Tuesday 23 February 2016

Empati dan LGBT-isme

PERJUANGANpenderita, pengikut dan penyokong LGBT(lesbian, gay, biseksual dan transgender) terus berlanjut. Jika sebelumnya, arah gerakan mereka hanya untuk dipahami orang lain, kini mereka menuntut eksistensi dan pengakuan. Mereka berbeda karena takdir Tuhan, begitulah kilah awalnya. Tahap berikutnya ingin diakui dan dipenuhi hak-haknya.

Mereka menuntut agar negara mengakui hak asasinya, termasuk mengakui pernikahan sejenis. Kaum LGBT sudah melewati fase sembunyi-sembunyi (sirran). Kini mereka berani keluar dan mengampanyekan diri di ranah publik. Mereka tidak lagi sungkan sebagai LGBT, bahkan terang-terangan (fase jahran) ingin mengajak yang normal untuk seperti mereka.

Kedepan dan itu tidak lama, mereka akan menjadikan LGBT sebagai gaya hidup dan diperlakukan sebagaimana agama. Inilah tahapan yang sangat berbahaya karena LGBT telah dijadikan isme dan bukan sebagai penyakit yang harus disembuhkan.

Kini mereka makin besar, terorganisasi secara apik di seluruh nusantara dan memiliki pengurus serta simpatisan yang cukup banyak. Negeri ini bisa saja berubah menjadi negeri LGBT jika kekuatan mereka bersatu padu dan masyarakat permisif atau tidak mempedulikannya.

Sesungguhnya, masyarakat mulai mengerti dan memahami bahwa penghuni dunia ini tidak hanya manusia berkelamin laki-laki dan perempuan. Ada juga manusia berjenis kelamin ketiga (the third gender), seperti LGBTitu. Ada seseorang yang sejak lahir tampak gagah sebagai laki-laki, namun secara psikis bersikap lembut dan mendefinisikan dirinya sebagai perempuan.

Ada pula yang fisik dan alat kelengkapan hidupnya tampak pria, namun cara berjalan, berbicara, berdandan bahkan keseluruhan perilakunya layaknya kaum hawa. Sebaliknya, ada juga seseorang yang dilahirkan sebagai perempuan, tetapi orientasi seksual dan identitas sosial yang diinginkan adalah laki-laki. Orientasi dan perilaku seksual yang dimiliki—terutama LGB—umumnya menyimpang.

Nikah sejenis menjadi jalan dan gaya hidup. Hubungan seksual serba bisa, baik dengan lawan jenis maupun sejenis, juga merupakan laku seksual menyimpang yang tidak sehat dan melanggar norma sosial dan agama.

Kita mengerti bahwa mereka manusia ciptaan Tuhan. Tidak layak mereka dinistakan. Hanya saja, ada ketidaksepahaman antara kaum LGBTdan masyarakat umum tentang apa yang mereka alami. Komunitas medis (perhatikan pernyataan seksi religi, spiritualitas dan psikiatri PDSKJI) menyatakan bahwa gay, lesbian atau biseksual adalah suatu gangguan atau penyakit yang bisa disembuhkan.

Agamawan dan kaum awam mengamini pandangan di atas. Mereka ini layak dibantu dan dibimbing untuk keluar dari kelainan yang dideritanya. Hak-hak kaum LGBT memang harus diberikan, tetapi penyimpangan seksual mereka harus diobati dan tidak boleh ditularkan kepada yang lain. Penyimpangan perilaku seksual jangan malah ditoleransi. Oleh karenanya, sangat tidak bijak menggunakan ayat suci untuk mengabsahkan kekeliruan yang diikuti dan diyakini oleh kaum LGBT.

LGBT sebagai fakta sosial semata, tidaklah terlalu mengkhawatirkan meski pelakunya patut dibimbing ke jalan yang semestinya. LGBT sebagai paham yang diperjuangkan dan didukung oleh lembaga nasional dan internasional, termasuk kelompok agamawan, patut diwaspadai. Sesuatu yang sudah menjadi isme, akan membatu sebagai ideologi yang dianggap benar.

Orientasi dan perilaku seksual mereka itu “virus” dan pasti berpeluang menyebar ke mana-mana. Sementara seks yang tidak sehat sudah terbukti menimbulkan berbagai penyakit yang mematikan.

Ini bukan omong kosong karena para ahli kesehatan sudah menyatakan demikian. Gerakan terakhir LGBTyang makin berani dan terangterangan adalah telah mengarah pada LGBT-isme. Indikasinya, mereka menganggap benar apa yang dilakukan. Mereka menutup telinga berbagai masukan dan pendapat dari para ahli yang objektif.

Bantuan Semu

Kaum LBT memang sudah sangat menderita. Mereka bergelut dengan soal identitas (jender dan sosial). Mereka juga harus menghadapi tekanan sosial (social pressure) yang sangat kuat. Mereka juga harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan biologis. Belum lagi mereka harus menghadapi protes keluarga yang tidak mau menerimanya.

Akhirnya, mereka lari dari rumah dan memilih hidup mengembara, untuk mendapatkan rasa aman dan pengakuan atas identitasnya. Mereka berpotensi dicemooh, dikucilkan dan dipinggirkan. Di berbagai kota, mulai lahir paguyuban atau komunitas yang intinya ingin merangkul dan melindungi mereka dari ketertindasan. Pada kelompok tersebut, identitas sosial transgender tak dipertanyakan lagi.

Tetapi menolong dan membantu mereka dengan cara mengabsahkan dan membenarkan penyimpangan seksual mereka, sangatlah konyol. Apalagi menggunakan dalil-dalil agama. Kalau toh itu dianggap bantuan dan pembelaan, maka bantuannya bersifat semu karena hakikatnya malah menjerumuskan mereka ke jurang yang lebih dalam. Mereka akan hidup di dunia yang norma-normanya dibuat sendiri.

Seluruh norma diingkari, baik norma sosial, hukum maupun norma agama. Mestinya, publik satu kata terkait bahaya LGBT-isme dan membantunya keluar dari dunia mereka. Persoalannya sekarang adalah siapa yang mau peduli dengan mereka. Kalau mereka dianggap sakit karena bertindak menyimpang dari norma sosial dan agama, apa yang harus kita dan mereka lakukan.

Kepedulian dan tanggung jawab sosial harus dikedepankan untuk membantu mereka keluar dari dilema, baik yang muncul dari dalam diri mereka maupun dari masyarakat. Eksklusivitas yang mereka bangun bersama komunitasnya, lebih disebabkan karena mereka tidak diterima dan dimusuhi oleh keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat harus merangkul mereka bukan untuk mengabsahkan penyimpangan yang mereka lakukan tapi untuk mengajak mereka hidup sebagaimana orang kebanyakan. Batin mereka pasti gelisah karena menjalani hidup tidak normal. Sejatinya mereka sedang menunggu sosok dan pihak yang dapat membantu mereka keluar dari permasalahan ini.
Abu Rokhmad
Suara Merdeka, 23/02/2016
Dosen FISIPUIN Walisongo
 

0 comments: