Thursday 12 June 2014

Negeri Peneliti Minus Tindakan Nyata

Negeri Peneliti Minus Tindakan Nyata

TONTONLAH film "3 Idiots!" Di sana, kita akan melihat bahwa dunia ini penuh persaingan dan perlombaan yang mengaktualisasikan manusia sebagai robot.
Di sana pula dibeberkan kecelakaan dalam dunia pendidikan, yaitu pemaksaan kehendak orang tua pada anaknya sehingga pandangan primitif yang memostulatkan bahwa ilmu seperti sains lebih bergengsi daripada seni menemui kebenaran semu. Di sinilah penyiksaan hak asasi itu sebenarnya bersarang. Sekali lagi, inilah kecelakaan dunia pendidikan masa lalu.
Ironisnya, kecelakaan pendidikan masa lalu itu masih saja mendera Indonesia hingga kini. Buktinya, Indonesia masih minim prestasi bergengsi. Hal itu sangat paradoksal dengan jumlah penduduk Indonesia. Tidak usah membandingkan dengan Malaysia atau Singapura, dengan Swiss yang sangat sedikit - di bawah angka 8 juta - saja kita sudah kalah. Di atas kertas, tentunya Indonesia harus menang karena jumlah penduduknya sudah hampir menyentuh angka 250 juta. Akan tetapi, fakta statistik ini ternyata tidak serta merta membawa Indonesia unggul dalam penorehan prestasi, baik itu prestasi akademis maupun olahraga.

Kenyataan ini makin tragis, apalagi karena kita mempercayai adagium yang mengatakan setiap bangsa mempunyai hak untuk memijakkan kakinya di panggung internasional. Akhirnya, seperti kata Rhenald Kasali, kita hanya melahirkan perenang yang tidak menyentuh air, padahal negara lain sudah sibuk melahirkan atlet bermedali. Kita pun sibuk melahirkan sarjana, tapi tidak tahu melangkah mau ke mana. Alhasil, sarjana dari negara lain sudah melangkah secara linier dengan jurusannya, kita malah melahirkan sarjana karbitan yang tiba-tiba menjadi teller bank padahal sebelumnya dia mengambil keteknikan atau mengambil profesi sebagai salesman padahal tanpa sarjana pun orang bisa saja menjadi salesman.

Tak bisa dimungkiri, kita terjebak pada langkah yang kita buat sendiri. Selama ini, misalnya, dosen kita masih lebih memilih ujian sebatas memindahkan isi buku ke dalam kertas melalui pena. Kita pun terjebak pada memori otak tanpa tahu bagaimana menerapkannya melalui gerakan otot. Akhirnya, ilmu tersebut tinggal di otak sehingga otot untuk mengimplementasikannya menjadi tak berdaya lalu mati.

Lihatlah, banyak sarjana yang mendapatkan nilai A tetapi dia kebingungan mengaplikasikan nilai A tersebut. Di kelas saya pun dulunya banyak mahasiswa yang mendapatkan nila A dalam mata kuliah menulis hanya karena mereka menghafal apa arti menulis walaupun mereka belum pernah menulis. Di sinilah pandangan Rhenald Kasali menjadi relevan, yaitu ketika kita banyak berteori tentang renang tetapi kita tidak pernah berenang. Ibaratnya, kita adalah petinju yang tidak mau naik ring, apalagi kalau harus kena sebuah pukulan.

Tak usah malu-malu, beribu penelitian tiap tahun telah dilahirkan oleh sebuah universitas. Mereka membuat penelitian untuk mengimplementasikan teori yang selama ini telah mereka pelajari, tetapi setelah tamat mereka toh tidak mengaplikasikan penelitian itu. Akhirnya, ilmu itu hanya terkristal di skripsi tanpa tahu kapan bisa mengimplementasikannya. Di lain pihak, dosen hanya berkeras pada ruang teoritis yang mengharuskan mahasiswanya susah-susah mencari data dan bukti. Sekali lagi, itu menurut buku, bukan menurut fakta di lapangan.

Akhirnya, lahirlah mahasiswa berijazah, bukan mahasiswa berilmu yang tahu ke mana melangkah. Pelan-pelan, sarjana jebolan hukum, misalnya, hanya bisa mendebat teori hukum tetapi minim dalam menciptakan ruang keadilan. Mahasiswa pun tiba-tiba dengan mudah dimobilisasi melalui massa untuk memprotes tetapi tidak mau bertindak. Setelah menjadi pekerja, mereka gampang saja diperalat untuk demonstrasi menolak tetapi tidak mampu memberi alternatif penyelesaian masalah. Intinya, semua manusia sebagai aset masa depan negeri ini dicekoki teori saja yang hanya mahir memindahkan pengetahuan dari buku ke kertas.

Mengambil Lompatan Kuantum
Kini timbul pertanyaan, mengapa hal itu terjadi? Mengapa kita selalu terkungkung dalam memori otak tanpa tahu mengaplikasikannya? Mengapa pula kita hanya sibuk mematuhi aturan tanpa tahu apa arti aturan itu? Mengapa kita hanya mendebat tapi tak mau bertindak? Mengapa kita hanya mau memprotes dan menolak tetapi tak mampu memberi alternatif untuk memecahkan masalah? Pada akhirnya, mengapa para cendekiawan kita hanya pintar meneliti tetapi tidak tahu mengaplikasikannya dalam dunia nyata?
Saya curiga, ini semua terjadi karena kita hanya sibuk berbicara pada ranah protokol yang kaku sehingga kita tidak kreatif. Kita pun tercengkeram pada aspek ilmu dasar tanpa tahu menerapkannya ke mana saja. Alhasil, dari segi ilmu dasar kita bisa berjaya tetapi pada ilmu terapan kita nihil sehingga ilmu itu tetap ada di kertas. Pada akhirnya, kita pun secara sistemik tidak memanfaatkan keuntungan demografi. Modal dan bonus banyaknya manusia tidak bisa kita orkestrasi dengan maksimal. Yang ada malah, banyaknya manusia menjadi beban tersendiri sehingga pemerintah lebih fokus untuk menekannya daripada memanfaatkannya.

Sekali lagi, seperti dalam film "3 Idiots" itu, kita belum mampu bergerak maju. Kita terlalu lama mendiami zona nyaman yang sebenarnya sudah tidak nyaman lagi. Kita pun masih sungkan mengambil lompatan kuantum sehingga kita tetap terjebak pada peta pikiran yang kita adopsi dari nenek buyut kita. Padahal, negara lain sudah mengambil langkah maju. Bahkan ada beberapa negara bisa mengombinasikan antara ilmu dasar dan ilmu terapan yang hasilnya benar-benar luar biasa seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Mereka tentunya bisa mendikte dunia karena mereka kokoh dalam fondasi yang kolaboratif antara ilmu terapan dan ilmu dasar.

Ada pula negara yang mencoba fokus pada ilmu terapan dan mereka sukses. Sebut saja, misalnya, Swiss yang fokus pada ilmu terapan perhotelan, kuliner dan arloji. Jepang dengan teknik elektronika, Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan Singapura memilih fokus pada penerapan industri jasa keuangan.

Kini kembali ke Indonesia, kita akan fokus ke mana? Apakah kita akan tetap terkungkung pada ilmu dasar yang hanya mahir memindahkan ilmu dari buku, makalah dan skripsi ke kertas? Kapan kita mencoba lompatan baru? Mengapa kita hanya meneliti, tetapi tidak mau mengaplikasikannya? Saya curiga, kita adalah bangsa yang ikut-ikutan. Orang lain sarjana kita pun ikut arus untuk sarjana. Orang lain meneliti kita pun meneliti, sehingga pada akhirnya negeri ini banjir proposal penelitian tapi tak satu pun yang ditindaklanjuti dan berhasil. (Oleh:Riduan Situmorang)
Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan

0 comments: