Polisi di Negeri Munafik
Oleh: Riduan Situmorang
Apa yang terjadi baru-baru ini di Sleman, Yogyakarta adalah masalah
klasik yang selalu saja berjalan nyaman di negeri ini. Yang kemudian
menjadi menarik adalah karena pada satu sisi kita terlihat berkoar untuk
tidak mengulangi hal yang sama sembari mencuatkan jargon keberagaman
adalah kemutlakan, tetapi pada saat yang hampir bersamaan, hal itu tetap
saja terjadi.
Dan, biasanya sesaat seusai kekerasan atas nama SARA itu diekspos ke
ruang publik, beragam pendapat di berbagai sosial media pun bermunculan.
Umumnya, di sana mereka mengutuk perbuatan itu. Bahasanya pun sangat
memukau, mulai dari yang menyebut agama adalah urusan personal yang
tidak bisa dipaksakan hingga pada adanya penyebutan sepihak bahwa
agamanya adalah agama damai. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau kita
memang sedemikian menghormati keberagaman, mengapa kekerasan justru
selalu terjadi dan malah makin masif?
Jujur, kenyataan ini adalah hal yang sangat kontras. Buktinya, di
bahasa media dan dalam berbagai perbincangan seperti seminar, kita
berlaku ibarat malaikat yang menempatkan perbedaan sebagai sesuatu yang
mutlak dan harga mati, tetapi pada kenyataannya, kita mendadak iblis
yang mengharamkan perbedaan.
Pada koridor yang sama, dukungan komplementer dari pemerintah pun
tampak menjanjikan karena mereka semua mengaku pluralisme adalah hal
mutlak yang harus dipertahankan, apa pun taruhannya. Tak pelak lagi,
setiap pemerintah selalu gagah-gagahan tampak berkejaran menjadi yang
terdepan mengutuk manakala kekerasan yang bersentimen SARA terjadi.
Nah, kalau semua pemerintah memang berusaha untuk memperjuangkan
pluralisme, mengapa kekerasan tetap saja terjadi? Ada apa sebenarnya di
balik ini semua?
Manusia Hipokrit
Tidak ada yang tahu secara pasti. Setiap pemimpin agama, misalnya,
bahkan selalu tampil terkemuka. Mereka pun tetap berkejaran menjadi yang
terdepan untuk mengutuk. Ada yang berkata agamanya adalah agama damai
yang selalu menghargai perbedaan. Yang pasti, tak pernah mereka
mendukung perbuatan itu secara blak-blakan, termasuk, misalnya, jika
pelaku itu adalah jamaahnya sendiri.
Dalam bahasanya, bagi mereka perbedaan tetap menjadi kekayaan yang
harus dijaga. Mereka kemudian menganalogikannya dalam bentuk sederhana,
yaitu keluarga sebagai salah satu contoh perbedaan yang sederhana.
Jelas saja, dalam keluarga sudah pasti tiap-tiap anggotanya terdiri
dari berbagai elemen, tetapi di dalam keluarga, perbedaan itu dapat
diorkestrasi menjadi sebuah keadaan yang terintegrasi dalam rasa
persatuan yang harmonis. Di sana, terlahir rasa perbedaan dalam kesatuan
dan kesatuan dalam perbedaan secara simultan dan konstruktif.
Pastinya, mereka memang beda satu sama lain sebagai pengejawantahan
bahwa manusia itu adalah unik, bahkan mungkin mengejar kepentingan yang
berbeda pula, tetapi mereka hidup harmonis dalam keluarga. Nah, melihat
itu semua, kita kembali semakin bertanya, kalau saja masyarakat,
pemerintah, dan pemuka agama tidak ada yang mengharamkan perbedaan,
mengapa kekerasan seperti ini selalu terjadi, bahkan secara periodik?
Apa yang salah dengan negeri ini?
Akhirnya, saya menjadi teringat pada Mochtar Lubis yang pernah
sedikit nyentrik untuk menelanjangi 12 sifat-sifat manusia Indonesia.
Menurut Mochtar Lubis, karakter orang Indonesia itu pertama-tama adalah
orang yang sangat hipokrit atau munafik. Bagi Mochtar, sifat ini menjadi
karakter yang umum di Indonesia sebab orang Indonesia biasanya bersikap
berpura-pura: lain di depan, lain pula di belakang, lain sekarang, lain
pula di masa depan.
Maka, semua pemerintah kita pun kemudian mengaku yang terbaik yang
telah berhasil menjaga amanah bangsa untuk merawat pluralisme walaupun
semuanya hanya kosong melompong. Tak kurang dari SBY pun, misalnya,
sudah mendapatkan penghargaan karena dinilai telah berhasil merawat
perbedaan.
Bahkan, sepekan sebelumnya, Pemerintah Daerah Yogyakarta bersama dua
Pemerintah Daerah lainnya juga memperoleh penghargaan bergengsi dari
Jaringan Antariman Indonesia (JAII) karena dinilai berhasil menjaga
kebebasan beragama melalui asas pluralisme dan multikulturalisme. Hanya
saja, semua penghargaan itu hanyalah ibarat kuburan, di luarnya memang
penuh keindahan, tetapi di dalam hanyalah seonggok bangkai yang penuh
dosa dan tidak bernyawa.
Semoga tidak Menunggu Giliran
Kemunafikan itu pun makin lengkap dan menjadi komplementer timpang
tindih terhadap pertambahan penderitaan anak-anak bangsa ketika
punggawa-punggawa yang bertanggung jawab merawat kenyamanan dan
keamanan, seperti polisi selalu datang terlambat, yaitu tepat ketika
korban sudah berjatuhan. Ironisnya, polisi selalu mencari alasan supaya
mereka tidak disalahkan. Lihat, betapa tidak berpikirnya mereka menjawab
kerisauan masyarakat Sleman akhir-akhir ini.
Baiklah saya kutip ucapan dari kepolisian itu di sini, “jika ada
kegiatan bersama-sama, mohon polisi diberitahu,”. Apakah kita harus
mengundang polisi untuk menjaga kita setiap hari? Lalu, apakah kita
bersalah ketika kita tertimpa masalah seperti kecopetan karena
sebelumnya tidak meminta polisi untuk menemani kita?
Idealnya tidak, tetapi polisi selalu saja mengasosiasikan rakyat yang
tertimpa masalah tadi yang teledor karena sebelumnya tidak menghubungi
polisi? Kalau demikian adanya, apa guna polisi kalau tugasnya hanya
untuk menunggu panggilan? Bayangkan pula kalau setiap acara
kecil-kecilan saja kita menghubungi polisi?
Saya curiga, pernyataan ini adalah tindak lanjut dari pernyataan
Bapak Kapolri kita yang terhormat, Sutarman, beberapa waktu yang lalu.
Saat itu Bapak Kapolri Sutarman yang terhormat mengatakan dan mengimbau
masyarakat agar tidak melakukan ibadat di rumah warga. Artinya, Polri
sengaja ingin melepaskan diri dari tanggung jawab. Mereka hanya menjaga
ibadah di rumah ibadah, selepas dari situ, mereka tidak bertanggung
jawab lagi.
Pertanyaannya, apakah masuk akal kalau kita mengadakan kebaktian,
latihan paduan suara, doa Rosario selalu harus di rumah ibadah serta
acara selamatan harus di wisma? Tentu hal ini paralel dengan anjuran
supaya latihan band harus di studio, latihan drama harus di pentas, dan
belajar pun harus di sekolah dan kampus. Wajarkah?
Saya yakin, kejadian memalukan seperti kekerasan di Sleman baru-baru
ini adalah konsekuensi logis dari bercampur aduknya kemunafikan
pemerintah, masyarakat, dan pemuka agama yang kemudian diperparah dengan
kinerja polisi yang sangat buruk.
Kita tidak dapat berharap banyak selain menghentikan kemunafikan ini
yang kemudian disempurnakan lagi dengan langkah tegas dan cepat dari
polisi. Polisi harus gencar mengamankan, bukan menunggu panggilan. Kalau
sebaliknya yang terjadi, yakinlah kita hanya menunggu giliran: kapan
memberi kekerasan dan kapan menerima kekerasan. Lagipula, kalau polisi
toh menunggu panggilan, apa bedanya mereka dengan body guard? ***
Penulis adalah staf pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan.
0 comments:
Post a Comment