Tuesday 15 March 2016

Revisi UU Terorisme Berperspektif Korban

Rencana revisi atas Undang- Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus dijadikan sebagai momentum untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dalam upaya pemberantasan terorisme.
Termasuk di antaranya pemenuhan hakhak korban dan optimalisasi peran korban terorisme. Dengan demikian, revisi atas UU ini tak terkesan hanya memperkuat aspek penindakan yang dikhawatirkan mengundang datangnya kembali rezim otoriter. Korban terorisme adalah para pihak tak bersalah yang tidak ada kaitan apa pun dengan tujuan para teroris.

Korban terorisme adalah para pihak yang harus menanggung kegagalan negara dalam melindungi warganya. Namun, pengalaman mereka sebagai korban sangat efektif dan otoritatif untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya aksi kekerasan seperti terorisme. Sungguh tak bisa dipahami bila upaya pemberantasan terorisme tidak dilakukan di atas dasar perspektif korban dengan memenuhi hak-hak dan memberikan peran kepada para korban terorisme.

Selama ini upaya pemberantasan terorisme dapat dikatakan berjalan tanpa ada kesadaran akan perspektif korban; sebuah kesadaran bahwa ada korban yang menderita akibat aksi terorisme. Sebagai contoh, dalam sebuah rapat koordinasi dengan unsur-unsur penegak hukum, penulis pernah mendengar pernyataan yang menyangsikan ada komunitas korban terorisme— alih-alih peran strategis mereka dalam upaya pemberantasan terorisme-.

Padahal, hampir dalam setiap kejadian terorisme, para korban membentuk komunitas ataupun perkumpulan yang bersifat internal. Di Bali ada Isana Dewata, yang menjadi perkumpulan bagi komunitas korban Bom Bali I dan Bom Bali II. Sementara di Jakarta (dulu) ada Forum Kuningan yang menjadi perkumpulan korban Bom Kuningan (yang terjadi di depan Kedutaan Australia).

Begitu juga dengan perkumpulan korban Bom Marriot I dan II. Perspektif korban adalah sebuah kesadaran bahwa seharusnya negara bertanggung jawab secara penuh atas segala kebutuhan medis maupun psikis para korban hingga mereka benar- benar sembuh kembali seperti semula. Walau bagaimanapun akhirnya aksi terorisme merupakan bentuk kegagalan negara dalam menjamin keamanan dan melindungi warganya.

Maka itu, sudah sepantasnya bila negara menanggung segala kebutuhan para korban yang menderita akibat kegagalan negara. Dalam konteks seperti ini negara selama ini nyaris mengabaikan para korban dengan segala deritanya. Bila ada dari penegak hukum yang memproteksi para korban (khususnya pada masa-masa sesaat setelah terjadi aksi terorisme),

hal ini kerap dilakukan bukan karena hadirnya perspektif korban dengan niatan hendak membantu agar terbebas dari sejumlah masalah yang dihadapinya, melainkan justru untuk tujuan penegakan hukum yang dalam situasi darurat seperti ini terasa sangat tidak berperikemanusiaan.

Regulasi bisa dijadikan sebagai contoh lain untuk melihat sejauh mana negara (tidak) berperan dalam pemenuhan hakhak korban. Berdasarkan pengakuan dan keluh kesahnya, selama bertahun-tahun para korban kerap berjuang sendirian. Misalnya saja untuk memenuhi segala kebutuhan medis maupun psikis setelah menjadi korban terorisme.

Kalaupun ada bantuan, justru datangnya dari pihak swasta bahkannegara asing. Sementarabantuan dari negara sering datang terlambat dan hanya terbatas pada kesembuhan secara lahir. Padahal, bagian dari dampak kejam aksi terorisme adalah derita psikis yang berkepanjangan di kalangan para korban.

Hal ini terjadi karena lemahnya regulasi yang mengakui tentang hak-hak korban. Sebagai contoh, baru pada akhir 2014 ada undang-undang yang mengakui hak medis dan psikis bagi para korban terorisme yaitu dengan disahkannya perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU No 31/2014.

Berkat rahmat Allah, Tuhan Yang Esa, dan perjuangan bersama, akhirnya Pasal 6 dalam UU ini secara eksplisit mengakui tentang hak medis, rehabilitasi psikologi dan psikososial bagi para korban terorisme. Itu pun implementasinya masih senantiasa menghadapi masalah sampai hari ini. Sementara UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menurut rencana akan segera direvisi, memang telah memuat tentang hak kompensasi dan restitusi (BAB VI) bagi korban terorisme.

Tapi, implementasi dari UU ini acap menghadapi kendala-kendala teknis seperti UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal yang sama kurang lebih juga terjadi dalam Peraturan Presiden RI No 12/2002 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dalam Pasal 13 (g) disebutkan bahwa salah satu fungsi BNPT adalah melakukan koordinasi pelaksanaan program-program pemulihan terhadap korban aksi terorisme.

Tapi, sebatas pengetahuan penulis, ketentuan ini pun belum diimplementasikan sampai hari ini. Dari semua regulasi yang ada saat ini, belum ada ketentuan yang menegaskan bahwa negara menjamin seluruh kebutuhan para korban pada masamasa kritis atau pada waktu sesaat setelah kejadian aksi terorisme.

Hal ini sangat penting mengingat selama ini tidak sedikit korban yang harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan pelayanan medis lantaran belum ada jaminan dari pemerintah. Karena itu, revisi terhadap UU antiterorisme saat ini sejatinya memuat tentang jaminan negara pada masa-masa kritis ini.

Perspektif korban adalah kesadaran bahwa para korban bisa memiliki peran yang sangat strategis dan otoritatif dalam upaya menyadarkan masyarakat luas akan bahaya dan dampak dari terorisme. Mengingat para korban menjadi salah satu bukti nyata dari sadisme dan kebiadaban aksi kekerasan, termasuk kekerasan yang kerap diatasnamakan agama seperti terorisme.

Seperti dalam pengabaian hak-haknya, negara juga kerap mengabaikan peran korban dalam upaya menghadapi ancaman terorisme. Setidak-tidaknya bila dibanding dengan peran kuat yang diberikan negara kepada pihak lain di luar korban. Mulai dari para pengamat, aparat, penegak hukum, tokoh agama, psikolog, bahkan juga mantan pelaku terorisme.

Hal ini tak berarti bahwa peran dari pihak-pihak seperti di atas tidak penting dalam upaya pemberantasan terorisme. Sebaliknya, peran dari semua pihak sangatlah penting. Namun, bila dilakukan dengan mengabaikan dan tidak memberikan peran yang kuat kepada korban, hal ini bisa menjadi upaya pemberantasan terorisme yang cacat dan sesat pikir.

Adalah benar bahwa selama ini telah ada sebagian korban yang dilibatkan dalam upaya kampanye perdamaian kepada masyarakat luas. Namun, pelibatan ini masih sebatas kepada sosok “itu-itu saja” yang jauh dari pengorganisasian yang memadai— alih-alih lahir dari perspektif korban sebagaimana telah disampaikan di atas.

Para korban tak ubahnya pasukan perdamaian alternatif yang belum dilatih dan dioptimalkan perannya oleh bangsa ini. Sebagai pasukan perdamaian, para korban mempunyai kekuatan dan “jurus unik” masing- masing yang tak bisa diwakili atau dikuasai oleh korban lain, apalagi pihak lain di luar korban. Mereka bisa menjadi narasumber andal yang terbebas dari rumus-rumus klasik tentang orator baik yang tampil memukau dengan bahasa dan logika tertata.

Tentu saja mengingat profesi dan latar belakang sosial korban yang bermacam- macam, mulai dari ibu rumah tangga, kuli bangunan, pegawai, doktor, dan lainnya. Semua korban mempunyai kejujuran pengalaman dan ketangguhan mental yang mampu merobek kuasa “logika dan bahasa tertata”.

Karena itu, tidak ada kata lain bahwa ke depan negara harus hadir untuk memenuhi segala hak korban terorisme. Semua ini telah menjadi kewajiban secara perundang-undangan maupun ketentuan yang berlaku. Selain itu juga karena korban mempunyai potensi yang sangat kuat untuk menyadarkan masyarakat akan ancaman dan bahaya aksi kekerasan. Para korban juga bisa berperan secara strategis bersamasama elemen bangsa yang lain dalam membangun Indonesia yang lebih damai.

HASIBULLAH SATRAWI
Koran Sindo, 16/03/2016
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

0 comments: