Thursday 18 December 2014

Beragama bukan tentang Bertoleransi

Beragama Bukan tentang Bertoleransi

Oleh: Riduan Situmorang
Saat ini sedang dikebut draf RUU Perlindungan Umat Beragama. Draf ini konon merupakan aspirasi dari masyarakat sebab kini ada semacam penyakit membenci yang tidak seagama, bahkan tidak semazhab. Dengan kata lain, toleransi dan intoleransi sama-sama terpelihara. Harapannya adalah, bahwa dengan RUU ini toleransi akan terjaga dan semakin berkembang.
Dengan demikian, tindakan-tindakan diskriminatif dicoba diredam dengan sikap saling menerima dan menghargai. Maka, dasar berpikirnya adalah adanya pengakuan terhadap sebuah perbedaan, entah itu beda agama, ras, bahasa, selera, dan sebagainya.
Hal itu perlu karena selain berbeda, masyarakat pun ternyata berbeda pula dalam menanggapi perbedaan. Ada yang alergi, ganas, acuh tak acuh, kadang setuju kadang tidak, dan tentu saja yang simpati dengan perbedaan. Bagi yang alergi, misalnya, mereka akan berusaha mencari yang sama dengan mereka. Maka, lahirlah organisasi berdasarkan kedaerahan, keagamaan, hingga tinggal di tempat yang khusus bagi mereka seperti kos Muslim, non-Muslim, dan sebagainya. Di sana, mereka merayakan persamaan hingga tanpa sadar, mereka terasingkan sehingga lupa merayakan perbedaan. Yang pasti, toleransi di sana berkembang. Dengan demikian, intoleransi pun berkembang.
Berbagai Macam Pandangan
Beda halnya dengan yang ganas. Selain tidak setuju, mereka akan menyerang secara aktif siapa saja yang berbeda dengan mereka. Berbagai argumen pun akan mereka lontarkan, termasuk memelintir ayat-ayat kitab suci sebagai bagian dari legitimasi. Dari sana, mereka akan menggunakan tekanan psikologis, mengerahkan massa, menyerang ideologi, hingga merusak, membanting, mengusir, bahkan membunuh.
Mereka berusaha menciptakan neraka bagi yang berbeda dengan mereka supaya setidaknya pergi dan lari. Jika tidak lari, mereka akan menggunakan segala cara, mulai dari halus sampai ganas. Di sini, perbedaan menjadi benar-benar sebagai neraka, kita menyebutnya sebagai disharmoni, permusuhan, perkelahian, pembantaian. Di neraka, tentu tidak ada toleransi. Intoleransi pun sejatinya tidak ada karena semua dipandang sebagai toleransi.
Bagi yang acuh tak acuh beda pula. Mereka ini duduk diam. Membantu tidak, menolak pun tidak. Bagi mereka, agamamu, ya, agamamu dan agamaku, ya, agamaku. Maka, ketika yang ganas dengan perbedaan menghantam yang berbeda, yang acuh tak acuh duduk manis saja. Ketika ditanya pendapat, dia akan menjawab, itu urusan mereka. Jika ditanya misalnya masalah hakiki dari ideologi, dia pun akan diam. Kalaupun membela, pasti hanya sekadar memberi pendapat, itu pun tidak menyentuh esensi. Di sini, toleransi mempunyai dosis yang sama dengan intoleransi.
Bagi yang kadang setuju kadang tidak akan memilah perbedaan pada dua hal: ada yang bisa diterima, ada yang sebaiknya “jangan”. Mereka ini mungkin lebih moderat. Silakan tinggal di tempat ini dengan ideologimu, tetapi jangan coba-coba menyebarluaskannya pada sesama kami. Jangan pula menjadi pemimpin di tempat kami. Bahwa kamu boleh tinggal, silakan, tetapi tentu ada aturannya.
Ketika kemudian ada “kecelakaan”, yang kadang setuju kadang tidak ini hanya diam pula. Mereka memang menolak, tetapi mereka tidak melakukan sesuatu kepada yang berbeda tersebut. Paling banter, mereka hanya berdebat yang sama sekali hanya enak didengar pada permukaan. Habis dari perdebatan, “kecelakaan” tadi pun tetap terpelihara. Maka, di sini, toleransi mungkin sudah ada, demikian pula dengan intoleransi. Samsudin Berlian mengatakannya sebagai dekat, tapi belum dan mirip, tapi bukan.
Terakhir, ada yang simpati, bahkan rindu pada perbedaan. Ini ideal karena kita cenderung akan mencari perbedaan manakala bertemu dengan anak kembar. Semacam ketika membeli dua boneka yang warna dan bentuknya sama. Kita kemudian akan sibuk bertanya, apa, ya, beda yang ini dengan yang itu? Oh, ukurannya beda, harganya beda pula. Ah, kubeli yang ini saja! Dengan demikian, mereka menerima perbedaan sebagai keindahan.
Mereka pun merayakannya dengan senang hati. Ibaratnya, semua mengalir begitu saja. Kamu kusayangi karena kamu memang berbeda dengan yang lainnya. Di sini toleransi tidak ada. Demikian pula dengan intoleransi. Tidak perlu ada toleransi, apalagi intoleransi di surga. Semua mengalir begitu saja sedemikian indahnya.
Harmoni, bukan Toleransi
Nah, beginilah seharusnya agama, terutama mahluk beragama. Agama tidak mengenal toleransi, apalagi intoleransi. Sebab, toleransi adalah sebuah pemikiran untuk menerima orang lain, entah dia salah atau tidak. Intoleransi pun demikian, tidak menerima orang lain tanpa memandang kitakah yang salah atau mereka. Seorang yang bertoleransi adalah seorang, ketika masyarakat berada dalam keadaan tenang, membiarkan segala macam pemikiran, termasuk yang tidak dia setujui. Seorang yang bertoleransi pula adalah seorang, ketika masyarakat tegang, menggunakan segenap pemikiran dan kekuatannya untuk membela dan menerima yang tidak dia setujui.
Seorang yang tidak toleran akan melakukan hal yang hampir sama pula. Ketika, misalnya, situasi tenang, dia tidak membiarkan pemikiran yang berbeda dengannya berkembang. Ketika situasi tegang, dia pun tidak membiarkan orang yang akan memperbaiki keadaan begitu saja. Selalu ada harga untuk sebuah intoleransi, bahkan untuk toleransi. Dalam konteks kekinian, misalnya, harga untuk sebuah toleransi adalah aturan yang kini dikebut yang apabila dilanggar menjadi hukuman.
Padahal, Tuhan sama sekali tidak pernah memberi harga pada sebuah kebijakan. Tuhan membiarkannya berlalu begitu saja sedemikian rupa. Dalam contoh konkret, bukankah Tuhan bisa mengubah setiap kehidupan ini dengan baik dengan zat adikodrati dan kemahaperkasaan yang Dia miliki? Tetapi, mengapa Tuhan tidak membuatnya? Itu karena Tuhan ingin hidup ini berlalu begitu saja secara harmonis. Tuhan tidak pernah menyebut toleransi sebagai kunci. Dia hanya mengatakan, hormatilah orang lain sebagaimana kamu menghormati dirimu. Itu saja!
Kita sebagai manusia, atau Indonesia tradisional sebenarnya juga menganut paham yang sama. Tidak ada istilah toleran dan intoleran, kecuali harmoni, keselarasan, dan keserasian. Lalu belakangan, ketika kita menjajaki yang namanya zaman modern dengan sederet aturan tertulisnya, kita melulu melihat sesuatu dari harga. Selalu ada harga untuk sesuatu, begitu kita berujar. Mungkin masih ada yang tersisa dari masyarakat tradisional.
Di pedesaan, misalnya, ketika memecahkan masalah, kita masih menggunakan mufakat, tapi di kota, masalah dipecahkan dengan aturan tertulis di kepolisian dan kejaksaan.
Maka, ketika kemudian RUU Perlindungan Umat Beragama ini dirancang, ada kerisauan dalam hati. Apakah RUU ini akan mengekang, mengerangkeng, dan membatasi? Atau, apakah RUU ini akan membiarkan pengusiran, pengerdilan, pengisolasian atas nama penyelamatan agama tertentu? Yang pasti, beragama sebenarnya bukan tentang bagaimana bertoleransi dan meneliminasi intoleransi, melainkan bagaimana kemudian untuk tidak tahu-menahu apa itu toleransi dan intoleransi, tetapi hidup dalam keselarasan.***
Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya di “Teater Z” Medan.

0 comments: