Penggajian Tunggal PNS, Kenapa Tidak?
|
BELAKANGAN ini mencuat wacana penggajian tunggal, yang barangkali bagi para pegawai negeri sipil (PNS)
atau guru sangat meresahkan. Konon, penggajian tunggal akan serta merta
menghapus hampir separuh dari total gaji yang telah mereka nikmati
selama ini.
|
Dengan sistem penggajian seperti ini pula, menurut Wakil
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko
Prasosjo, tunjangan profesi guru akan hilang sehingga predikat guru
bersertifikasi yang selama ini sudah diperjuangkan melalui program
sertifikasi kemungkinan besar menjadi tidak berarti apa-apa, terutama
karena sudah tidak dibayarkan lagi.
Karena itulah, banyak guru
yang kemudian menjadi sangat gusar dan risau, lalu menyitir bahwa
apabila kelak langkah ini diratifikasi hal itu mengisyaratkan telah
terjadi langkah kemunduran besar dalam perbaikan kualitas pendidikan.
Benarkah demikian?
Kita tidak tahu secara pasti, apalagi karena
sampai detik ini bukti adanya perbaikan kualitas pendidikan semata-mata
karena sertifikasi belum kelihatan, bahkan lebih condong sama.
Kalaupun ada bedanya, paling derajat hidup guru bersertifikasi sudah lebih baik daripada guru pahlawan tanpa tanda jasa.
Apakah
wajar menilai kualitas pendidikan dari kualitas dan derajat hidup para
guru, yang seakan tujuan pendidikan hanya untuk memperbaiki kualitas
guru? Wajar pulakah kalau kita langsung mengatur ulang penggajian karena
kualitas siswa dan pendidikan tidak langsung berubah seakan yang salah
adalah guru?
Pelajaran Mencontek
Kita
tidak tahu menjawab secara riil karena penelitian untuk membandingkan
kualitas siwa hasil gemblengan guru bersertifikasi dengan guru biasa
belum dilakukan menyeluruh. Yang ada kita dengar, pendidikan kita hanya
riuh dari kasus kekerasan seksual oleh guru terhadap siswa dan oleh
siswa terhadap siswa. Kita pun sering mendengar tawuran dan kekerasan
masih marak terjadi di sekolah, seakan-akan sekolah pasar dan tempat
para preman berkeliaran.
Jika saja KH Dewantara masih hidup,
mungkin dia akan menggeleng melihat pendidikan kita yang menyimpang dan
mulai mengarah pada bisnis, bukan lagi berbasis pada tut wuri handayani.
Lihat, orang-orang kemudian sudah latah bahkan betah menyebut sekolah
hanyalah tempat nongkrong dan persinggahan sementara ibarat halte.
Lantas, jadilah sekolah sebagai tempat ramai yang disinggahi orang.
Mereka sebatas singgah lalu pergi tanpa ada kesan.
Karena sekolah
ibarat halte, ilmu yang didapat di sekolah pun menjadi ilmu pasaran dan
sulit dipertanggungjawabkan. Akhirnya, pencabulan, kekerasan,
senioritas ala koboi dan preman kampungan, tawuran, serta
tindakan-tindakan pasaran lainnya nyaman bersarang di sekolah.
Sekolah
bahkan ibaratnya bukan lagi tempat pembibitan karakter dan pembuahan
ilmu, sehingga yang dituai kemudian hanyalah siswa cacat moral yang
mengandalkan kekerasan.
Bahkan, berita terkait UN bukanlah
berita kemajuan, kecuali kecenderungan soal UN SMP hampir bulat-bulat
dicontek dari soal PISA oleh para tim pembuat soal.
Lengkaplah
sudah kebobrokan pendidikan kita. Sudahlah di dalamnya didominasi
pencabulan, kekerasan, soal yang dicontek para tim pembuat soal dari
soal PISA pun malah dikerjakan siswa dengan cara mencontek. Maka,
pelajaran yang diajarkan kemudian hanyalah pelajaran mencontek.
Memang,
fakta bahwa guru pernah mengajarkan bahwa mencontek merupakan dosa.
Tapi pada saat hampir bersamaan siapa yang bisa menyanggah bahwa guru
turut juga mengajari siswa untuk mencontek hanya demi predikat sekolah
lulus UN 100%? Apakah ini hasil yang kita harapkan dari para guru
bersertifikat?
Mau dibawa ke mana pendidikan kita ini? Apa pula
yang kita harapkan dari pendidikan? Sekolah sudah menjadi pasar, jika
tidak sebagai tempat bisnis lebih cocok disebut tempat penjualan yang
memasarkan barang-barang gelap sehingga di dalamnya terjadi transaksi
gelap yang akan berujung pada bentrok. Gejalanya sudah jelas, tingkat
kepuasan dan kepercayaan siswa, terutama masyarakat, kepada sekolah
sudah terjun bebas dan berada pada titik nadir.
Tidak hanya pada
segi pelayanan, pembibitan karakter, bahkan pada ranah pentransferan
ilmu akademis sekolah pun sudah sangat diragukan. Siapa yang salah? Guru
atau sekolahnya?
Bukan Alat Transaksi
Saya
tidak sedang berusaha mencari siapa yang salah, apalagi kambing hitam.
Hanya saja, mari berpikir jernih dan bersikap jujur. Jika kita mengacu
pada satu poin saja, seperti ranah akademis, misalnya, kita akan sangat
terkejut bahwa sekolah sangat kelabakan.
Lihatlah survei yang
baru-baru ini diadakan Litbang Kompas. Pada survei itu ditegaskan bahwa
97,6% siswa merasa perlu untuk ikut bimbel. Padahal, bimbel hanyalah
lembaga kursus yang sifatnya informal. Ironisnya, siswa yang mengikuti
bimbel, sebanyak 92,3% mengaku ikut bimbel hanya untuk menambah ilmu
pengetahuan.
Dari kenyataan itu, tampak jelas siswa tidak lagi
percaya, apalagi percaya diri, kalau hanya bermodalkan ilmu yang didapat
dari sekolah. Apakah kita harus menyalahkan guru? Kalau guru salah, di
mana dan untuk apa sertifikasi diberikan jika akhirnya sertifikasi tidak
bisa menjamin kulitas guru?
Mungkin, kemudian pemerintah
menilai bahwa sertifikasi tidak serta merta menjadikan guru berkualitas.
Setelah melihat data-data, pemerintah pun menilai sertifikasi yang
berimbas pada naiknya pendapatan guru lebih condong membuat guru menjadi
nyaman sehingga tidak mau lagi berbenah memperbaiki kualitasnya. Dengan
predikat guru bersertifikat, guru mungkin merasa sudah berada di puncak
karier sehingga tidak perlu lagi mengembangkan kemampuan apalagi
kemauan. Bahkan, sertifikasi pada praktiknya lebih condong sebagai alat
transaksi, bukan alat kontrol kualitas.
Jika semua dugaan ini
benar, sangat pantas negara kembali meninjau kinerja guru. Tujuannya
untuk mengontrol kemampuan dan kemauan guru. Jika akhirnya di lapangan
guru dan PNS ditemukan bekerja tidak sesuai koridor, imbalannya
pemerintah perlu meninjau ulang penghonoran, bila perlu meninjau kembali
predikatnya sebagai PNS. Sebaliknya, jika guru dan PNS bekerja sesuai
koridor, bahkan melebihi tanggung jawab yang dibebankan, pemerintah
harus memberinya hadiah. Singkatnya, berikan hadiah pada mereka yang
bekerja dan beri hukuman terhadap mereka yang malas!
(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
|
2 comments:
PENGEN PUNYA SMARTPHONE KELAS ATAS TAPI GA BIKIN KANTONG TERKURAS? SILAHKAN CHAT DI BBM INVET PIN: 24C4A399 ATAU HUB/SMS:0857-5729-9675- ATAS NAMA NABILA SAIRA SHOP. TERSEDIA BERBAGAI MEREK MULAI DARI SAMSUNG, I PHONE, ZONY EXPERIA DLL JUGA ADA LAPTOP, CAMERA, DLL. BARANG ASLI ORIGINAL 100%, ( BUKAN SC ATAU REPLIKA )
PENGEN PUNYA SMARTPHONE KELAS ATAS TAPI GA BIKIN KANTONG TERKURAS? SILAHKAN CHAT DI BBM INVET PIN: 24C4A399 ATAU HUB/SMS:0857-5729-9675- ATAS NAMA NABILA SAIRA SHOP. TERSEDIA BERBAGAI MEREK MULAI DARI SAMSUNG, I PHONE, ZONY EXPERIA DLL JUGA ADA LAPTOP, CAMERA, DLL. BARANG ASLI ORIGINAL 100%, ( BUKAN SC ATAU REPLIKA )
Post a Comment