Thursday 4 December 2014

NEGERI PERTANDINGAN

NEGERI PERTANDINGAN



Kata-kata populer belakangan ini adalah “tandingan”. Ada DPR tandingan, menteri tandingan, presiden tandingan. Belakangan, ada pula yang namanya Golkar tandingan. Hal itu semakin meneguhkan bahwa negeri ini memang negeri pertandingan. Sebagai negeri tandingan, semua tentu datang untuk bertanding. Penonton yang adalah rakyat hanya meyaksikannya di tribun dengan sejumlah uang tiket masuk, mungkin dalam bentuk pajak.
Pemain aslinya adalah para petanding. Mereka dibayar dalam pertandingan itu yang walapun yang disuguhkan hanya pertandingan memuak­kan. Kalau bayaran kurang, mereka masih mencari uang masuk, entah itu melejitkan program hingga memanipulasi proyek. Kata kasarnya: korupsi.
Celakanya, meskipun para petanding ini dibayar oleh penonton (rakyat), mereka tetap saja “berusaha” mencari penon­ton tandingan yang pro kepada mereka. Penonton asli yang kemudian gelisah dengan suguhan memuakkan malah diusir begitu saja tanpa ba-bi-bu. Kata mereka, penonton yang gelisah tadi hanyalah penonton bayaran sehingga harus digusur. Maka, hadirlah penonton tandingan tadi. Di sana, mereka menikmati pertandingan semu. Yang bertanding semu, yang me­nonton pun semu.
Setali Tiga Uang
Gejalanya tampak jelas terlihat dari spekulasi-spekulasi yang kemudian bergulir bebas. Maka, atas nama mendukung penonton yang pro kepada mereka misalnya, mereka akhirnya membikin sebuah interpelasi. Hal demikian semakin kuat karena kebetulan penonton jauh yang kebetulan tidak berkesempatan melihat dari tribun-dekat menaruh simpati. Simpati inilah yang kemudian diorkestrasi dan dikuatkan oleh para petanding dengan meng­gunakan bakat alaminya yang mampu mengu­capkan kata-kata prihatin sefasih-fasihnya.
Setali tiga uang, penonton jauh tadi mendukung. Atas nama tidak mungkin—atau katakanlah tidak etis—kalau pemerintah membebankan ketimpangan APBN ke pundak rakyat, mereka pun menghujat yang menaikkan BBM. Kata mereka, ini bencana! Kemudian, ketika mendengar kata ben­cana, para petanding tadi kembali memakai bakat ala­minya, menggunakan kata-kata prihatin sefasih-fasihnya. Bagai gayung bersambut, bakat alami sebagai orator ulung yang mereka miliki tadi dihadapkan pada sikap masyarakat yang mudah memaafkan, bahkan melupakan. Lengkaplah sudah. Jadi, walaupun kemudian yang pernah dijanjikan tidak urung dilaksanakan, penonton selalu memaafkan, bahkan melu­pakan. Mata mereka bahkan mendadak buta karena secara terselubung, mereka kelihatan sebagai pahlawan yang pro­rakyat kecil.
Sudah tentu, penonton asli yang melihat dari tribun tadi pasti ada, bahkan semakin gelisah, tetapi mereka tidak bersuara. Kalapun berusara, penonton tandingan lebih didengar karena dekat kepada para petanding. Lama-lama, penonton “asli” yang gelisah tadi diam seribu bahasa karena seakan tidak ada lagi gunanya untuk bersuara. Maka, mereka melupakan begitu saja “ben­cana” itu, bahkan memaaf­kannya tanpa ada perjanjian tertulis. Di sini, memaafkan berubah menjadi petaka karena dia tidak lagi melihat apa itu benar atau salah.
Sialnya, maaf itu hanya datang sepihak. Penonton asli memaafkan, tetapi petanding tidak menggunakan kata maaf itu sebagai langkah untuk berubah. Mereka tetap saja bertanding dan asyik dengan mainannya. Atas nama keka­lahan politik misalnya, mereka saling mengejar dan mencecar. Maka, yang mereka lihat kini bukan bagaimana meng­eval­uasi, melainkan bagaimana menjus­tifikasi. Hak bertanya pun digunakan sebagai hak menga­niaya. Siapa pen­duku­ngnya? Ya, mereka para penonton tandingan tadi. Dimana penonton asli? Su­dahlah, mereka sudah me­maafkan kok.
Di level hubungan antara penonton dan penonton, petan­ding mempunyai cara tersen­diri. Mereka menaburkan kebencian sehingga para pe­nonton dipisahkan atas nama ideologi, agama, dan pilihan. Di sini, penonton diper­tanding­kan dan dipecah belah. Konflik diatur sedemikian rupa hingga pada akhirnya di saat yang tepat, mereka datang sebagai mediator. Tetapi, petanding punya visi tersendiri. Damai yang dimediasi hanya berlaku sementara karena tidak akan lama lagi, dendam akan kembali bergejolak. Kata maaf hanya berlaku dari penonton kepada petanding. Petanding sendiri tidak mengenal istilah kata maaf. Yang ada hanyalah kata prihatin.
Hanya Menunda Dendam
Maka, ketika terjadi gejolak sosial yang bersifat horizontal, petanding tadi kembali datang sekadar mengucapkan kata prihatin sefasih-fasihnya. Jadi, sebenarnya tidak ada kata maaf antara penonton dan pe­nonton. Paling banter ha­nya­lah menun­da dendam un­tuk sementara. Kalaupun ada ka­ta maaf, para petanding a­kan datang menye­barkan kem­bali ideologi baru. Maka, rakyat pun akan segera lagi dipi­sahkan. Hal itu terlihat se­kali ketika kembali para petan­ding datang untuk bertan­ding pada masa pemilu mi­salnya.
Ya, negeri ini memang negeri bencana. Hal itulah yang membuat siapa yang mau memimpin harus belajar retorika untuk kemudian jago mengucapkan kata selamatan dan prihatin. Ketika ada duka bencana misalnya, maka di media, di spanduk, di jalanan, para petanding membungkus kata-kata prihatin. Ketika ada bangunan baru, para petanding juga akan menggunakan bahasa. Misalnya, selamat atas pembangunan jalan yang diprakarasi oleh Anu, yaitu saya sendiri (calon “petanding” untuk tahun depan). Embel-embelnya, dukung saya, ya!
Negeri ini, sekalai lagi, hanyalah negeri pertandingan. Di level para petanding dengan petanding pun sejatinya tidak­lah mengenal isitilah kata maaf, kecuali deal dan krusi. Kalau deal dan kursi itu tidak ada, dendam akan menguasai. Kalau deal dan kursi itu ada, dendam disimpan menunggu saat yang tepat. Maka, rakyat yang gelisah semakin gelisah. Mereka tidak mampu bersuara karena kini suara rakyat tandingan lebih keras. Jalan lain hanyalah memaafkan, bila perlu melu­pakan. Saatnya nanti, mereka akan diper­tandingkan sebagai bidak-bidak catur. Entah mereka berdarah-darah, para petanding tidak akan ambil pusing. Paling tidak, mereka akan menggu­nakan darah itu untuk menyu­cikan, bahkan diperalat sebagai alat untuk memenangi pertan­dingan-pertandingan selan­jutnya. (***)

RIDUAN SITUMORANG(Pendidik, Konsultan Bahasa, Pegiat Sastra dan Budaya)

0 comments: