Monday 22 February 2016

Huru-hara K-2013

SETELAH tahun lalu mengalami perdebatan sengit, tahun ini, Kurikulum 2013 pun menuai huru-hara di lapangan. Hal itu terjadi karena walaupun sudah setahun mengalami penundaan, pendaratan kurikulum ini masih saja sangat jauh dari kategori memuaskan, bahkan cenderung mengecewakan. Sosialisasi, pelatihan, bahkan pendistribusian buku yang mestinya dapat diantisipasi malah mengalami kemandekan di mana-mana. Kita tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Yang pasti, fakta ini ini menjadi indikasi kuat pemerintah sebagai pemegang kunci launching-nya kurikulum ini mengalami kegagalan.
 
Akhirnya, kiblat pemberitaan yang mestinya mengarah pada substansi kurikulum malah menyasar pada runyamnya segala persiapan fisik dan nonfisik. Seperti tahun lalu, kurikulum ini pun menarik hati para awak media. Hanya, tetap saja yang disoroti dari kurikulum ini adalah keterlambatan, bukan ideologi-baru yang dihidupinya. Hal ini seakan meneguhkan sejatinya pemerintah pun tidak siap mendaratkan metode baru, apalagi guru, terutama lagi siswanya.
 
Sampel Jelek
 
 Nah, dasar inilah sejatinya yang kemudian yang harus kita gunakan sebagai evaluasi ke depan. Jadi, kalau misalnya angkatan dekade pertama dari kurikulum 2013 ini mengalami stagnasi atau bahkan degradasi, yang pertama yang harus dipersalahkan adalah pemerintah, bukan guru dan siswa. Sederhananya begini, kalau pemerintahnya saja sudah gamang, rakyat yang menjalaninya pun pasti akan turut gamang.
 
Kalau mengacu pada idealisme, apa yang kita saksikan sekarang bukanlah penerapan. Hal itu lebih condong pada uji coba. Karena dia masih uji coba, kita pun akhirnya melihat di mana-mana berbagai keluhan yang tidak simpatik. Sialnya, keterlambatan bukanlah hal yang konstruktif untuk sebuah percobaan, apalagi persiapan. Jadi, apa yang dikatakan pemerintah tahun lalu yang mengatakan kurikulum 2013 sudah diterapkan di berbagai sekolah adalah salah besar, bahkan pembohongan besar. Manalah logis 6.400-an sekolah yang tahun lalu menerapkan kurikulum 2013 dijadikan sebagai kesimpulan kurikulum sudah diterapkan.
 
Ibarat dalam penelitian, hal itu masih merupakan sampel, bukan pembahasan, apalagi kesimpulan. Bahkan, kalau dipaksakan sebagai sampel, itu merupakan sampel jelek karena tidak mencakup dan merata sebagai perwakilan dari berbagai daerah. Jadi, kenekatan pemerintah mengklaim, tepatnya pada evaluasi triwulan pertama kurikulum 2013 tahun kemarin, yang mengatakan kurikulum 2013 sudah diterapkan adalah kesembronoan besar. Semestinya tahun tersebut bukan tahun penerapan kurikulum 2013, tetapi lebih condong pada tahap pencarian sampel.
 
Kita tentunya tidak tahu menilai pasti, apakah ini sebuah kewajaran atau malah sebuah kekurangajaran. Atau apakah hal ini sebuah ketegasan atau ketergesa-gesaan. Yang kita tahu, dulu pemerintah menargetkan sekolah yang akan “menerapkan” kurikulum 2013 ada sebanyak 132 ribuan sekolah dan terakhir turun drastis menjadi hanya sekitar 6.400-an sekolah.
Serbamepet
 
Maaf, saya tidak sedang berusaha mengutuki kurikulum 2013. Saya bukanlah ahli kurikulum. Hanya saja, jika dilihat dari segi keterlambatan, termasuk kesemerawutan pendistribusian buku misalnya, hal ini merupakan simbol dari kekurangsigapan dan kekurangsiapan pemerintah sehingga semuanya serbamepet di berbagai level. Kita bahkan belum melihat apa yang ada dan yang akan ada di balik kurikulum ini.
 
Memang, secara teoretis, kurikulum 2013 ini sangat fantastis. Hanya saja, kurikulum itu tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kalau kurikulum 2013 menyasar aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif, kurikulum-kurikulum sebelumnya juga menyinggung hal yang sama.
 
Mungkin bedanya adalah buku-buku yang dipakai sudah tematik dan berbasis pada lingkungan. Namun, bukankah KTSP juga sudah berbasis ruang lingkup kedaerahan? Tetapi tidak mengapa, kalau toh ini adalah sebagai sebuah langkah untuk perbaikan mutu pendidikan, mari kita lanjutkan! Yang kita khawatirkan adalah ketika ini semua sebatas ikut-ikut arus tanpa ada basis filosofis yang tegas!
 
Tetapi, ah, sudahlah! Mari kita dukung langkah pemerintah ini, walaupun hati getir karena kegamangannya. Mari kita pakai buku baru, baju baru, dan kurikulum baru sebagai semangat baru untuk meraih segala ketertinggalan. Akan halnya huru-hara ini hanya berita yang akan mengalir begitu saja. Pemerintah akan tetap teguh pada prinsipnya yang walaupun kita terlindas dan tergopoh-gopoh di dalamnya. Rasanya tidak ada guna menggugat mereka karena mereka terlalu yakin dengan prinsipnya sementara kita lebih sering linglung menghadapinya. Masih terbilangkah argumen penolakan yang kita gulirkan perihal UN, misalnya? Tetapi sudahlah, mungkin huru-hara kurikulum 2013 ini hanyalah bagian dari politik huru-hara yang akan menghasilkan keluaran huru-hara pula. 
Riduan Situmorang
Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: