Thursday 5 June 2014

Benarkah Korupsi itu Musuh Bersama?

Benarkah Korupsi itu Musuh Bersama?

Oleh: Riduan Situmorang
Mengingat korupsi menjadi momok yang sangat memuakkan, rakyat ramai-ramai menempatkan bahwa korupsi itu adalah ibarat dosa yang tidak terampuni. Karena korupsi merupakan dosa yang tidak terampuni, rakyat pun bersetuju untuk menghukum para koruptor seberat-beratnya, bila perlu, hukuman mati! Bahkan, tokoh yang begitu memperjuangkan hak asasi-termasuk hak untuk hidup-Paus Fransiskus I sampai terang-terangan mengatakan bahwa para koruptor itu harus dihukum seberat-beratnya dengan cara hukuman mati. Dengan mengutip Injil Lukas di Perjanjian Baru-Yesus berkata, “Lebih baik jika batu gerinda dikalungkan ke leher mereka, lalu lemparkan mereka ke lautan”- Paus sederhana ini memaparkan bawah para koruptor itu harus dibunuh. Lihat, ini adalah ungkapan kegeraman rakyat terhadap para pelaku koruptor.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah rakyat dan para birokrat memang sepakat bahwa korupsi itu adalah musuh bersama? Terus terang saya agak ragu! Apalagi, isu Pilpres kali ini sangat sedikit menawarkan cara untuk memberantas korupsi. Saya juga makin ragu karena memang kian hari, wakil rakyat dari berbagai lini - eksekutif, legislatif, dan yudikatif - malah makin banyak yang korupsi. Bahkan, kementerian agama seperti Surya Dharma Ali sebagai Menteri Agama yang diangkat dari Partai Islam, PPP, juga ternyata sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Ironisnya, walaupun dia sudah tersangka, seperti modus-modus lama, Surya Dharma Ali tetap mengelak, bahkan tidak mau mundur dari jabatannya. Ibaratnya, korupsi seakan sudah menjadi kewajiban: wajib korupsi, tetapi wajib disangkal ketika sudah tersangka. Ada apa sebenarnya?
Benar-benar Ragu
Tidak hanya itu. Hakim yang kita anggap menjadi wakil Tuhan di dunia ini pun ternyata benar-benar tidak kooperatif. Hakim sepertinya-maaf, maksud saya bukan sepertinya - memang benar-benar tidak sependapat dengan rakyat yang telah memaklumatkan bahwa korupsi itu adalah musuh bersama. Hal itu tidak berlebihan karena memang para hakim terkesan memperringan hukuman para koruptor. Maka benar kata Taufik Ismail dalam puisinya yang mengatakan bahwa koruptor di Arab dipotong tangannya, koruptor di Tiongkok, dipotong kepalanya, tetapi koruptor di Indonesia, dipotong tahanannya.
Lihatlah, seringkali hukuman yang diberikan oleh para hakim bagi para koruptor tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Malah, dalam banyak kasus, hakim malah melepaskan para koruptor dari jeratan hukum seperti Sudjiono Timan.
Para hakim sebagai wakil Tuhan pun tanpa ragu dan tanpa malu menerima suap dari para koruptor kakap seperti Ibrahim yang disogok Adner Sirait dalam kasus sengketa lahan antara PT Sabar Ganda dan Pemprov DKI Jakarta, Muhtadi Asnun yang diseret karena kasus suap Gayus Tambunan, Hakim Syarifuddin pada kasus suap dalam pengurusan kepailitan PT SkyCamping Indonesia. Jika harus dihitung-hitung, itu terlalu banyak. Belum lagi kasus hakim Imas Dianasari, Tejocahyono, lalu Heru Kisbandono yang menyuap Kartini Juliana Marpaung. Dua nama terakhir yang paling tragis karena sesama hakim pun saling menyuap. Pertanyannya sekarang adalah, apakah tindakan para hakim ini sudah merepresentasikan bahwa rakyat dan hakim telah sepakat kalau korupsi adalah benar-benar menjadi musuh bersama? Sekali lagi, saya ragu, malah sangat ragu!
Seperti judul tulisan ini, benarkah korupsi itu adalah musuh bersama? Kalau memang benar, bagaimana seharusnya kita - terutama para pejabat birokrat - menyikapinya?
Terus terang, mengentaskan korupsi pada abad ini, terutama di negeri ini butuh perhatian serius. Serius karena memang korupsi sudah makin mengakar. Cara-cara korupsi pun kian hari makin berkembang. Dulunya, korupsi itu hanya sebatas mengambil uang rakyat melalui penggelembungan dana, sekarang korupsi sudah mengenal istilah suap, gratifikasi, pencucian uang, atau Abraham Samad menyebutnya sebagai white collar crime. Anehnya, PPATK sebenarnya dapat dengan mudah melacak aliran dana dari kantong atau dari rekening koruptor, tetapi koruptor seakan tidak takut. Jangankan takut, malu saja mereka pun tidak sehingga dengan enteng saja memamerkan senyum nyengir sambil memakai baju tahanan. Akhirnya, “bangsaku” diubah menjadi “bank dan saku”.
Sama-sama Menunggu
Memang, koruptor sudah tidak pilah-pilih lagi. Segala hal menjadi lahan basah untuk korupsi. Proyek pengadaan Alquran dan pemberangkatan haji yang sejatinya untuk membangkitkan karakter malah dikorupsi. Rakyat bahkan menjadi sapi perah untuk proyek impor sapi. Hal itu makin meyakinkan kita bahwa politisi negeri ini sudah tidak beradab karena mereka korupsi bukan lagi karena kekurangan modal, melainkan karena kekurangan moral. Para jenderal di kepolisian yang mestinya menjaga keamanan negara pun, misalnya, malah merisaukan negara. Lalu, siapa lagi yang patut dipercaya dan relevankah pernyataan bahwa korupsi adalah musuh bersama?
Kalau relevan, mengapa tumbuhnya koruptor tidak diimbangi dengan naiknya jumlah aktivis antikorupsi? Lihatlah, aktivis antikorupsi cenderung makin menurun karena tidak ada lembaga formal untuk menumbuhkan dan membangun pribadi antikorupsi. Kalaupun ada, itu sangat terbatas. Itu pun hanya ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sama sekali tidak diperhatikan negara. Mestinya memang, ranah pendidikan menjadi ranah yang tepat untuk mereproduksi personal untuk mengentaskan korupsi. Tetapi tidak, Kementerian Pendidikan pun ditengarai masih belum bebas dari penyakit korupsi. Malah, setiap proyek seperti pengadaan buku, pengadaan laboratorium dan perpustakaan di sekolah dan perguruan tinggi, penggandaan soal dan buku, dan sederet proyek lainnya menjadi lahan basah untuk korupsi.
Entahlah, sampai pada detik dan pada titik ini, saya masih meragukan semboyan yang mengatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama. Sekali lagi itu tidak berlebihan, Lihatlah, Partai Demokrat yang terang-terangan pada tahun 2009 kemarin menggelorakan semangat untuk memberantas korupsi malah paling banyak menyumbang tersangka kasus korupsi. Terakhir, Sutan Bathoegana sebagai kader Demokrat pun masuk radar KPK. Partai berbasis agama yang mestinya harus lebih berintegritas, malah makin rakus. Lihat, kader PKS, bahkan Presiden PKS, terakhir Ketua Umum PPP pun masuk buku catatan buruk dari KPK.
Pertanyaan terakhir adalah, benarkah memang korupsi itu adalah musuh bersama? Kalau benar, bagaimana kita menyikapinya? Lalu, bagaimana pula para wakil rakyat untuk meyakinkan rakyatnya bahwa korupsi itu adalah musuh bersama? Yang paling urgen, bagaimana para pemimpin terpilih ke depan untuk menyikapi kasus korupsi? Apakah bersifat permisif, atau malah ikut menambah daftar koruptor? Mari sama-sama melihat!. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: