Wednesday 4 June 2014

Demi Tawaran Menteri-Senior

Demi Tawaran Menteri-Senior

Oleh: Riduan Situmorang
Setelah sibuk menerapkan politik ala pimpong, akhirnya Partai Golkar berlabuh di Poros Gerindra, tepat pada masa injury time. Hal itu menjadi langkah alternatif mengingat elektabilitas ARB tak kunjung-kunjung naik yang walaupun sudah sering nongkrong di berbagai media. Maka, posisinya sebagai capres pun terjun bebas menjadi pejabat posisi kunci yang coba ditawarkan oleh Prabowo yang kebetulan sudah meminang Hatta Rajasa sebagai pendampingnya.
Yang kemudian menjadi menarik adalah posisi ARB di Poros Pemerintahan Prabowo-Hatta jika kelak terpilih akan menjadi Menteri Senior atau menteri utama. Hal ini menarik karena dalam susunan kabinet, kita tidak menemukan posisi seperti itu. Bahkan, secara yuridis dalam UU No.39 Tahun 2008, istilah ini masih sangat asing. Lalu, bagaimana nanti ARB menjadi pejabat menteri senior, kecuali kalau bukan dengan mengubah UU Kementerian Negara? Apakah mungkin mengubah UU tersebut?
Jawabannya mungkin, UUD sekalipun masih tidak haram untuk diubah asal tujuannya untuk meluruskan dan memuluskan jalan demi mencapai tujuan nasional, bukan tujuan kolegial. Teknisnya, jika parlemen sudah menyetujui, eksekutif tinggal hanya mengisi ruang-ruang yang ditambahkan yang akan diawasi oleh yudikatif, dalam hal ini termasuk jabatan yang akan diduduki oleh ARB. Akan tetapi, sebegitu mendesakkah pengubahan UU Kementerian Negara ini untuk diubah? Apa tujuannya, kecuali hanya sebatas menambah beban negara? Memang, kita belum pantas membahas ini di sini mengingat pasangan Prabowo belum tentu menang. Tetapi, bagaimana kalau akhirnya mereka menang? Apakah kita membiarkannya diubah? Apakah pula mereka bisa mengubahnya?
Deposito Koalisi
Saya tegaskan sekali lagi, segala UU yang sifatnya mendasar sekalipun bisa diubah asal tujuan pengubahan itu untuk kepentingan masyarakat umum. Bahkan, kita sebagai rakyat pun harus menjadi yang terdepan untuk mengusulkannya kepada pemerintah. Hanya, jika saja UU diubah untuk kepentingan sesaat dan kolegial, lebih-lebih lagi kalau diperalat sebagai deposito perjanjian platform koalisi, kita harus menentangnya. Alasannya sederhana, UU diubah untuk kepentingan bersama, bukan dijanjikan diubah hanya untuk menambahkan tandem koalisi.
Karena itulah, saya demikian curiga pada Poros Prabowo. Saya takut kalau koalisi ini hanyalah koalisi semu yang tambun yang akan terjerembab pada perburuan jabatan dan pragmatisme karena fondasinya rapuh lantaran disokong deposito kedudukan, bukan emosional. Saya pun kemudian makin curiga karena poros ini didatangi para negarawan dan ahli hukum tata negara terkemuka sekaliber Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra dari PBB. Belum lagi karena Mahfud MD sebelumnya digadang-gadang bakal dicapreskan PKB yang sekarang sudah memantapkan koalisi dengan PDI-P.
Karena itu, jika saja koalisi ini rapuh dan lebih mengarah pada pragmatisme, pengubahan UU hanya untuk sebuah kedudukan menjadi hal yang logis. Apalagi, jika kita melihat dari susunan partai yang mendukungnya cukup besar, yaitu 52% atau sebanyak 292 kursi. Kalau demikian adanya, apakah kita akan membiarkannya diubah? Apakah kita pula harus percaya pada peta koalisi tanpa syarat yang digadang-gadang oleh PDI-P? Semudah itukah kita percaya, sebab, umumnya bahasa kampanye hanya lebih mengarah pada daftar yang akan dikerjakan, bukan niat yang akan dilaksanakan. Karena itulah, rakyat harus membuat terobosan penting mengingat posisinya sedemikian genting dan urgen. Untungnya, dalam konteks demokrasi, masyarakat mempunyai suara. Masalahnya adalah, seringkali suara tersebut diselewengkan, baik oleh para politisi maupun oleh masyarakat yang tersandera politik uang.
Nah, melihat berbagai masalah yang sedemikian kompleks tersebut, masyarakat menjadi dituntut untuk menimbang sebelum memilih. Ibarat kalau demokrasi adalah pementasan kolosal, rakyat diharapkan mampu membuat penampilan yang mengagumkan melalui memilih peran protagonis dan penuh penghayatan. Setelah penampilan, rakyat pun diminta untuk tidak terlalu larut dalam euforia, apalagi larut dalam alur cerita yang mungkin sengaja diacak, tetapi rakyat juga harus tetap aktif menjaga dan mengawal suara. Karena, masa-masa periodik seperti ini menjadi satu-satunya kesempatan bagi kita untuk berefleksi sekaligus bertindak. Dengan demokrasi seperti ini pula, kita diberi kesempatan untuk berenung untuk memilih, terutama memilih dengan hati. Deskripsinya, jika kita ikut mentas hanya untuk bayaran tanpa ada emosional dan penghayatan, kita akan jatuh pada lubang yang sama dan harus menunggu 5 tahun lagi untuk menghayati peran.
Libatkan Emosi
Hanya karena itu, demi tidak jatuh ke lubang yang sama, rasanya tidak cukup sebatas melihat dan menguji visi dan misi. Akan lebih menjanjikan lagi, misalnya, kalau kita menimbang, apakah visi dan misi itu kongruen dengan perilaku sang kandidat selama ini atau malah sebaliknya. Gampang saja, kalau sang kandidat adalah ketua umum parpol, apakah selama ini dia berhasil? Kalau dia kepala daerah, apakah dia menaruh simpati?  Yang lebih tajam lagi, apakah di belakangnya tersirat berita sentimen negatif yang kelak dapat mengusik kenyamanan?
Semuanya kembali kepada kita. Apakah kita memilih presiden yang baru dengan ketegasan, kelemahlembutan, kejujuran, dan dapat dipertanggungjawabkan? Yang pasti, demokrasi bukanlah jalan satu-satunya untuk memilih yang terbaik. Akan tetapi, melalui demokrasi, kita diberi kebebasan yang luas untuk membuang kemungkinan terburuk. Atas dasar itulah, mulai sekarang, mari memilih berdasarkan hati. Libatkan hati dan emosi dalam memainkan peran, jangan sebatas teknis, apalagi hanya demi bayaran! Kalau sudah demikian, kita tidak akan menyesal jika kelak, UU, termasuk UU Kementerian Negara diubah karena memang sebelumnya kita sudah berkeyakinan bahwa hal itu adalah mutlak demi kemaslahatan kita bersama. Sebaliknya, jika kita tidak melibatkan hati dan emosional, kita akan menyesal tak kepalang karena tiba-tiba UU sudah berubah, itu pun, misalnya, demi tawaran menteri-senior yang kita belum tahu peruntukannya kemana. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed

0 comments: