Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah berhasil melaksanakan
tugasnya. Memang tidak mengejutkan ketika Setya Novanto akhirnya
“diadili” secara diam-diam oleh MKD, pekan lalu. Sehari sebelumnya, Mata
Najwa melalui tajuknya “Sidang Rakyat: Mosi Tidak Percaya”, Minggu
(6/12), mengundang tiga narasumber dari MKD, yakni Junimart Girsang,
Ridwan Bae, dan Supratman Andi Agtas.
Ada rasa
optimisme saat itu karena disiarkan secara langsung. Ketiga anggota MKD
ini menginginkan peradilan Setya Novanto dibuat secara terbuka karena
yang pertama dan kedua sudah terbuka. Tetapi, kita menjadi saksi
besoknya betapa Setya Novanto dimanjakan.
Apa
itu salah? Tidak. Apa itu etis? Buat apa menanyakan etika kepada DPR?
Memangnya mereka masih punya etika? Inilah kebodohan kita.Kalau mereka
tak punya etika, buat apa kita susah-susah menyebut mereka dengan
sebutan yang terhormat. Khusus di MKD, buat apa pula kita memanggil
mereka dengan sebutan luar biasa: yang mulia? Apa arti ini semua?
Kita tahu, MKD adalah mahkamah kehormatan. Di sini etika
diperbincangkan. Di sini, yang tak beretika akan ditegur, bahkan
diberhentikan. Tujuan MKD jelas, yakni menjaga kehormatan anggotanya
agar tetap terhormat. Dari tolok ukur mereka, jika MKD menilai tak ada
pelanggaran etika, artinya mereka masih suci. Pengertian ini
menyampaikan pesan bahwa selama ini DPR masih berada di jalur yang
benar. Mereka masih terhormat.
Logika inilah
yang menuntun saya pada kesimpulan bahwa kini sebagian besar pihak di
MKD, juga di pihak lain, sudah memaksakan kehendak agar Novanto
dinyatakan tak bersalah. Menyimpulkan dia bersalah itu ibarat bunuh
diri, apalagi yang bersangkutan merupakan orang teragung di DPR. Jika
orang teragung bersalah, artinya semua penghuni DPR adalah orang
bersalah. Maka dari itu, DPR melalui MKD akan berupaya segesit mungkin
menyelamatkan orang teragungnya.
Aromanya sudah
terlihat. Kita tahu, Sudirman Said diperlakukan sebagai tersangka,
padahal ia pengadu. Sudirman dicecar sedemikian geram. Saya yakin, andai
peradilan ini tertutup, hal yang lebih keji akan diterima Sudirman.
Secara buram kita tahu, ini agar Sudirman tidak menuduh Novanto
bersalah. Menuduh Novanto bersalah artinya membuat lembaga terhormat ini
tak terhormat. Di sini peran MKD menjaga “kehormatannya” harus diberi
acungan jempol.
Sebelumnya, aroma MKD akan
berhasil juga sudah terlihat. Mereka dengan gigih membahas pengadu.
Prosedur menjadi urusan utama dan substansi didangkalkan. Ini semua
merupakan bagian dari upaya MKD menjaga “kehormatannya”.
Namun
yang tak bisa dibayangkan, jika rakyat biasa yang mengadukan dan bukan
Sudirman, habislah dia. Belakangan, setelah Novanto diagung-agungkan
dengan hormat melalui peradilan tertutup, MKD kembali akan
mempermasalahkan keabsahan juga keaslian rekaman. Apa artinya ini semua
kalau bukan bagian dari upaya DPR melalui MKD menjaga “kehormatannya”?
DPR adalah lembaga yang bermaterikan orang-orang terhormat. Prosedur
mengatakannya demikian sehingga karena itu, DPR melalui MKD mengutamakan
prosedur. MKD adalah yang mulia. Protokoler sepertinya mewajibkan kita
menyebutnya demikian pula. Karena tujuan MKD adalah menjaga kehormatan
dewan, timbullah pertanyaan: apa itu kehormatan?
Kehormatan Beragam
Laksamana
Sukardi pernah mengatakan, kehormatan itu beragam. Setiap orang
memiliki nilai kehormatan yang subjektif dan objektif, bergantung
karakter, prestasi, kontribusi, dan hubungan kekeluargaan. Dalam
hubungan hierarki, seorang anak secara alami harus menghormati yang tua;
bawahan menghormati atasan; mahasiswa menghormati dosen, dan lain-lain.
Ini belum memandang siapa itu orang tua, siapa itu atasan, dan siapa
itu dosen. Ini prosedural.
Jadi, anggota DPR
harus menghormati Ketua DPR tanpa melihat siapa itu ketua dan apa yang
telah dilakukannya. Khusus kehormatan DPR, kita harus tahu apa itu MKD
dan apa tujuannya.
MKD merupakan seperangkat
alat yang dibuat untuk menjaga kehormatan DPR. Mereka ini berasal dari
DPR. Tujuannya adalah menjaga keutuhan kehormatan DPR. Sekali lagi,
seperti di atas, entah itu melalui hal yang terhomat atau tak senonoh.
Inilah yang sedang dilakukan sebagaian anggota DPR melalui MKD.
Ketua
DPR bisa jadi telah kehilangan kehormatan di hadapan rakyat, tetapi
belum tentu bagi anggotanya (DPR). Justru, jika sepakat dengan
masyarakat, mereka sepertinya akan merasa tak terhormat. Belum lagi
kalau dilihat dan dispekulasikan, misalnya Ketua DPR telah memberi
sejumlah bantuan kepada anggota. Sejumlah bantuan ini dengan sendirinya
telah membuat posisi Ketua DPR menjadi yang terhormat di mata mereka
sehingga mereka berkewajiban menjaga kehormatan itu.
Sekali
lagi, inilah yang dilakukan DPR melalui MKD. Saya tak mengatakan mereka
identik dengan mafia narkoba. Tetapi, apa dasar saya untuk tak
mengatakan mereka tak identik? Bukankah yang tak beretika sedang dibela
mati-matian demi kehormatan mereka?
Sudahlah,
bagi kita, barangkali MKD gagal. Tetapi di balik sana, mereka berpesta
karena sejatinya mereka sudah berhasil. Sebentar lagi isu akan mereda
dan mereka akan berpesta merayakan kehormatannya yang tak pecah. Salut
untuk MKD!
Penulis adalah konsultan di Prosus Inten Medan; aktif di Pusat Latihan Opera Batak, Medan.
0 comments:
Post a Comment