Wednesday 2 March 2016

Tantangan ”Rumah Besar” MEA

TAHUN2016, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan di negara ASEAN ( Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,Thailand, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar). Namun, hingga saat ini banyak yang belum paham makna dan semangat yang dibawa dalam kerja sama tersebut.

MEA hanya dianggap sebagai persaingan terbuka dari negara-negara Asia Tenggara, bukan sebagai integrasi ajang meningkatkan kerja sama antarnegara agar dapat saling menguntungkan. Dari hasil penelitian LIPI, hanya 30% dari 2.300 responden dari berbagai profesi di 16 provinsi masyarakat Indonesia paham tentang MEAdan manfaatnya.

MEA, dianalogikan sebagai ”rumah besar” dengan satu visi – satu identitas – satu komunitas, menjadi visi dan komitmen bersama yang hendak diwujudkan oleh anggota ASEAN pada tahun 2020. Sebagai sebuah rumah besar, sepuluh negara ASEAN masuk bersama-sama ke rumah itu untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua orang.

Sebenarnya ”rumah besar” MEA ini baru akan terbentuk tahun 2020, tapi dari hasil KTT ke-12 ASEAN pada Januari 2007, disepakati pembentukan komunitas ASEAN dari tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2016.

Dasar terbentuknya ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu komunitas politik dan keamanan ASEAN, komunitas ekonomi, komunitas sosial dan budaya . Setiap pilar utama mempunyai tujuannya masing-masing.

Esai ini akan lebih fokus membahas mengenai Komunitas Ekonomi ASEAN 2016. Tujuan dibuatnya ekonomi ASEAN 2016 yaitu meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN.

Dengan dibentuknya kawasan ekonomi ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di bidang ekonomi antarnegara ASEAN. Untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi krisis seperti tahun 1997. Bila ASEAN benar-benar terintegrasi melalui MEA, maka ini akan menjadikannya sebagai kekuatan baru dunia.

Gabungan PDB ASEAN sebesar 2,5 triliun dolar AS tahun 2013 menjadikan MEAkekuatan ekonomi ketujuh terbesar di dunia. Dari segi pasar pun sangat menjanjikan, gabungan penduduk ASEAN berjumlah lebih dari 600 juta, ketiga setelah Tiongkok dan India.

Tantangan
Namun gembor-gembor MEA bisa saja tidak seheboh yang kita bayangkan. Banyak tantangan mengadang yang sulit diselesaikan. Meski sejumlah negara ASEAN menyatakan bahwa mereka telah memenuhi berbagai langkah dalam blueprint 2007 hingga 90 persen, kenyataannya antara yang terpenuhi dan tidak terpenuhi tidak terasa gaungnya.

Ini artinya, masih terdapat jurang perbedaan antara perencanaan dan implementasinya. Dari kacamata pengusaha di luar negara ASEAN mereka masih merasakan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi masih di tingkat negara, bukan sebagai lembaga yang lebih tinggi dari negera-negara ASEAN (supranasional).

Akibatnya, di negara-negara ASEAN masih mengandalkan kekuatan dari luar ASEAN, misalnya dalam hal investor. Ini tentu makin menjauhkan MEA dari impian sebagai kekuatan ekonomi dunia.

Idealnya, dalam integrasi ekonomi, kegiatan sejumlah negara yang berkaitan dengan pasar dan tempat berproduksi menjadi tunggal, artinya karena adanya lembaga supranasional di atas negaranegara yang menerbitkan berbagai kebijakan, sehingga setiap kebijakan di tingkat supranasional harus dijalankan di tingkat negara anggota. Integrasi ekonomi tidak akan terjadi bila tidak ada penyerahan kedaulatan secara parsial atau penuh dari negeranegara yang terlibat.

Dalam konteks MEA, meski kedaulatan ada di setiap negara, secara pasar dan tempat berproduksi negara-negara ASEAN adalah ”rumah besar” yang harus taat pada aturan yang ada. Aturan itu sebagai lembaga supranasional Piagam ASEAN, meliputi ASEAN Summit, ASEAN Coordinating Council, ASEAN Comminity Council, ASEAN Sectoral Ministerial Bodies.

Meski MEA2016 dipandang sebagai sebuah peluang positif bagi perkembangan ekonomi nasional, namun sejumlah tantangan dan hambatan terus menghantui Indonesia yang mesti segera diatasi.

Beberapa tantangan yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu faktor sumberdaya manusia memiliki skillrendah, faktor sumber daya alam yang belum dikelola dengan baik, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor budaya dan faktor daya modal amat terbatas.

Lalu kita dapat melihat bagaimana kelima faktor tersebut akan secara maksimal dikelola, faktanya ada beberapa problem mendasar dalam mengelola tantangan tersebut.

Sebagai contoh, dalam mengelola sumber daya manusia, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja 114 juta orang yang belum dipersiapkan untuk menghadapi persaingan, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Dari kementerian ketenagakerjaan, 67 persen dari angkatan kerja Indonesia berpendidikan SD atau SMP.

Tantangan mendasar lain yang mendesak mencakup masalah infrastruktur, birokrasi, masalah perburuhan, sinergi kebijakan nasional dan daerah, daya saing pengusaha nasional, korupsi, dan pungutan liar yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy).
Semangat interdependensi perlu dimiliki oleh masyarakat Indonesia, sehingga perspektif yang terbentuk nantinya bukanlah sekadar bagaimana meningkatkan daya saing, melainkan bagaimana untuk meningkatkan kerja sama antarnegara agar dapat saling menguntungkan. 
Suryanto 
Suara Merdeka, 03/03/2016
Staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang.

0 comments: