Tuesday 10 June 2014

Polisi di Negeri Munafik

Polisi di Negeri Munafik

Oleh: Riduan Situmorang
Apa yang terjadi baru-baru ini di Sleman, Yogyakarta adalah masalah klasik yang selalu saja berjalan nyaman di negeri ini. Yang kemudian menjadi menarik adalah karena pada satu sisi kita terlihat berkoar untuk tidak mengulangi hal yang sama sembari mencuatkan jargon keberagaman adalah kemutlakan, tetapi pada saat yang hampir bersamaan, hal itu tetap saja terjadi.
Dan, biasanya sesaat seusai kekerasan atas nama SARA itu diekspos ke ruang publik, beragam pendapat di berbagai sosial media pun bermunculan. Umumnya, di sana mereka mengutuk perbuatan itu. Bahasanya pun sangat memukau, mulai dari yang menyebut agama adalah urusan personal yang tidak bisa dipaksakan hingga pada adanya penyebutan sepihak bahwa agamanya adalah agama damai. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau kita memang sedemikian menghormati keberagaman, mengapa kekerasan justru selalu terjadi dan malah makin masif?
Jujur, kenyataan ini adalah hal yang sangat kontras. Buktinya, di bahasa media dan dalam berbagai perbincangan seperti seminar, kita berlaku ibarat malaikat yang menempatkan perbedaan sebagai sesuatu yang mutlak dan harga mati, tetapi pada kenyataannya, kita mendadak iblis yang mengharamkan perbedaan.
Pada koridor yang sama, dukungan komplementer dari pemerintah pun tampak menjanjikan karena mereka semua mengaku pluralisme adalah hal mutlak yang harus dipertahankan, apa pun taruhannya. Tak pelak lagi, setiap pemerintah selalu gagah-gagahan tampak berkejaran menjadi yang terdepan mengutuk manakala kekerasan yang bersentimen SARA terjadi.
Nah, kalau semua pemerintah memang berusaha untuk memperjuangkan pluralisme, mengapa kekerasan tetap saja terjadi? Ada apa sebenarnya di balik ini semua?
Manusia Hipokrit
Tidak ada yang tahu secara pasti. Setiap pemimpin agama, misalnya, bahkan selalu tampil terkemuka. Mereka pun tetap berkejaran menjadi yang terdepan untuk mengutuk. Ada yang berkata agamanya adalah agama damai yang selalu menghargai perbedaan. Yang pasti, tak pernah mereka mendukung perbuatan itu secara blak-blakan, termasuk, misalnya, jika pelaku itu adalah jamaahnya sendiri.
Dalam bahasanya, bagi mereka perbedaan tetap menjadi kekayaan yang harus dijaga. Mereka kemudian menganalogikannya dalam bentuk sederhana, yaitu keluarga sebagai salah satu contoh perbedaan yang sederhana.
Jelas saja, dalam keluarga sudah pasti tiap-tiap anggotanya terdiri dari berbagai elemen, tetapi di dalam keluarga, perbedaan itu dapat diorkestrasi menjadi sebuah keadaan yang terintegrasi dalam rasa persatuan yang harmonis. Di sana, terlahir rasa perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan secara simultan dan konstruktif.
Pastinya, mereka memang beda satu sama lain sebagai pengejawantahan bahwa manusia itu adalah unik, bahkan mungkin mengejar kepentingan yang berbeda pula, tetapi mereka hidup harmonis dalam keluarga. Nah, melihat itu semua, kita kembali semakin bertanya, kalau saja masyarakat, pemerintah, dan pemuka agama tidak ada yang mengharamkan perbedaan, mengapa kekerasan seperti ini selalu terjadi, bahkan secara periodik? Apa yang salah dengan negeri ini?
Akhirnya, saya menjadi teringat pada Mochtar Lubis yang pernah sedikit nyentrik untuk menelanjangi 12 sifat-sifat manusia Indonesia. Menurut Mochtar Lubis, karakter orang Indonesia itu pertama-tama adalah orang yang sangat hipokrit atau munafik. Bagi Mochtar, sifat ini menjadi karakter yang umum di Indonesia sebab orang Indonesia biasanya bersikap berpura-pura: lain di depan, lain pula di belakang, lain sekarang, lain pula di masa depan.
Maka, semua pemerintah kita pun kemudian mengaku yang terbaik yang telah berhasil menjaga amanah bangsa untuk merawat pluralisme walaupun semuanya hanya kosong melompong. Tak kurang dari SBY pun, misalnya, sudah mendapatkan penghargaan karena dinilai telah berhasil merawat perbedaan.
Bahkan, sepekan sebelumnya, Pemerintah Daerah Yogyakarta bersama dua Pemerintah Daerah lainnya juga memperoleh penghargaan bergengsi dari Jaringan Antariman Indonesia (JAII) karena dinilai berhasil menjaga kebebasan beragama melalui asas pluralisme dan multikulturalisme. Hanya saja, semua penghargaan itu hanyalah ibarat kuburan, di luarnya memang penuh keindahan, tetapi di dalam hanyalah seonggok bangkai yang penuh dosa dan tidak bernyawa.
Semoga tidak Menunggu Giliran
Kemunafikan itu pun makin lengkap dan menjadi komplementer timpang tindih terhadap pertambahan penderitaan anak-anak bangsa ketika punggawa-punggawa yang bertanggung jawab merawat kenyamanan dan keamanan, seperti polisi selalu datang terlambat, yaitu tepat ketika korban sudah berjatuhan. Ironisnya, polisi selalu mencari alasan supaya mereka tidak disalahkan. Lihat, betapa tidak berpikirnya mereka menjawab kerisauan masyarakat Sleman akhir-akhir ini.
Baiklah saya kutip ucapan dari kepolisian itu di sini, “jika ada kegiatan bersama-sama, mohon polisi diberitahu,”. Apakah kita harus mengundang polisi untuk menjaga kita setiap hari? Lalu, apakah kita bersalah ketika kita tertimpa masalah seperti kecopetan karena sebelumnya tidak meminta polisi untuk menemani kita?
Idealnya tidak, tetapi polisi selalu saja mengasosiasikan rakyat yang tertimpa masalah tadi yang teledor karena sebelumnya tidak menghubungi polisi? Kalau demikian adanya, apa guna polisi kalau tugasnya hanya untuk menunggu panggilan? Bayangkan pula kalau setiap acara kecil-kecilan saja kita menghubungi polisi?
Saya curiga, pernyataan ini adalah tindak lanjut dari pernyataan Bapak Kapolri kita yang terhormat, Sutarman, beberapa waktu yang lalu. Saat itu Bapak Kapolri Sutarman yang terhormat mengatakan dan mengimbau masyarakat agar tidak melakukan ibadat di rumah warga. Artinya, Polri sengaja ingin melepaskan diri dari tanggung jawab. Mereka hanya menjaga ibadah di rumah ibadah, selepas dari situ, mereka tidak bertanggung jawab lagi.
Pertanyaannya, apakah masuk akal kalau kita mengadakan kebaktian, latihan paduan suara, doa Rosario selalu harus di rumah ibadah serta acara selamatan harus di wisma? Tentu hal ini paralel dengan anjuran supaya latihan band harus di studio, latihan drama harus di pentas, dan belajar pun harus di sekolah dan kampus. Wajarkah?
Saya yakin, kejadian memalukan seperti kekerasan di Sleman baru-baru ini adalah konsekuensi logis dari bercampur aduknya kemunafikan pemerintah, masyarakat, dan pemuka agama yang kemudian diperparah dengan kinerja polisi yang sangat buruk.
Kita tidak dapat berharap banyak selain menghentikan kemunafikan ini yang kemudian disempurnakan lagi dengan langkah tegas dan cepat dari polisi. Polisi harus gencar mengamankan, bukan menunggu panggilan. Kalau sebaliknya yang terjadi, yakinlah kita hanya menunggu giliran: kapan memberi kekerasan dan kapan menerima kekerasan. Lagipula, kalau polisi toh menunggu panggilan, apa bedanya mereka dengan body guard? ***
Penulis adalah staf pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan.

0 comments: