SETELAH tahun lalu mengalami perdebatan sengit, tahun ini, Kurikulum
2013 pun menuai huru-hara di lapangan. Hal itu terjadi karena walaupun
sudah setahun mengalami penundaan, pendaratan kurikulum ini masih saja
sangat jauh dari kategori memuaskan, bahkan cenderung mengecewakan.
Sosialisasi, pelatihan, bahkan pendistribusian buku yang mestinya dapat
diantisipasi malah mengalami kemandekan di mana-mana. Kita tidak tahu
apa yang menjadi penyebabnya. Yang pasti, fakta ini ini menjadi indikasi
kuat pemerintah sebagai pemegang kunci launching-nya kurikulum ini
mengalami kegagalan.
Akhirnya, kiblat pemberitaan yang mestinya mengarah pada substansi
kurikulum malah menyasar pada runyamnya segala persiapan fisik dan
nonfisik. Seperti tahun lalu, kurikulum ini pun menarik hati para awak
media. Hanya, tetap saja yang disoroti dari kurikulum ini adalah
keterlambatan, bukan ideologi-baru yang dihidupinya. Hal ini seakan
meneguhkan sejatinya pemerintah pun tidak siap mendaratkan metode baru,
apalagi guru, terutama lagi siswanya.
Sampel Jelek
Nah, dasar inilah sejatinya yang kemudian yang harus kita gunakan
sebagai evaluasi ke depan. Jadi, kalau misalnya angkatan dekade pertama
dari kurikulum 2013 ini mengalami stagnasi atau bahkan degradasi, yang
pertama yang harus dipersalahkan adalah pemerintah, bukan guru dan
siswa. Sederhananya begini, kalau pemerintahnya saja sudah gamang,
rakyat yang menjalaninya pun pasti akan turut gamang.
Kalau mengacu pada idealisme, apa yang kita saksikan sekarang bukanlah
penerapan. Hal itu lebih condong pada uji coba. Karena dia masih uji
coba, kita pun akhirnya melihat di mana-mana berbagai keluhan yang tidak
simpatik. Sialnya, keterlambatan bukanlah hal yang konstruktif untuk
sebuah percobaan, apalagi persiapan. Jadi, apa yang dikatakan pemerintah
tahun lalu yang mengatakan kurikulum 2013 sudah diterapkan di berbagai
sekolah adalah salah besar, bahkan pembohongan besar. Manalah logis
6.400-an sekolah yang tahun lalu menerapkan kurikulum 2013 dijadikan
sebagai kesimpulan kurikulum sudah diterapkan.
Ibarat dalam penelitian, hal itu masih merupakan sampel, bukan
pembahasan, apalagi kesimpulan. Bahkan, kalau dipaksakan sebagai sampel,
itu merupakan sampel jelek karena tidak mencakup dan merata sebagai
perwakilan dari berbagai daerah. Jadi, kenekatan pemerintah mengklaim,
tepatnya pada evaluasi triwulan pertama kurikulum 2013 tahun kemarin,
yang mengatakan kurikulum 2013 sudah diterapkan adalah kesembronoan
besar. Semestinya tahun tersebut bukan tahun penerapan kurikulum 2013,
tetapi lebih condong pada tahap pencarian sampel.
Kita tentunya tidak tahu menilai pasti, apakah ini sebuah kewajaran atau
malah sebuah kekurangajaran. Atau apakah hal ini sebuah ketegasan atau
ketergesa-gesaan. Yang kita tahu, dulu pemerintah menargetkan sekolah
yang akan “menerapkan” kurikulum 2013 ada sebanyak 132 ribuan sekolah
dan terakhir turun drastis menjadi hanya sekitar 6.400-an sekolah.
Serbamepet
Serbamepet
Maaf, saya tidak sedang berusaha mengutuki kurikulum 2013. Saya bukanlah
ahli kurikulum. Hanya saja, jika dilihat dari segi keterlambatan,
termasuk kesemerawutan pendistribusian buku misalnya, hal ini merupakan
simbol dari kekurangsigapan dan kekurangsiapan pemerintah sehingga
semuanya serbamepet di berbagai level. Kita bahkan belum melihat apa
yang ada dan yang akan ada di balik kurikulum ini.
Memang, secara teoretis, kurikulum 2013 ini sangat fantastis. Hanya
saja, kurikulum itu tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. Kalau kurikulum 2013 menyasar aspek kognitif, psikomotorik,
dan afektif, kurikulum-kurikulum sebelumnya juga menyinggung hal yang
sama.
Mungkin bedanya adalah buku-buku yang dipakai sudah tematik dan berbasis
pada lingkungan. Namun, bukankah KTSP juga sudah berbasis ruang lingkup
kedaerahan? Tetapi tidak mengapa, kalau toh ini adalah sebagai sebuah
langkah untuk perbaikan mutu pendidikan, mari kita lanjutkan! Yang kita
khawatirkan adalah ketika ini semua sebatas ikut-ikut arus tanpa ada
basis filosofis yang tegas!
Tetapi, ah, sudahlah! Mari kita dukung langkah pemerintah ini, walaupun
hati getir karena kegamangannya. Mari kita pakai buku baru, baju baru,
dan kurikulum baru sebagai semangat baru untuk meraih segala
ketertinggalan. Akan halnya huru-hara ini hanya berita yang akan
mengalir begitu saja. Pemerintah akan tetap teguh pada prinsipnya yang
walaupun kita terlindas dan tergopoh-gopoh di dalamnya. Rasanya tidak
ada guna menggugat mereka karena mereka terlalu yakin dengan prinsipnya
sementara kita lebih sering linglung menghadapinya. Masih terbilangkah
argumen penolakan yang kita gulirkan perihal UN, misalnya? Tetapi
sudahlah, mungkin huru-hara kurikulum 2013 ini hanyalah bagian dari
politik huru-hara yang akan menghasilkan keluaran huru-hara pula.
Riduan Situmorang
Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
0 comments:
Post a Comment