Riduan Situmorang--Terlalu kasar memang mengatakan kalau negeri ini tak
ubahnya ibarat kebun binatang. Dan karena kebun binatang, maka hukum yang
berlaku di dalamnya adalah hukum rimba: siapa kuat dia menang. Belas kasih, keadilan,
hukum, dan sebagainya hanya situs-situs budaya yang sudah dimuseumkan. Sudah
usang! Kita hanya pengunjung
pada sebuah museum.
Di museum itu, kita melihat bangkai
dan bingkai diri kita. Ada yang
tertidur pulas, ada yang terurus, lebih banyak yang tak terurus, ada yang
berpindah ke tangan makelar, ada yang diperjualbelikan. Kita menjadi pengunjung
di rumah kita sendiri. Sadisnya, untuk melihat bangkai dan bingkai diri kita sendiri,
kita mesti mengeluarkan uang. Kepada siapa? Kepada orang kuat. Orang kuat itu
bisa negara, bisa mafia, bisa pula ormas yang menjadi penadah dan itu direstui
negara.
Ya, kita menjadi peziarah di negeri ini. Yang
diziarahi adalah matinya nalar, matinya hukum, matinya belas kasih, matinya
keadilan, matinya diri kita sendiri. Di makam itu, kita meraung-raung, tetapi
siapa mendengar karena kita sudah mati? Suara kita hanya teriakan-teriakan yang
memantul-mantul di tengah pekikan-pekikan ganas para penadah. Dengan berteriak,
mereka memaksa kita membayar ini dan itu. Tangisan kita bahkan justru dikonversikan
menjadi kekuatan mereka. Sebab, tangisan menjadi bukti ketakutan, bukan sebagai
bukti bahwa kita turut pihatin.
Di Mana Harapan
Itu?
Lagipula, kalau urusan prihatin, orang kuat lebih profesional.
Mereka terlatih untuk itu. Apalagi konon, negeri ini adalah negeri sejuta
bencana. Ada bencana alam, terutama bencana kemanusiaan. Boleh disebut, mereka
menjadi orang kuat karena sudah piawai dalam urusan prihatin. Maka itu, ketika
ada bencana, mereka akan heboh. Heboh mendulang simpati melalui rasa prihatin. Di
berbagai media, mereka akan menitikkan air mata. Mereka mengaku geram. Di
ujung-ujung kegeraman dan keprihatinan itu, mereka berkata, berikan kepercayaan
kepada kami, maka akan kami berantas bencana ini.
Entahlah,
bahasa saya yang terlalu pesimis atau keadaan yang memang berkata demikian.
Yang pasti, negeri kita ini adalah negeri hukum rimba. Inilah negeri para orang
kuat. Pahamnya tribalisme. Saking kuatnya, mereka bisa menggiring kita
kemana-mana saja seperti yang mereka maui. Kita tak punya otoritas atas diri
kita. Semua serba kesukaan mereka sehingga kehidupan kita di segala lini melulu
gawat darurat. Darurat hukumnya, terutama para punggawa di baliknya. Hasil
akhirnya, kita menjadi negeri darurat harapan. Klaim saya ini tentu bukan tanpa
alasan.
Jika harapan di negeri ini adalah membuat orang
miskin menjadi lebih berkecukupan, mengapa kita masih lebih doyan bertransaksi
dengan orang kaya? Bukankah orang kaya nantinya akan semakin kaya dan orang
miskin akan semakin tertindih? Syukur kalau orang kaya itu mengajak orang
miskin bekerja sama melalui memberi pekerjaan. Yang ada, orang kaya justu
membuat PHK besar-besaran. Mereka sudah lebih memercayai mesin daripada manusia
miskin. Atau, mereka lebih memilih bekerja sama dengan orang kaya dengan alasan
lebih terlatih. Bukankah ini persekongkolan di antara orang kaya untuk menindas
orang miskin? Di mana harapan itu?
Jika harapan pula adalah membuat masa depan lebih
kemilau, mengapa mata kita masih lebih silau bersilat lidah untuk urusan
ini-itu ketimbang memperbaiki nasib
anak masa depan? Mengapa kita mempertontonkan ketidasenonohan di berbagai media
kepada anak-anak? Adakah anggota DPR yang pongah dan membentak-bentak penyidik
KPK itu mendidik? Adakah mantan Ketua DPR yang nyata-nyata bersalah, tetapi tak
dihukum, justru diagung-agungkan, menjadi tuntunan? Inikah pelajaran moral yang
kita wariskan kepada generasi penerus?
Jika anak-anak adalah masa depan, masa depan yang
bagaimana yang dapat direngkuh pada posisi di mana bertahun-tahun, angka
kekerasan terhadap mereka semakin meningkat? Sebagaimana dirilis Pusdatin
khusus kekerasan terhadap anak, pada tahun 2010 ada 2.046 kekerasan, 2011
meningkat menjadi 2.467, 2012 merangkak menjadi 2.646, 2013 makin heboh ke
3.339, 2014 semakin tragis ke 4654? Ada apa ini? Bukankah ini menjadi cerminan
kuat bahwa negara ini sudah semakin abai kepada orang kecil, terutama kepada
masa depannya? Kalau begitu, di mana lagi letak harapan itu?
Ya, negeri kita adalah negeri darurat harapan. Saya
tak suka mengatakan ini, apalagi pada perayaan Hari Pers Nasional teranyar,
Jokowi mengajak agar pers memberikan nuansa optimisme. Tetapi, apakah demi
sabda optimisme itu maka kita harus menutup diri pada berbagai
kejanggalan-kejanggalan hukum? Jelas-jelas terpampang di mata kita
ketidakadilan, apakah kita harus diam dan mengutuki diri sendiri sebagai yang
tak berdaya? Kalau tak berdaya, siapa yang tak memberdayakan kita? Jelas-jelas
rasio gini semakin meningkat dan sekarang sudah menjadi 0,43, meningkat dari
yang hanya 0,20 pada masa Orde Baru. Apakah kita tak boleh meratap?
Berbahaya
Konon, menurut para ahli, hampir tidak ada negara
yang bisa bertahan dari gempuran keruntuhan manakala indeks rasio gininya sudah
mencapai 0,50. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada beberapa negara yang
rontok ketika indeks rasio gininya menyentuh angka 0,45! Sekarang, kita berada
pada posisi 0,43? Masihkah kita menutup diri pada ketidakadilan dan mengatakan
semua baik-baik saja sebagai upaya kita untuk optimis?
Ketika baru terpilih, salah satu majalah terbesar di
dunia, Time, membuat Jokowi sebagai cover depannya. Di sana dituliskan: New Hope. Harapan baru. Kenyataan ini
menggembirakan karena dengan begitu, kita sudah “diperbolehkan” untuk berharap
kembali. Akan tetapi, kenyataan ini jika semakin dipahami, semakin pula akan
menyesakkan dada. Bagaimana tidak, selepas bertahun-tahun merdeka, ternyata
kita masih hanya bisa memproduksi yang namanya harapan. Harapan adalah
khayalan. Sama artinya, kita masih berkhayal-khayal selama ini. Bangsa apa ini?
Terus terang, saya tak terlalu kuyup dalam euforia
ketika new hope itu dikawinkan pada
Jokowi. Bagi saya, kata harapan adalah sesuatu yang berbahaya. Meski
konotasinya amelioratif, sesungguhnya harapan hanyalah kata yang kosong.
Bungkusnya harapan, tetapi isinya fantasi. Tak tersentuh, bahkan barangkali tak
terbayangkan. Berbahayanya kata harapan lagi-lagi adalah karena politisi kita
sering memperalatnya melalui janji-janji. Dibuainya kita melalui janji-janji
aduhai semasa kampanye. Lalu, selepas itu, mana harapan tadi? Mengapa setelah
bertahun-tahun menjanjikan harapan, tetapi buktinya tetap tidak ada?
Oh, rupanya saya terlupa
bahwa negeri ini negeri darurat harapan. Mungkin, harapan itu sendiri sudah
menjadi barang museum. Menjadi bangkai. Menjadi fosil. Maaf, Pak Jokowi, saya
pesimis di sini. Dalam hati, saya ingin sekali untuk optimis. Tetapi, bagaimana
itu terjadi karena negeri kita negeri hukum rimba? Maka itu, Pak Jokowi, jika
negeri ini bukan negeri darurat harapan, jika memang harus optimis, ajarilah
kami untuk kembali optimis. Buktikan kalau Bapak adalah new hope. Tetapi, agar tidak terlalu terpukul nanti jika pada
akhirnya Bapak tidak bisa mewujudkan, izinkanlah kami untuk tetap mengakui
bahwa negeri ini negeri darurat harapan!
Pemerhati Danau Toba
dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus
Inten Medan
0 comments:
Post a Comment