Ketika Prabowo dan Fahri Hamzah Berpuisi
Riduan Situmorang
Pada 23 Februari 2014 lalu, Damiri Mahmud menanyakan perihal apakah
sastra, tepatnya sastrawan itu menjadi suatu profesi atau tidak.
Pertanyaan ini dia
kemukakan karena menurut dia -dalam tulisannya “Sastra, Apakah Satu
Profesi Atau Tidak”- sastra itu adalah milik orang yang benar-benar
berjiwa seni. Bukan milik mereka yang hanya sebatas hobi atau mampu menulis diary dan catatan harian saja.
Minggu berikutnya, Mihar Harahap -kritikus sastra Indonesia yang berdomisili di Sumut-
pada 1 Maret 2014 mengungkapkan pandangan yang lebih luwes melalui
tulisannya yang berjudul “Pejabat pun Berhak Menjadi Sastrawan”. Siapa
saja sebenarnya berhak untuk menjadi sastrawan. Tidak terkecuali apakah
dia itu seorang bupati, legislatif atau bahkan orang yang tidak
mempunyai jabatan sekalipun. Terpenting, seseorang itu memang
benar-benar dapat membuat puisi dan tentu saja puisi itu bukan puisi-puisian saja.
Saya tangkap sebenarnya, baik Mihar maupun Damiri Mahmud mempunyai
pandangan yang sama tentang sastrawan. Seperti kata Mihar, sastrawan itu
tidak dihasilkan melalui benih akademis karena memang sudah kita
ketahui, orang yang menempuh pendidikan di fakultas dan jurusan sastra
belum tentu menjadi sastrawan.
Beda halnya dengan fakultas dan jurusan keguruan, mereka tentu pada
akhirnya setelah tamat dan menerima ijazah akan secara otomatis disebut
sebagai guru. Begitu juga dengan orang yang menempuh pendidikan di
fakultas dan jurusan kedokteran. Setelah tamat, pada akhirnya mereka
juga akan diimbuhi predikat sebagai dokter. Sampai saat ini, orang yang
lulus dari fakultas dan jurusan sastra tidak serta-merta disebut sebagai
seorang sastrawan.
Sastrawan Gelar Pengakuan
Apa sebenarnya yang menjadi ukuran seseorang itu disebut sebagai sastrawan? Apakah ketika mereka berhasil menciptakan puisi, cerpen
atau esai tentang sastra, lantas membawa mereka pada sebutan sebagai
sastrawan? Belum tentu. Apakah pula sastrawan itu hanya lahir dari perut
jurusan kesastraan? Belum tentu juga. Malah, banyak sastrawan kita
justru tidak berasal dari jurusan kesastraan.
Di sinilah pertanyaan Damiri Mahmud itu menjadi relevan. Di sini
pulalah jawaban Mihar Harahap menemui kebenarannya, yaitu semua orang
mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan gelar
sastrawan.
Indikator bahwa semua orang dapat menjadi sastrawan bukanlah sebuah
penilaian yang melemahkan hakikat sastra dan sastrawan. Justru, di
sinilah letak keistimewaannya. Sastrawan itu ternyata tidak dapat
dipelajari dan diukur melalui sertifikat yang dibakukan instansi
tertentu.
Sastrawan itu, gelar pengakuan yang diberikan masyarakat secara
tulus, terbuka dan tentu atas berbagai prestasi yang telah ditorehkan.
Beda halnya dengan guru. Siapa saja yang tamat dari sarjana kependidikan
dan sudah mengajar -entah itu mengajar dengan baik atau malah buruk-
tetap saja dia disebut sebagai guru.
Sama halnya dengan dokter. Siapa saja yang telah tamat dari jurusan
kedokteran -entah dia dapat mengobati atau malah tidak tahu- tetap saja
dia disebut sebagai dokter. Tidak sama halnya dengan sastrawan. Siapa
pun yang telah berhasil membuat puisi, esai, atau cerpen tentu tidak
otomatis membawa dia mendapatkan gelar sastrawan. Alih-alih lulus dari
fakultas sastra dengan seabrek sertifikat dan ijazah disebut sebagai
sastrawan, sebagai peminat sastra pun belum tentu! Jadi, sastrawan itu
adalah gelar pengakuan secara universal.
Ketika baru-baru ini Prabowo Subianto -capres dari Gerindra- dan
Fahri Hamzah -politisi dari PKS- membuat puisi pada acara kampnye
partainya, apakah puisi tersebut lantas membuat mereka menjadi
sastrawan? Jangan-jangan hal ini menjadi penegasan bahwa menjadi
sastrawan itu gampang?
Kita harus kembali ke titik awal, semua orang berhak menjadi
sastrawan, tetapi tidak semua diakui sebagai sastrawan. Semua orang pun
mampu membuat puisi, tetapi tidak semua orang dapat membuat puisi bagus
yang dapat menenangkan jiwa pembacanya. Jadi, Prabowo dan Fahri Hamzah
pun berhak menjadi sastrawan, tetapi tentu saja dengan puisi yang
asal-asalan tidak lantas membawa mereka menjadi sastrawan.
Maaf, saya tidak mengatakan puisi kedua politikus ini asal-asalan.
Saya hanya mau mengutarakan, sebuah puisi -apalagi itu hanya untuk
kepentingan semu demi ketenaran, termasuk kampanye- itu tidak otomatis
akan membawanya ke status bergengsi, yaitu sastrawan. Jadi, Prabowo dan
Fahri Hamzah bukanlah sastrawan, setidaknya sampai detik ini mereka
bukanlah sastrawan. Paling banter, mereka adalah politisi yang menyukai sastra.
Hanya Sebatas Peminat Sastra
Walau demikian, mari kita kutip puisi mereka di sini. Pertama, mari kita lihat pusi “Asal Santun” karangan Prabowo ini!
Boleh bohong asal santun
Boleh mencuri asal santun
Boleh korupsi asal santun
Boleh khianat asal santun
Boleh ingkar janji asal santun
Boleh jual negeri asal santun
Boleh menyerahkan kedaulatan negara kepada asing asal santun
Pertama, menurut saya puisi “Asal Santun” tersebut bukanlah puisi
tematik berkelas. Menurut saya, itu hanya ucapan hati semata lantaran
geram. Lagipula, jika kita kaji aspek semantisnya -lagi-lagi ini menurut
saya, maaf kepada para pendukung Prabowo- puisi tersebut maknanya
sangat dangkal.
Bila perlu, puisi ini adalah puisi “pembodohan”. Puisi ini
seakan-akan meneguhkan siapa pun sebenarnya dilegitimasi untuk melakukan
kesalahan, asal santun. Walau saya tahu Prabowo sebenarnya menyindir
seseorang yang dikenal dan dicitrakan selama ini sebagai negarawan yang
santun. Maaf, saya tidak sedang berusaha memojokkan personal Prabowo. Saya hanya mengutarakan, secara pesan dan makna, puisi ini kurang mendidik atau sangat tidak edukatif.
Pesan moralnya sangat paradoksal dengan keadaan kita sekarang. Ketika
kita mengutuki korupsi, pembohongan dan pengkhianatan, malah ada pesan
dari puisi (bukan dari Prabowo) supaya kalau kita harus korupsi, bohong,
khianat, ingkar janji, menjual negeri dan menyerahkan kedaulatan negara
kepada asing boleh-boleh saja, asal santun.
Saya sebenarnya sangat menyesalkan puisi ini, tetapi saya mendadak
gembira karena yang membuat puisi ini ternyata bukan sastrawan. Dia
hanyalah politikus yang memperalat puisi sebagai bahan pengantar pesan
politiknya.
Kedua, mari kita kutip puisi Fahri Hamzah di sini. Judul puisi itu adalah “Umpan Sikotak-kotak”.
Dulu kau jual satelit negara kami ke Singapura melalui jualan Indosat dengan murah. Melawan Lupa
Dulu kau jual aset-aset kami yang dikelola BPPN dengan murah (hanya 30 persen nilainya) ke asing. Melawan Lupa
Dulu kau jual kapal tanker VLCC milik Pertamina lalu Pertamina kau paksa sewa kapal VLCC dengan mahal. Melawan Lupa
Dulu kau jual gas Tangguh dengan murah (banting harga) ke China (hanya $3 per mmbtu). Melawan Lupa
Sekarang, kau ngomong lagi soal nasionalisme, setelah kader-kader kau banyak yang korup. Melawan Lupa
Dan sekarang, untuk mengkatrol suaramu yang terpuruk, kini kau umpankan si “Kotak2? Melawan Lupa
Semoga saja, rakyat kini tak lagi terbuai oleh janji-janji manis-mu. MelawanLupa
Sekali lagi, puisi “Umpan Si kotak-kotak” ini kurang lebih sama
dengan puisi Prabowo. Kita boleh saja menyebutnya puisi. Tapi, kita
tidak harus menyebutnya sebagai puisi yang berkelas karena sejatinya,
penulis puisi tersebut hanya sebatas mengungkapkan kegeraman untuk
mencari simpati. Ibaratnya, puisi ini hanyalah sekadar catatan harian
atau diary.
Walapun puisi ini seadanya, kita pantas mengapresiasinya dengan
tulus. Semoga mereka tidak lantas disebut sebagai sastrawan, apalagi
kalau harus menjadi sastrawan paling berpengaruh seperti Denny J.A.
Karena, sastra itu mandiri, dia tidak bisa dipolitisasi!
Penulis Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan dan Peminat Sastra
0 comments:
Post a Comment