Saturday 12 March 2016

Siapa Bisa Melawan Ahok?

Hasil gambar untuk melawan ahokUDARA politik DKI Jakarta menjelang pilkada 2017 mulai memanas. Partai-partai politik tengah menjajaki kemungkinan siapa yang bakal didukung sebagai kandidat. Sementara sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang selama ini telah menggalang kekuatan dari ranah independen melalui Teman Ahok, sudah sangat percaya diri. Magnet politiknya memang tengah moncer. Beberapa partai politik, bahkan PDIP, mendekat untuk mendukung. Tetapi, Ahok tampaknya merasa siap maju tanpa partai.
Apakah dia harus menerima pinangan partai-partai? Bisa ya, bisa pula tidak. Untuk semua itu, ada kalkulasinya. Apabila menerima, Ahok tidak saja akan membuyarkan ikhtiar Teman Ahok selama ini, yang telah berupaya memenuhi persyaratan melalui dukungan kartu tanda penduduk (KTP). Dia juga harus bersiap-siap berkompromi dengan partai-partai.
Apabila memilih maju melalui jalur partai, itu menunjukkan bahwa Ahok ingin bekerja sama lebih baik dengan elite-elite strategis di DPRD DKI Jakarta ke depan. Bila dia kembali terpilih.
Dengan atau tanpa partai pengusung, jelaslah Ahok sudah punya kartu untuk maju sebagai kandidat gubernur di provinsi paling strategis itu. Berbagai survei yang ada selama ini masih menunjukkan bahwa Ahok yang paling kuat. Pertanyaannya memang, siapakah gerangan yang mampu mengimbangi popularitas Ahok sehingga pilgub DKI tahun depan menjadi lebih imbang?
Beberapa nama memang sudah muncul atau setidaknya ramai diperbincangkan. Mulai Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault, Ahmad Dhani, Tri Rismaharini, hingga Ridwan Kamil. Kendati nama terakhir kemarin (29/2) resmi menyatakan tidak maju dalam pilgub DKI.
Mereka juga tokoh-tokoh yang populer. Tapi, persoalannya, apakah bisa dalam waktu setahun melewati derajat popularitas Ahok? Sebagai incumbent, pria kelahiran Belitung itu hampir tiap hari tampil sebagai aktor dalam rangkaian drama pembangunan DKI yang disorot media.
Hari-hari ini Ahok juga kembali menjadi bintang utama dalam penggusuran lokalisasi Kalijodo. Sebelumnya, dia juga menjadi sorotan utama dalam drama-drama penggusuran lain. Juga, dalam semua drama itu, dia tetap menjadi protagonis.
Kesadaran keaktoran dalam serangkaian drama pembangunan DKI itulah kelebihan Ahok. Dia mencicil peningkatan popularitas dirinya sebagai gubernur pemberani dan suka terobosan.
Ahok tetap eksis di tengah lingkaran kemelut isu korupsi yang mengaitkan dirinya, terutama dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Kasus itu, bagaimanapun, mengancam popularitasnya.
Kalau tidak mampu merespons dengan cermat dan hati-hati, bisa saja dia terjungkal dari kekuasaan. Akankah dia lolos dari kasus itu dan tetap bisa melenggang sebagai kandidat? Hal tersebut tidak semata-mata terletak pada faktor Ahok.
Melihat nama-nama yang beredar sebagai potensi lawan tanding Ahok, setidaknya ada dua kategori. Yakni, dari dalam dan luar DKI. Yang berasal dari DKI memiliki latar belakang bervariasi, terutama politisi dan artis.
Dari segi pengalaman dan senioritas, Yusril tidak dapat dianggap enteng. Dia memimpin partai dan punya pengalaman mumpuni di pemerintahan. Tapi, Yusril dituntut harus bergerak cepat dalam menerapkan strategi jitu untuk menumbangkan Ahok. Demikian halnya dengan kandidat lain seperti Adhyaksa Dault, bahkan Ahmad Dhani.
Dalam pilgub DKI sebelumnya, secara kepemimpinan, sang petahana, Fauzi Bowo alias Foke, terkesan sekali sebagai antitesis Jokowi. Tapi, sosok seperti Tri Rismaharini (wali kota Surabaya) atau Ganjar Pranowo (gubernur Jateng), misalnya, memiliki posisi yang nyaris sama dengan Ahok di Jakarta saat ini.
Mereka telah menjadi penanda politik di daerah masing-masing sehingga belum tentu bisa berspekulasi menandingi Ahok. Selain itu, kendalanya, apakah keluarga, warga kota asal, dan partai politik rela melepas nama-nama tersebut?
Adakah pula partai di DKI yang mampu meyakinkan mereka untuk didukung sebagai kandidat? Setiap kasus pilkada spesifik. Kasus-kasus sebelumnya bisa jadi tidak dapat dijadikan model bagi kesuksesan hijrahnya tokoh lokal untuk menjadi penguasa Jakarta.
Di sisi lain, pemilih DKI lazimnya didominasi pemilih yang cenderung akan memilih kandidat gubernur yang dipandang lebih bisa memimpin dan menyelesaikan masalah-masalah pembangunan DKI yang pelik. Tetapi, sesungguhnya rasionalitas pemilih juga cepat terbentur pada sosok yang populis. Merujuk kemenangan Jokowi pada pilkada DKI sebelum ini, faktor populisme politik tak terelakkan. Dari sisi itu, sebagai incumbent, Ahok tampak sadar dan berupaya menjaga populisme kepolitikannya.
Dari perspektif populisme politik itulah, siapa lawan Ahok yang bisa mengimbangi, bahkan mengalahkannya, ialah yang mampu membangun imaji populisme politik dalam tempo yang cepat kepada publik DKI.
Sosok itulah yang dipersepsikan bisa lebih baik daripada Ahok. Atau setidaknya menutup celah-celah kelemahan Ahok sebagai pemimpin DKI selama ini.
Siapa dia? Proses politik akan terus berlangsung. Kekuatan-kekuatan politik masih akan menjajaki berbagai kemungkinan dalam memilih sosok yang didukung. Ataukah memang, ujung-ujungnya, mereka akan beramai-ramai pula kembali mendukung Ahok?
M Alfan Alfian
Jawa Pos, 01/03/2016
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

0 comments: