Sunday 6 March 2016

Negeri Darurat Harapan

Hasil gambar untuk ekspresi orang berharapRiduan Situmorang--Terlalu kasar memang mengatakan kalau negeri ini tak ubahnya ibarat kebun binatang. Dan karena kebun binatang, maka hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum rimba: siapa kuat dia menang. Belas kasih, keadilan, hukum, dan sebagainya hanya situs-situs budaya yang sudah dimuseumkan. Sudah usang! Kita hanya pengunjung pada sebuah museum.
Di museum itu, kita melihat bangkai dan bingkai diri kita. Ada yang tertidur pulas, ada yang terurus, lebih banyak yang tak terurus, ada yang berpindah ke tangan makelar, ada yang diperjualbelikan. Kita menjadi pengunjung di rumah kita sendiri. Sadisnya, untuk melihat bangkai dan bingkai diri kita sendiri, kita mesti mengeluarkan uang. Kepada siapa? Kepada orang kuat. Orang kuat itu bisa negara, bisa mafia, bisa pula ormas yang menjadi penadah dan itu direstui negara.
Ya, kita menjadi peziarah di negeri ini. Yang diziarahi adalah matinya nalar, matinya hukum, matinya belas kasih, matinya keadilan, matinya diri kita sendiri. Di makam itu, kita meraung-raung, tetapi siapa mendengar karena kita sudah mati? Suara kita hanya teriakan-teriakan yang memantul-mantul di tengah pekikan-pekikan ganas para penadah. Dengan berteriak, mereka memaksa kita membayar ini dan itu. Tangisan kita bahkan justru dikonversikan menjadi kekuatan mereka. Sebab, tangisan menjadi bukti ketakutan, bukan sebagai bukti bahwa kita turut pihatin.
Di Mana Harapan Itu?
Lagipula, kalau urusan prihatin, orang kuat lebih profesional. Mereka terlatih untuk itu. Apalagi konon, negeri ini adalah negeri sejuta bencana. Ada bencana alam, terutama bencana kemanusiaan. Boleh disebut, mereka menjadi orang kuat karena sudah piawai dalam urusan prihatin. Maka itu, ketika ada bencana, mereka akan heboh. Heboh mendulang simpati melalui rasa prihatin. Di berbagai media, mereka akan menitikkan air mata. Mereka mengaku geram. Di ujung-ujung kegeraman dan keprihatinan itu, mereka berkata, berikan kepercayaan kepada kami, maka akan kami berantas bencana ini.
            Entahlah, bahasa saya yang terlalu pesimis atau keadaan yang memang berkata demikian. Yang pasti, negeri kita ini adalah negeri hukum rimba. Inilah negeri para orang kuat. Pahamnya tribalisme. Saking kuatnya, mereka bisa menggiring kita kemana-mana saja seperti yang mereka maui. Kita tak punya otoritas atas diri kita. Semua serba kesukaan mereka sehingga kehidupan kita di segala lini melulu gawat darurat. Darurat hukumnya, terutama para punggawa di baliknya. Hasil akhirnya, kita menjadi negeri darurat harapan. Klaim saya ini tentu bukan tanpa alasan.
Jika harapan di negeri ini adalah membuat orang miskin menjadi lebih berkecukupan, mengapa kita masih lebih doyan bertransaksi dengan orang kaya? Bukankah orang kaya nantinya akan semakin kaya dan orang miskin akan semakin tertindih? Syukur kalau orang kaya itu mengajak orang miskin bekerja sama melalui memberi pekerjaan. Yang ada, orang kaya justu membuat PHK besar-besaran. Mereka sudah lebih memercayai mesin daripada manusia miskin. Atau, mereka lebih memilih bekerja sama dengan orang kaya dengan alasan lebih terlatih. Bukankah ini persekongkolan di antara orang kaya untuk menindas orang miskin? Di mana harapan itu?
Jika harapan pula adalah membuat masa depan lebih kemilau, mengapa mata kita masih lebih silau bersilat lidah untuk urusan ini-itu ketimbang memperbaiki nasib anak masa depan? Mengapa kita mempertontonkan ketidasenonohan di berbagai media kepada anak-anak? Adakah anggota DPR yang pongah dan membentak-bentak penyidik KPK itu mendidik? Adakah mantan Ketua DPR yang nyata-nyata bersalah, tetapi tak dihukum, justru diagung-agungkan, menjadi tuntunan? Inikah pelajaran moral yang kita wariskan kepada generasi penerus?
Jika anak-anak adalah masa depan, masa depan yang bagaimana yang dapat direngkuh pada posisi di mana bertahun-tahun, angka kekerasan terhadap mereka semakin meningkat? Sebagaimana dirilis Pusdatin khusus kekerasan terhadap anak, pada tahun 2010 ada 2.046 kekerasan, 2011 meningkat menjadi 2.467, 2012 merangkak menjadi 2.646, 2013 makin heboh ke 3.339, 2014 semakin tragis ke 4654? Ada apa ini? Bukankah ini menjadi cerminan kuat bahwa negara ini sudah semakin abai kepada orang kecil, terutama kepada masa depannya? Kalau begitu, di mana lagi letak harapan itu?
Ya, negeri kita adalah negeri darurat harapan. Saya tak suka mengatakan ini, apalagi pada perayaan Hari Pers Nasional teranyar, Jokowi mengajak agar pers memberikan nuansa optimisme. Tetapi, apakah demi sabda optimisme itu maka kita harus menutup diri pada berbagai kejanggalan-kejanggalan hukum? Jelas-jelas terpampang di mata kita ketidakadilan, apakah kita harus diam dan mengutuki diri sendiri sebagai yang tak berdaya? Kalau tak berdaya, siapa yang tak memberdayakan kita? Jelas-jelas rasio gini semakin meningkat dan sekarang sudah menjadi 0,43, meningkat dari yang hanya 0,20 pada masa Orde Baru. Apakah kita tak boleh meratap?
Berbahaya
Konon, menurut para ahli, hampir tidak ada negara yang bisa bertahan dari gempuran keruntuhan manakala indeks rasio gininya sudah mencapai 0,50. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada beberapa negara yang rontok ketika indeks rasio gininya menyentuh angka 0,45! Sekarang, kita berada pada posisi 0,43? Masihkah kita menutup diri pada ketidakadilan dan mengatakan semua baik-baik saja sebagai upaya kita untuk optimis?
Ketika baru terpilih, salah satu majalah terbesar di dunia, Time, membuat Jokowi sebagai cover depannya. Di sana dituliskan: New Hope. Harapan baru. Kenyataan ini menggembirakan karena dengan begitu, kita sudah “diperbolehkan” untuk berharap kembali. Akan tetapi, kenyataan ini jika semakin dipahami, semakin pula akan menyesakkan dada. Bagaimana tidak, selepas bertahun-tahun merdeka, ternyata kita masih hanya bisa memproduksi yang namanya harapan. Harapan adalah khayalan. Sama artinya, kita masih berkhayal-khayal selama ini. Bangsa apa ini?
Terus terang, saya tak terlalu kuyup dalam euforia ketika new hope itu dikawinkan pada Jokowi. Bagi saya, kata harapan adalah sesuatu yang berbahaya. Meski konotasinya amelioratif, sesungguhnya harapan hanyalah kata yang kosong. Bungkusnya harapan, tetapi isinya fantasi. Tak tersentuh, bahkan barangkali tak terbayangkan. Berbahayanya kata harapan lagi-lagi adalah karena politisi kita sering memperalatnya melalui janji-janji. Dibuainya kita melalui janji-janji aduhai semasa kampanye. Lalu, selepas itu, mana harapan tadi? Mengapa setelah bertahun-tahun menjanjikan harapan, tetapi buktinya tetap tidak ada?
Oh, rupanya saya terlupa bahwa negeri ini negeri darurat harapan. Mungkin, harapan itu sendiri sudah menjadi barang museum. Menjadi bangkai. Menjadi fosil. Maaf, Pak Jokowi, saya pesimis di sini. Dalam hati, saya ingin sekali untuk optimis. Tetapi, bagaimana itu terjadi karena negeri kita negeri hukum rimba? Maka itu, Pak Jokowi, jika negeri ini bukan negeri darurat harapan, jika memang harus optimis, ajarilah kami untuk kembali optimis. Buktikan kalau Bapak adalah new hope. Tetapi, agar tidak terlalu terpukul nanti jika pada akhirnya Bapak tidak bisa mewujudkan, izinkanlah kami untuk tetap mengakui bahwa negeri ini negeri darurat harapan!

Pemerhati Danau Toba dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan

0 comments: