahkan tandem koalisi.
Karena itulah, saya demikian curiga pada Poros Prabowo. Saya takut
kalau koalisi ini hanyalah koalisi semu yang tambun yang akan
terjerembab pada perburuan jabatan dan pragmatisme karena fondasinya
rapuh lantaran disokong deposito kedudukan, bukan emosional. Saya pun
kemudian makin curiga karena poros ini didatangi para negarawan dan ahli
hukum tata negara terkemuka sekaliber Mahfud MD dan Yusril Ihza
Mahendra dari PBB. Belum lagi karena Mahfud MD sebelumnya
digadang-gadang bakal dicapreskan PKB yang sekarang sudah memantapkan
koalisi dengan PDI-P.
Karena itu, jika saja koalisi ini rapuh dan lebih mengarah pada
pragmatisme, pengubahan UU hanya untuk sebuah kedudukan menjadi hal yang
logis. Apalagi, jika kita melihat dari susunan partai yang mendukungnya
cukup besar, yaitu 52% atau sebanyak 292 kursi. Kalau demikian adanya,
apakah kita akan membiarkannya diubah? Apakah kita pula harus percaya
pada peta koalisi tanpa syarat yang digadang-gadang oleh PDI-P? Semudah
itukah kita percaya, sebab, umumnya bahasa kampanye hanya lebih mengarah
pada daftar yang akan dikerjakan, bukan niat yang akan dilaksanakan.
Karena itulah, rakyat harus membuat terobosan penting mengingat
posisinya sedemikian genting dan urgen. Untungnya, dalam konteks
demokrasi, masyarakat mempunyai suara. Masalahnya adalah, seringkali
suara tersebut diselewengkan, baik oleh para politisi maupun oleh
masyarakat yang tersandera politik uang.
Nah, melihat berbagai masalah yang sedemikian kompleks tersebut,
masyarakat menjadi dituntut untuk menimbang sebelum memilih. Ibarat
kalau demokrasi adalah pementasan kolosal, rakyat diharapkan mampu
membuat penampilan yang mengagumkan melalui memilih peran protagonis dan
penuh penghayatan. Setelah penampilan, rakyat pun diminta untuk tidak
terlalu larut dalam euforia, apalagi larut dalam alur cerita yang
mungkin sengaja diacak, tetapi rakyat juga harus tetap aktif menjaga dan
mengawal suara. Karena, masa-masa periodik seperti ini menjadi
satu-satunya kesempatan bagi kita untuk berefleksi sekaligus bertindak.
Dengan demokrasi seperti ini pula, kita diberi kesempatan untuk berenung
untuk memilih, terutama memilih dengan hati. Deskripsinya, jika kita
ikut mentas hanya untuk bayaran tanpa ada emosional dan penghayatan,
kita akan jatuh pada lubang yang sama dan harus menunggu 5 tahun lagi
untuk menghayati peran.
Libatkan Emosi
Hanya karena itu, demi tidak jatuh ke lubang yang sama, rasanya tidak
cukup sebatas melihat dan menguji visi dan misi. Akan lebih menjanjikan
lagi, misalnya, kalau kita menimbang, apakah visi dan misi itu kongruen
dengan perilaku sang kandidat selama ini atau malah sebaliknya. Gampang
saja, kalau sang kandidat adalah ketua umum parpol, apakah selama ini
dia berhasil? Kalau dia kepala daerah, apakah dia menaruh simpati? Yang
lebih tajam lagi, apakah di belakangnya tersirat berita sentimen
negatif yang kelak dapat mengusik kenyamanan?
Semuanya kembali kepada kita. Apakah kita memilih presiden yang baru
dengan ketegasan, kelemahlembutan, kejujuran, dan dapat
dipertanggungjawabkan? Yang pasti, demokrasi bukanlah jalan satu-satunya
untuk memilih yang terbaik. Akan tetapi, melalui demokrasi, kita diberi
kebebasan yang luas untuk membuang kemungkinan terburuk. Atas dasar
itulah, mulai sekarang, mari memilih berdasarkan hati. Libatkan hati dan
emosi dalam memainkan peran, jangan sebatas teknis, apalagi hanya demi
bayaran! Kalau sudah demikian, kita tidak akan menyesal jika kelak, UU,
termasuk UU Kementerian Negara diubah karena memang sebelumnya kita
sudah berkeyakinan bahwa hal itu adalah mutlak demi kemaslahatan kita
bersama. Sebaliknya, jika kita tidak melibatkan hati dan emosional, kita
akan menyesal tak kepalang karena tiba-tiba UU sudah berubah, itu pun,
misalnya, demi tawaran menteri-senior yang kita belum tahu peruntukannya
kemana. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed
0 comments:
Post a Comment