Tuesday 8 March 2016

Takhayul Tubuh

Hasil gambar untuk takhayulSensor tubuh yang marak sekarang mencerminkan pemikiran penuh takhayul termasuk takhayul tubuh. Tubuh, gejala paling jujur, paling empiris dari diri, disikapi dengan sejumlah pengingkaran. Implikasinya sudah dengan nyata terlihat, ceto welo-welo orang Jawa bilang, kita mulai teralienasi dari kebudayaan kita sendiri. Di bandara, beberapa waktu lalu, saya ketemu teman fotografer yang katanya baru dari Jawa Tengah untuk berburu dan coba mengabadikan peristiwa-peristiwa pengantin berpakaian tradisional Jawa.

”Sulit sekali menemukan pengantin wanita yang rambutnya dipaes,” katanya. Paes adalah riasan di atas dahi pengantin wanita, simbol kecantikan tradisional wanita Jawa. ”Bagian itu sekarang ditutup. Rambut tak lagi kelihatan. Kalau tidak diabadikan sekarang, nanti kita tidak akan mengenal lagi paes,” lanjutnya.

Begitu pula busana yang disebut basahan atau dodot berupa kemben panjang dan lebar dari batik. Seluruh tata rias dan busana berikut pernak-perniknya menyimbolkan berbagai hal, termasuk basahan yang konon simbol rasa berserah kepada Yang Maha Kuasa.

Ketika kemudian semua kena sensor, ketika tubuh diingkari, segala upaya mencari kesejatian menjadi tidak relevan. Dalam jejak kebudayaan yang terkubur karena semua diburamkan, termasuk kartun binatang di televisi (segawon, komentar teman di Yogya sopan), ikut terkubur sejumlah memori.

Padahal, di tengah genangan realitas virtual di mana yang nyata dan tak nyata tidak lagi mudah dibedakan, empirisme tubuh inilah yang sangat tidak mudah dimanipulasi dilusi dunia digital. Tubuh hadir dan merasakan. Pengalaman tubuh berbeda dengan pengalaman sekadar mendengar, yang dari situ otak mengembara ke mana-mana, berempati secara keliru, memuja secara membabi-buta, atau membenci tanpa sebab-musabab jelas. Persis relasi dalam media sosial sekarang.

Sekitar 20 tahun lalu, hal-hal semacam hiperrealitas, simulakra, realitas gadungan, dianggap kenes-kenesan wacana post-modernisme. Kini, disadari atau tidak, kita hidup di tengah kenyataan gadungan, atau menurut istilah Baudrillard, kenyataan yang tak lagi memiliki asal-usul. Dalam dunia media, perhatian terhadap proses, refleksi, dan kontemplasi ditengarai menghambat laju percepatan bisnis. Tidak sesuai dengan zaman yang bergegas. Siapa yang mempertahankan akurasi tradisi literer media cetak dianggap kuno, ndeso, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan.

Otak manusia sekarang banyak yang tidak seimbang karena terlalu banyak memproses informasi-informasi tak berkejuntrungan, yang berasal dari katanya katanya. Mengira semua yang digerojokkan media online dan media sosial benar belaka.

Ironi teknologi, kemajuan terutama teknologi informasi yang diandaikan mampu memandirikan dan membuat individu kian otonom, malah membuat masyarakat kian konservatif. Tak boleh seseorang berbeda sedikit saja dari suara mayoritas. Anda bisa lihat sendiri sekarang: adakah kritik di bidang seni sastra, sinema, drama, dan lain-lain? Semua mati. Yang ada cuma proses masturbasi. Rezim moral mendesak kriteria lain, seperti sejarah, filsafat, estetika, kebudayaan, paham kebangsaan, dan lain sebagainya.

Jadi ingat puluhan tahun lalu di kota kecil kami terdapat bioskop Rex yang memasang poster dan foto-foto dari film yang sedang atau hendak main. Banyak adegan pemeran berpakaian minim bahkan telanjang. Toh rasanya orang-orang seangkatan kami tidak lalu tumbuh menjadi manusia yang rusak-rusak amat.

Moral telah menjadi takhayul baru sekaligus penggada baru untuk menakut-nakuti, menggerebek, men-sweeping, dan menistakan kelompok-kelompok kecil yang berusaha mempertahankan nalar sehat, memori otak, memori tubuh.

Kalau Anda paham dunia kanuragan, bukan hanya otak yang menyimpan memori, melainkan juga tubuh. Upacara pengantin tradisional bisa diabadikan dalam foto, tetapi kalau yang terdistorsi memori otak, memori tubuh?

Ah, kecantikan termasuk seginya yang transendental itu, di mana nanti kami mencarimu...
Bre Redana
Kompas, 06/03/2016
Wartawan Senior Kompas

0 comments: