Benarkah Korupsi itu Musuh Bersama?
Oleh: Riduan Situmorang
Mengingat korupsi menjadi momok yang sangat memuakkan, rakyat
ramai-ramai menempatkan bahwa korupsi itu adalah ibarat dosa yang tidak
terampuni. Karena korupsi merupakan dosa yang tidak terampuni, rakyat
pun bersetuju untuk menghukum para koruptor seberat-beratnya, bila
perlu, hukuman mati! Bahkan, tokoh yang begitu memperjuangkan hak
asasi-termasuk hak untuk hidup-Paus Fransiskus I sampai terang-terangan
mengatakan bahwa para koruptor itu harus dihukum seberat-beratnya dengan
cara hukuman mati. Dengan mengutip Injil Lukas di Perjanjian Baru-Yesus
berkata, “Lebih baik jika batu gerinda dikalungkan ke leher mereka,
lalu lemparkan mereka ke lautan”- Paus sederhana ini memaparkan bawah
para koruptor itu harus dibunuh. Lihat, ini adalah ungkapan kegeraman
rakyat terhadap para pelaku koruptor.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah rakyat dan para birokrat memang
sepakat bahwa korupsi itu adalah musuh bersama? Terus terang saya agak
ragu! Apalagi, isu Pilpres kali ini sangat sedikit menawarkan cara untuk
memberantas korupsi. Saya juga makin ragu karena memang kian hari,
wakil rakyat dari berbagai lini - eksekutif, legislatif, dan yudikatif -
malah makin banyak yang korupsi. Bahkan, kementerian agama seperti
Surya Dharma Ali sebagai Menteri Agama yang diangkat dari Partai Islam,
PPP, juga ternyata sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Ironisnya, walaupun dia sudah tersangka, seperti modus-modus lama, Surya
Dharma Ali tetap mengelak, bahkan tidak mau mundur dari jabatannya.
Ibaratnya, korupsi seakan sudah menjadi kewajiban: wajib korupsi, tetapi
wajib disangkal ketika sudah tersangka. Ada apa sebenarnya?
Benar-benar Ragu
Tidak hanya itu. Hakim yang kita anggap menjadi wakil Tuhan di dunia
ini pun ternyata benar-benar tidak kooperatif. Hakim sepertinya-maaf,
maksud saya bukan sepertinya - memang benar-benar tidak sependapat
dengan rakyat yang telah memaklumatkan bahwa korupsi itu adalah musuh
bersama. Hal itu tidak berlebihan karena memang para hakim terkesan
memperringan hukuman para koruptor. Maka benar kata Taufik Ismail dalam
puisinya yang mengatakan bahwa koruptor di Arab dipotong tangannya,
koruptor di Tiongkok, dipotong kepalanya, tetapi koruptor di Indonesia,
dipotong tahanannya.
Lihatlah, seringkali hukuman yang diberikan oleh para hakim bagi para
koruptor tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Malah, dalam banyak kasus,
hakim malah melepaskan para koruptor dari jeratan hukum seperti
Sudjiono Timan.
Para hakim sebagai wakil Tuhan pun tanpa ragu dan tanpa malu menerima
suap dari para koruptor kakap seperti Ibrahim yang disogok Adner Sirait
dalam kasus sengketa lahan antara PT Sabar Ganda dan Pemprov DKI
Jakarta, Muhtadi Asnun yang diseret karena kasus suap Gayus Tambunan,
Hakim Syarifuddin pada kasus suap dalam pengurusan kepailitan PT
SkyCamping Indonesia. Jika harus dihitung-hitung, itu terlalu banyak.
Belum lagi kasus hakim Imas Dianasari, Tejocahyono, lalu Heru Kisbandono
yang menyuap Kartini Juliana Marpaung. Dua nama terakhir yang paling
tragis karena sesama hakim pun saling menyuap. Pertanyannya sekarang
adalah, apakah tindakan para hakim ini sudah merepresentasikan bahwa
rakyat dan hakim telah sepakat kalau korupsi adalah benar-benar menjadi
musuh bersama? Sekali lagi, saya ragu, malah sangat ragu!
Seperti judul tulisan ini, benarkah korupsi itu adalah musuh bersama?
Kalau memang benar, bagaimana seharusnya kita - terutama para pejabat
birokrat - menyikapinya?
Terus terang, mengentaskan korupsi pada abad ini, terutama di negeri
ini butuh perhatian serius. Serius karena memang korupsi sudah makin
mengakar. Cara-cara korupsi pun kian hari makin berkembang. Dulunya,
korupsi itu hanya sebatas mengambil uang rakyat melalui penggelembungan
dana, sekarang korupsi sudah mengenal istilah suap, gratifikasi,
pencucian uang, atau Abraham Samad menyebutnya sebagai white collar
crime. Anehnya, PPATK sebenarnya dapat dengan mudah melacak aliran dana
dari kantong atau dari rekening koruptor, tetapi koruptor seakan tidak
takut. Jangankan takut, malu saja mereka pun tidak sehingga dengan
enteng saja memamerkan senyum nyengir sambil memakai baju tahanan.
Akhirnya, “bangsaku” diubah menjadi “bank dan saku”.
Sama-sama Menunggu
Memang, koruptor sudah tidak pilah-pilih lagi. Segala hal menjadi
lahan basah untuk korupsi. Proyek pengadaan Alquran dan pemberangkatan
haji yang sejatinya untuk membangkitkan karakter malah dikorupsi. Rakyat
bahkan menjadi sapi perah untuk proyek impor sapi. Hal itu makin
meyakinkan kita bahwa politisi negeri ini sudah tidak beradab karena
mereka korupsi bukan lagi karena kekurangan modal, melainkan karena
kekurangan moral. Para jenderal di kepolisian yang mestinya menjaga
keamanan negara pun, misalnya, malah merisaukan negara. Lalu, siapa lagi
yang patut dipercaya dan relevankah pernyataan bahwa korupsi adalah
musuh bersama?
Kalau relevan, mengapa tumbuhnya koruptor tidak diimbangi dengan
naiknya jumlah aktivis antikorupsi? Lihatlah, aktivis antikorupsi
cenderung makin menurun karena tidak ada lembaga formal untuk
menumbuhkan dan membangun pribadi antikorupsi. Kalaupun ada, itu sangat
terbatas. Itu pun hanya ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
sama sekali tidak diperhatikan negara. Mestinya memang, ranah pendidikan
menjadi ranah yang tepat untuk mereproduksi personal untuk mengentaskan
korupsi. Tetapi tidak, Kementerian Pendidikan pun ditengarai masih
belum bebas dari penyakit korupsi. Malah, setiap proyek seperti
pengadaan buku, pengadaan laboratorium dan perpustakaan di sekolah dan
perguruan tinggi, penggandaan soal dan buku, dan sederet proyek lainnya
menjadi lahan basah untuk korupsi.
Entahlah, sampai pada detik dan pada titik ini, saya masih meragukan
semboyan yang mengatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama. Sekali lagi
itu tidak berlebihan, Lihatlah, Partai Demokrat yang terang-terangan
pada tahun 2009 kemarin menggelorakan semangat untuk memberantas korupsi
malah paling banyak menyumbang tersangka kasus korupsi. Terakhir, Sutan
Bathoegana sebagai kader Demokrat pun masuk radar KPK. Partai berbasis
agama yang mestinya harus lebih berintegritas, malah makin rakus. Lihat,
kader PKS, bahkan Presiden PKS, terakhir Ketua Umum PPP pun masuk buku
catatan buruk dari KPK.
Pertanyaan terakhir adalah, benarkah memang korupsi itu adalah musuh
bersama? Kalau benar, bagaimana kita menyikapinya? Lalu, bagaimana pula
para wakil rakyat untuk meyakinkan rakyatnya bahwa korupsi itu adalah
musuh bersama? Yang paling urgen, bagaimana para pemimpin terpilih ke
depan untuk menyikapi kasus korupsi? Apakah bersifat permisif, atau
malah ikut menambah daftar koruptor? Mari sama-sama melihat!. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.
0 comments:
Post a Comment