Friday 1 April 2016

Jangan Hanya di Atas Kertas

Riduan Situmorang--Di atas kertas, negeri ini adalah negeri suci. Religius, pancasialis, beradab, demokratis, moderat, dan saling menghargai.  Tetapi itu di atas kertas. Di balik kertas itu, negeri ini adalah negeri yang bopeng dan amburadul. Di sekujur tubuhnya banyak garong berwajah humanis, ektremis berwajah religius, pecandu berwajah saleh. Semua begitu, mulai dari akar rumput sampai pemimpin sekalipun. Bahkan, seringkali para elite justru memelihara hal-hal seperti ini sebagai salah satu modal untuk mencapai ketenaran, bahkan kekuasaan.

Pada kesempatan ini, mari sejenak lupakan kisah sedih di mana di atas kertas katanya pejabat kita sehat, tetapi baru saja dilantik sudah menjadi pecandu, bahkan ditangkap dalam keadaan teler. Lupakan masalah hiruk pikik Pilkada DKI di mana semua calon saling menjungkalkan. Lupakan masalah di atas kertas bagaimana DPR kita katanya baik, padahal…!

Sekarang, mari fokus dulu pada masalah toleransi yang didengung-dengungkan bahkan sering dibangga-banggakan di negeri ini. Sebab, di atas kertas, kita memang patut dibanggkan dan bahkan menjadi panutan. Tetapi sekali lagi, itu hanya di atas kertas. Ini tak berlebihan.

Hak Paling Mendasar

Sebagai misal, barangkali kita yang katanya toleran ini sekonyong-konyong terkejut ketika bagaimana masyarakat baru-baru ini menolak pendirian Gereja Katolik di Bekasi. Padahal, segala data administratif yang dibutuhkan untuk pembangunan rumah ibadah itu sudah diselesaikan. Menteri Agama dan Presiden sudah merestui. Bahkan, Wali Kota Bekasi sudah pasang badan dan mengaku berani ditembak kepalanya jika warga masih menolak pembangunan. Tetapi, masyarakat setempat, entah siapa yang menggerakkan masih saja belum berterima. Baiklah, kita sudahi masalah di atas kertas. Mari kita melongok ke dalam kertas  itu sendiri.

Di atas kertas, apalagi atas nama hukum dan kelayakan, pembangunan ini memang akan dan harus dilaksanakan. Bukan karena restu dari Presiden dan Menteri Agama, bukan karena aksi heroik wali kota, tetapi karena ini memang hak paling mendasar yang sudah direstui sejak negara ini hadir. Itu jelas sekali tertera di atas kertas. Tetapi, begitupun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bentuk negara akan hadir di sana?

Sebab, kita harus sadar bahwa masalah ini tidak selesai seketika setelah pembangunan rumah ibadah selesai. Masalah utamanya justru terletak di masa depan, yaitu akan bagaimana relasi masyarakat di sekitarnya nantinya? Apakah akan guyub atau masih saling mencurigai, atau yang paling mengerikan: kebencian justru semakin tebal?

Sudah dapat diduga bahwa penolakan ini adalah bentuk paling sederhana dari kebencian. Dan, seperti kita tahu, kebencian di negeri ini dan di mana pun itu susah sekali untuk dihilangkan. Belum lagi karena kebencian itu juga sangat gampang menular. Palestina dan Israel, misalnya, yang berkelahi, tetapi justru kita yang sibuk adu jotos. Donald Trump yang bodoh, kita pula yang ikut heboh. Nah, kenyataan ini semakin mencemaskan karena seperti tadi, kebencian seringkali dipelihara oknum tertentu untuk kemudian digelincirkan dan dipanen.

Nah, mencermati kenyataan itu, di sinilah negara perlu hadir. Jangan hanya mengandalkan kertas. Kehadiran itu harus dalam bentuk sebuah narasi di mana negara tak goyah dalam melindungi hak-hak minoritas. Tetapi bukan berarti kalau melindungi hak minoritas malah menganaktirikan mayoritas. Negara harus tetap menerima saran mayoritas dalam batas dan pengertian yang toleran.

Pengertian tidak goyah di sini adalah ketika negara tidak terlalu membuka kompromi yang lebar. Kompromi yang lebar nantinya bisa bias yang lalu sampai pada kesimpulan untuk menangguhkan, menyegel, atau bahkan membatalkan. Jika ini yang terjadi, hal serupa juga rentan untuk diulangi. Saya tidak mau mengatakan bahwa penolakan Gereja Katolik ini terjadi karena pemerintah juga terkesan lembek pada pembangunan GKI Yasmin sebelumnya. Tetapi, kita tak dapat menutup mata bahwa penolakan ini justru terjadi karena warga sudah membaca bahwa apabila ada penolakan besar-besaran, maka kompromi akan dibuka.

Toleransi Pasif

Baiklah, di sini barangkali sudah jelas bahwa negara harus menindaklanjuti dan menjamin keamanan dan kenyamanan pembangunan. Tidak hanya di atas kerta! Masalah selanjutnya adalah bagaimana menjamin keamanan dan kenyamanan di masa depan yang sekali lagi, bukan di atas kertas? Mungkinkah kerukunan sejati sekonyong-konyong terjadi setelah pembangunan rumah ibadah selesai? Tidak!

Lalu kalau tidak, apakah negara harus hadir dengan daftar regulasi formalnya yang bersifat memaksa dapat membantu? Belum tentu untuk tidak mengatakan, tidak! Ini justru bisa diperkarakan, digugat, dan bahkan dibenturkan dengan Perda yang seringkali aksennya beda dengan aturan pusat. Atas nama otonomi, keresahan, dan apa pun alasan bisa dihadirkan untuk kembali menelurkan dan menularkan kebencian.

Sebab, seperti kita ketahui, muatan regulasi, baik itu berbentuk undang-undang maupun Perda, berpotensi menciptakan sekat yang menghambat ruang interaksi kultural umat beragama. Alih-alih melahirkan suasana kerukunan yang berbasis kejujuran dan kesadaran sejati, kerangka filosofis dari istilah kerukunan justru semakin sumir karena masyarakat terfragmentasi oleh formalitas yang stagnan. Pola hubungan antarumat beragama hanya akan bersumbu pada pasal-pasal mati, bukan lagi yang harusnya pada etika, ajaran, dan kearifan lokal.

Nah, karena itulah kini bagi kita mendesak untuk dibicarakan tentang kesadaran. Lebih dalam lagi, bagaimana menumbuhkan kesadaran itu. Ini memang merupakan sesuatu yang sulit diciptakan, karena ini sebuah lompatan ke luar dari atas kertas. Kita harus mengarah kerukunan yang guyub, yang sejati, yang tidak di atas kertas. Untuk itu, mau tak mau kita harus menuju pusat kesadaran sebab segalanya berakar dari sana.

Jangan seperti selama ini, kita hanya sibuk berbicara tentang toleransi, tetapi tidak ada pembumian. Toleransi seperti ini jika bukan di atas kertas, seperti yang diistilahkan David Cameroon ketika negaranya diresahkan kerusuhan rasial, adalah toleransi pasif. Seseorang dianggap bertoleransi pasif jika dirinya menghindar atau tak mau berbuat sesuatu untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman intoleransi dan ekstremisme.

Kalau boleh dijabarkan, toleransi yang demikian adalah sebuah pemikiran untuk menerima orang lain, entah dia salah atau tidak, tetapi hanya sebatas di atas kertas. Padahal, toleransi yang sejati adalah ketika masyarakat berada dalam keadaan tenang, membiarkan segala macam pemikiran, termasuk yang tidak dia setujui. Atau, ketika masyarakat tegang, menggunakan segenap pemikiran dan kekuatannya untuk membela dan menerima yang tidak dia setujui. Tetapi, toleransi demikianlah yang masih belum ada.

Gejalanya terlihat ketika satu masyarakat memperlakukan persoalan intoleransi di lingkungannya sebagai masalah internal, bukan urusan publik. Atau, ketika pada masa survei, pada diskusi bertajuk kebebasan, kita dominan saling menerima, tetapi pada kenyataanya kita saling bertubrukan, saling mengucilkan, saling mengunci, dan saling curiga. Maksud saya, pada kesempatan ini, berkaca pada berbagai masalah kebebasan, marilah membangun toleransi yang guyub. Mari membangun relasi karena itulah masa depan. Jangan hanya sebatas di atas kertas.

Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Pengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia di Prosus Inten.

0 comments: