Wednesday 9 July 2014

Penggajian Tunggal PNS, Kenapa Tidak?

Penggajian Tunggal PNS, Kenapa Tidak?

BELAKANGAN ini mencuat wacana penggajian tunggal, yang barangkali bagi para pegawai negeri sipil (PNS) atau guru sangat meresahkan. Konon, penggajian tunggal akan serta merta menghapus hampir separuh dari total gaji yang telah mereka nikmati selama ini.
Dengan sistem penggajian seperti ini pula, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasosjo, tunjangan profesi guru akan hilang sehingga predikat guru bersertifikasi yang selama ini sudah diperjuangkan melalui program sertifikasi kemungkinan besar menjadi tidak berarti apa-apa, terutama karena sudah tidak dibayarkan lagi.

Karena itulah, banyak guru yang kemudian menjadi sangat gusar dan risau, lalu menyitir bahwa apabila kelak langkah ini diratifikasi hal itu mengisyaratkan telah terjadi langkah kemunduran besar dalam perbaikan kualitas pendidikan. Benarkah demikian?
Kita tidak tahu secara pasti, apalagi karena sampai detik ini bukti adanya perbaikan kualitas pendidikan semata-mata karena sertifikasi belum kelihatan, bahkan lebih condong sama.

Kalaupun ada bedanya, paling derajat hidup guru bersertifikasi sudah lebih baik daripada guru pahlawan tanpa tanda jasa.

Apakah wajar menilai kualitas pendidikan dari kualitas dan derajat hidup para guru, yang seakan tujuan pendidikan hanya untuk memperbaiki kualitas guru? Wajar pulakah kalau kita langsung mengatur ulang penggajian karena kualitas siswa dan pendidikan tidak langsung berubah seakan yang salah adalah guru?

Pelajaran Mencontek
Kita tidak tahu menjawab secara riil karena penelitian untuk membandingkan kualitas siwa hasil gemblengan guru bersertifikasi dengan guru biasa belum dilakukan menyeluruh. Yang ada kita dengar, pendidikan kita hanya riuh dari kasus kekerasan seksual oleh guru terhadap siswa dan oleh siswa terhadap siswa. Kita pun sering mendengar tawuran dan kekerasan masih marak terjadi di sekolah, seakan-akan sekolah pasar dan tempat para preman berkeliaran.

Jika saja KH Dewantara masih hidup, mungkin dia akan menggeleng melihat pendidikan kita yang menyimpang dan mulai mengarah pada bisnis, bukan lagi berbasis pada tut wuri handayani. Lihat, orang-orang kemudian sudah latah bahkan betah menyebut sekolah hanyalah tempat nongkrong dan persinggahan sementara ibarat halte. Lantas, jadilah sekolah sebagai tempat ramai yang disinggahi orang. Mereka sebatas singgah lalu pergi tanpa ada kesan.

Karena sekolah ibarat halte, ilmu yang didapat di sekolah pun menjadi ilmu pasaran dan sulit dipertanggungjawabkan. Akhirnya, pencabulan, kekerasan, senioritas ala koboi dan preman kampungan, tawuran, serta tindakan-tindakan pasaran lainnya nyaman bersarang di sekolah.

Sekolah bahkan ibaratnya bukan lagi tempat pembibitan karakter dan pembuahan ilmu, sehingga yang dituai kemudian hanyalah siswa cacat moral yang mengandalkan kekerasan.

Bahkan, berita terkait UN bukanlah berita kemajuan, kecuali kecenderungan soal UN SMP hampir bulat-bulat dicontek dari soal PISA oleh para tim pembuat soal.

Lengkaplah sudah kebobrokan pendidikan kita. Sudahlah di dalamnya didominasi pencabulan, kekerasan, soal yang dicontek para tim pembuat soal dari soal PISA pun malah dikerjakan siswa dengan cara mencontek. Maka, pelajaran yang diajarkan kemudian hanyalah pelajaran mencontek.

Memang, fakta bahwa guru pernah mengajarkan bahwa mencontek merupakan dosa. Tapi pada saat hampir bersamaan siapa yang bisa menyanggah bahwa guru turut juga mengajari siswa untuk mencontek hanya demi predikat sekolah lulus UN 100%? Apakah ini hasil yang kita harapkan dari para guru bersertifikat?

Mau dibawa ke mana pendidikan kita ini? Apa pula yang kita harapkan dari pendidikan? Sekolah sudah menjadi pasar, jika tidak sebagai tempat bisnis lebih cocok disebut tempat penjualan yang memasarkan barang-barang gelap sehingga di dalamnya terjadi transaksi gelap yang akan berujung pada bentrok. Gejalanya sudah jelas, tingkat kepuasan dan kepercayaan siswa, terutama masyarakat, kepada sekolah sudah terjun bebas dan berada pada titik nadir.

Tidak hanya pada segi pelayanan, pembibitan karakter, bahkan pada ranah pentransferan ilmu akademis sekolah pun sudah sangat diragukan. Siapa yang salah? Guru atau sekolahnya?

Bukan Alat Transaksi
Saya tidak sedang berusaha mencari siapa yang salah, apalagi kambing hitam. Hanya saja, mari berpikir jernih dan bersikap jujur. Jika kita mengacu pada satu poin saja, seperti ranah akademis, misalnya, kita akan sangat terkejut bahwa sekolah sangat kelabakan.

Lihatlah survei yang baru-baru ini diadakan Litbang Kompas. Pada survei itu ditegaskan bahwa 97,6% siswa merasa perlu untuk ikut bimbel. Padahal, bimbel hanyalah lembaga kursus yang sifatnya informal. Ironisnya, siswa yang mengikuti bimbel, sebanyak 92,3% mengaku ikut bimbel hanya untuk menambah ilmu pengetahuan.

Dari kenyataan itu, tampak jelas siswa tidak lagi percaya, apalagi percaya diri, kalau hanya bermodalkan ilmu yang didapat dari sekolah. Apakah kita harus menyalahkan guru? Kalau guru salah, di mana dan untuk apa sertifikasi diberikan jika akhirnya sertifikasi tidak bisa menjamin kulitas guru?

Mungkin, kemudian pemerintah menilai bahwa sertifikasi tidak serta merta menjadikan guru berkualitas. Setelah melihat data-data, pemerintah pun menilai sertifikasi yang berimbas pada naiknya pendapatan guru lebih condong membuat guru menjadi nyaman sehingga tidak mau lagi berbenah memperbaiki kualitasnya. Dengan predikat guru bersertifikat, guru mungkin merasa sudah berada di puncak karier sehingga tidak perlu lagi mengembangkan kemampuan apalagi kemauan. Bahkan, sertifikasi pada praktiknya lebih condong sebagai alat transaksi, bukan alat kontrol kualitas.

Jika semua dugaan ini benar, sangat pantas negara kembali meninjau kinerja guru. Tujuannya untuk mengontrol kemampuan dan kemauan guru. Jika akhirnya di lapangan guru dan PNS ditemukan bekerja tidak sesuai koridor, imbalannya pemerintah perlu meninjau ulang penghonoran, bila perlu meninjau kembali predikatnya sebagai PNS. Sebaliknya, jika guru dan PNS bekerja sesuai koridor, bahkan melebihi tanggung jawab yang dibebankan, pemerintah harus memberinya hadiah. Singkatnya, berikan hadiah pada mereka yang bekerja dan beri hukuman terhadap mereka yang malas!

(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan

2 comments:

KHINTANY SHOP ELEKTRONIK said...

PENGEN PUNYA SMARTPHONE KELAS ATAS TAPI GA BIKIN KANTONG TERKURAS? SILAHKAN CHAT DI BBM INVET PIN: 24C4A399 ATAU HUB/SMS:0857-5729-9675- ATAS NAMA NABILA SAIRA SHOP. TERSEDIA BERBAGAI MEREK MULAI DARI SAMSUNG, I PHONE, ZONY EXPERIA DLL JUGA ADA LAPTOP, CAMERA, DLL. BARANG ASLI ORIGINAL 100%, ( BUKAN SC ATAU REPLIKA )

KHINTANY SHOP ELEKTRONIK said...

PENGEN PUNYA SMARTPHONE KELAS ATAS TAPI GA BIKIN KANTONG TERKURAS? SILAHKAN CHAT DI BBM INVET PIN: 24C4A399 ATAU HUB/SMS:0857-5729-9675- ATAS NAMA NABILA SAIRA SHOP. TERSEDIA BERBAGAI MEREK MULAI DARI SAMSUNG, I PHONE, ZONY EXPERIA DLL JUGA ADA LAPTOP, CAMERA, DLL. BARANG ASLI ORIGINAL 100%, ( BUKAN SC ATAU REPLIKA )