Negeri Peneliti Minus Tindakan Nyata
|
TONTONLAH film "3
Idiots!" Di sana, kita akan melihat bahwa dunia ini penuh persaingan
dan perlombaan yang mengaktualisasikan manusia sebagai robot.
Di sana
pula dibeberkan kecelakaan dalam dunia pendidikan, yaitu pemaksaan
kehendak orang tua pada anaknya sehingga pandangan primitif yang
memostulatkan bahwa ilmu seperti sains lebih bergengsi daripada seni
menemui kebenaran semu. Di sinilah penyiksaan hak asasi itu sebenarnya
bersarang. Sekali lagi, inilah kecelakaan dunia pendidikan masa lalu.
|
Ironisnya, kecelakaan pendidikan masa lalu itu masih
saja mendera Indonesia hingga kini. Buktinya, Indonesia masih minim
prestasi bergengsi. Hal itu sangat paradoksal dengan jumlah penduduk
Indonesia. Tidak usah membandingkan dengan Malaysia atau Singapura,
dengan Swiss yang sangat sedikit - di bawah angka 8 juta - saja kita
sudah kalah. Di atas kertas, tentunya Indonesia harus menang karena
jumlah penduduknya sudah hampir menyentuh angka 250 juta. Akan tetapi,
fakta statistik ini ternyata tidak serta merta membawa Indonesia unggul
dalam penorehan prestasi, baik itu prestasi akademis maupun olahraga.
Kenyataan
ini makin tragis, apalagi karena kita mempercayai adagium yang
mengatakan setiap bangsa mempunyai hak untuk memijakkan kakinya di
panggung internasional. Akhirnya, seperti kata Rhenald Kasali, kita
hanya melahirkan perenang yang tidak menyentuh air, padahal negara lain
sudah sibuk melahirkan atlet bermedali. Kita pun sibuk melahirkan
sarjana, tapi tidak tahu melangkah mau ke mana. Alhasil, sarjana dari
negara lain sudah melangkah secara linier dengan jurusannya, kita malah
melahirkan sarjana karbitan yang tiba-tiba menjadi teller bank padahal
sebelumnya dia mengambil keteknikan atau mengambil profesi sebagai
salesman padahal tanpa sarjana pun orang bisa saja menjadi salesman.
Tak
bisa dimungkiri, kita terjebak pada langkah yang kita buat sendiri.
Selama ini, misalnya, dosen kita masih lebih memilih ujian sebatas
memindahkan isi buku ke dalam kertas melalui pena. Kita pun terjebak
pada memori otak tanpa tahu bagaimana menerapkannya melalui gerakan
otot. Akhirnya, ilmu tersebut tinggal di otak sehingga otot untuk
mengimplementasikannya menjadi tak berdaya lalu mati.
Lihatlah,
banyak sarjana yang mendapatkan nilai A tetapi dia kebingungan
mengaplikasikan nilai A tersebut. Di kelas saya pun dulunya banyak
mahasiswa yang mendapatkan nila A dalam mata kuliah menulis hanya karena
mereka menghafal apa arti menulis walaupun mereka belum pernah menulis.
Di sinilah pandangan Rhenald Kasali menjadi relevan, yaitu ketika kita
banyak berteori tentang renang tetapi kita tidak pernah berenang.
Ibaratnya, kita adalah petinju yang tidak mau naik ring, apalagi kalau
harus kena sebuah pukulan.
Tak usah malu-malu, beribu penelitian
tiap tahun telah dilahirkan oleh sebuah universitas. Mereka membuat
penelitian untuk mengimplementasikan teori yang selama ini telah mereka
pelajari, tetapi setelah tamat mereka toh tidak mengaplikasikan
penelitian itu. Akhirnya, ilmu itu hanya terkristal di skripsi tanpa
tahu kapan bisa mengimplementasikannya. Di lain pihak, dosen hanya
berkeras pada ruang teoritis yang mengharuskan mahasiswanya susah-susah
mencari data dan bukti. Sekali lagi, itu menurut buku, bukan menurut
fakta di lapangan.
Akhirnya, lahirlah mahasiswa berijazah, bukan
mahasiswa berilmu yang tahu ke mana melangkah. Pelan-pelan, sarjana
jebolan hukum, misalnya, hanya bisa mendebat teori hukum tetapi minim
dalam menciptakan ruang keadilan. Mahasiswa pun tiba-tiba dengan mudah
dimobilisasi melalui massa untuk memprotes tetapi tidak mau bertindak.
Setelah menjadi pekerja, mereka gampang saja diperalat untuk demonstrasi
menolak tetapi tidak mampu memberi alternatif penyelesaian masalah.
Intinya, semua manusia sebagai aset masa depan negeri ini dicekoki teori
saja yang hanya mahir memindahkan pengetahuan dari buku ke kertas.
Mengambil Lompatan Kuantum
Kini
timbul pertanyaan, mengapa hal itu terjadi? Mengapa kita selalu
terkungkung dalam memori otak tanpa tahu mengaplikasikannya? Mengapa
pula kita hanya sibuk mematuhi aturan tanpa tahu apa arti aturan itu?
Mengapa kita hanya mendebat tapi tak mau bertindak? Mengapa kita hanya
mau memprotes dan menolak tetapi tak mampu memberi alternatif untuk
memecahkan masalah? Pada akhirnya, mengapa para cendekiawan kita hanya
pintar meneliti tetapi tidak tahu mengaplikasikannya dalam dunia nyata?
Saya
curiga, ini semua terjadi karena kita hanya sibuk berbicara pada ranah
protokol yang kaku sehingga kita tidak kreatif. Kita pun tercengkeram
pada aspek ilmu dasar tanpa tahu menerapkannya ke mana saja. Alhasil,
dari segi ilmu dasar kita bisa berjaya tetapi pada ilmu terapan kita
nihil sehingga ilmu itu tetap ada di kertas. Pada akhirnya, kita pun
secara sistemik tidak memanfaatkan keuntungan demografi. Modal dan bonus
banyaknya manusia tidak bisa kita orkestrasi dengan maksimal. Yang ada
malah, banyaknya manusia menjadi beban tersendiri sehingga pemerintah
lebih fokus untuk menekannya daripada memanfaatkannya.
Sekali
lagi, seperti dalam film "3 Idiots" itu, kita belum mampu bergerak maju.
Kita terlalu lama mendiami zona nyaman yang sebenarnya sudah tidak
nyaman lagi. Kita pun masih sungkan mengambil lompatan kuantum sehingga
kita tetap terjebak pada peta pikiran yang kita adopsi dari nenek buyut
kita. Padahal, negara lain sudah mengambil langkah maju. Bahkan ada
beberapa negara bisa mengombinasikan antara ilmu dasar dan ilmu terapan
yang hasilnya benar-benar luar biasa seperti Amerika Serikat, Jerman,
dan Inggris. Mereka tentunya bisa mendikte dunia karena mereka kokoh
dalam fondasi yang kolaboratif antara ilmu terapan dan ilmu dasar.
Ada
pula negara yang mencoba fokus pada ilmu terapan dan mereka sukses.
Sebut saja, misalnya, Swiss yang fokus pada ilmu terapan perhotelan,
kuliner dan arloji. Jepang dengan teknik elektronika, Thailand dengan
ilmu terapan pariwisata dan Singapura memilih fokus pada penerapan
industri jasa keuangan.
Kini kembali ke Indonesia, kita akan
fokus ke mana? Apakah kita akan tetap terkungkung pada ilmu dasar yang
hanya mahir memindahkan ilmu dari buku, makalah dan skripsi ke kertas?
Kapan kita mencoba lompatan baru? Mengapa kita hanya meneliti, tetapi
tidak mau mengaplikasikannya? Saya curiga, kita adalah bangsa yang
ikut-ikutan. Orang lain sarjana kita pun ikut arus untuk sarjana. Orang
lain meneliti kita pun meneliti, sehingga pada akhirnya negeri ini
banjir proposal penelitian tapi tak satu pun yang ditindaklanjuti dan
berhasil. (Oleh:Riduan Situmorang)
Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan
|
0 comments:
Post a Comment