Kondisi ekonomi saat ini memang sedang dilanda malaise (lesu). Pelemahan
pertumbuhan ekonomi ke level 4,79% pada 2015, kenaikan tingkat
pengangguran, anjloknya ekspor komoditas seperti crude palm oil (CPO),
minyak mentah, serta nilai tukar yang melemah menambah panjang pekerjaan
rumah pemerintah.
Namun, di tengah tekanan untuk meluncurkan terobosan kebijakan ekonomi sebagai obat penenang, pemerintah justru memberikan obat yang berlebihan. Diterbitkanlah 10 paket kebijakan ekonomi secara bertahap hingga dengan sasaran yang buram. Ekonomi lalu mengalami overdosis kebijakan yaitu kondisi di mana banyak kebijakan mubazir dan tak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan ekonomi.
Pada awalnya paket kebijakan bertujuan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya saja, permasalahan birokrasi. Indonesia terkenal sebagai negara yang paling lambat dalam mengatasi permasalahan birokrasi. Untuk perizinan mendirikan usaha dibutuhkan lebih dari 30 hari kerja. Sementara di Singapura hanya membutuhkan tiga hari kerja dan segala perizinan tidak dikenai biaya tambahan.
Hal ini yang membuat peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia tidak mampu melewati Malaysia, apalagi Singapura. Melihat kondisi lambatnya birokrasi dan aturan yang tumpang- tindih, pemerintah kemudian merilis Paket Kebijakan I dalam bentuk deregulasi dan debirokratisasi.
Setelah beberapa bulan ternyata Paket Kebijakan I hanya lip service belaka. Indeks harga saham juga bergeming karena investor paham bahwa terlalu sulit mengimplementasikan Paket Kebijakan I. Dalam tataran konsep sangat mungkin dilakukan, namun di lapangan justru banyak pihak yang merasa risih jika perizinan usaha menjadi cepat. Calo birokrasi bisa terancam menganggur.
Obat perekonomian berlanjut hingga Paket Kebijakan V yaitu revaluasi aset. Banyak perusahaan yang menolak revaluasi aset, bahkan BUMN sekelas Pertamina pun rupanya enggan mengambil fasilitas pengurangan pajak dari revaluasi aset. Alasannya sederhana, biaya revaluasi aset lebih mahal dibanding insentif pajak.
Aset yang kembung tanpa penerimaan diikuti penerimaan yang besar pun justru memperburuk wajah laporan keuangan perusahaan. Lagi-lagi, paket kebijakan menjadi kian tak menarik. Sampai akhirnya pada Kamis (11/2), untuk meyakinkan dunia usaha dan investor asing dibukalah keran usaha yang selama ini tertutup bagi asing melalui Paket Kebijakan X.
Direvisinya daftar negatif investasi (DNI) lebih dari 35 sektor jelas mengundang tanda tanya besar. Sampai separah inikah perekonomian kita sehingga pemerintah melego sektor-sektor unggulan kepada asing? Jika tujuan dari Paket Kebijakan X adalah untuk menciptakan lapangan kerja, tampaknya yang terjadi justru sebaliknya.
Faktanya, sektor-sektor yang dibuka untuk asing adalah sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja. Misalnya pariwisata, e-commerce, perfilman, dan praktik akupunktur. Efek paket kebijakan terhadap serapan tenaga kerja di sektor tersebut sangat minim. Salah satu contoh kasus terjadi di Sleman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pariwisata dengan investasi Rp1,4 triliun hanya mampu menyerap kurang dari 2.592 orang. Sedangkan sektor perindustrian dengan investasi Rp510 miliar mampu menyerap 6.970 orang. Artinya, besaran nilai investasi tak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja.
Karena itu, jika niat pemerintah adalah menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, sektor yang harus digarap adalah sektor perindustrian. Lalu, apa sebenarnya agenda revisi DNI? Dari melesetnya target yang ingin dicapai, arah dari paket kebijakan saat ini terutama DNI adalah liberalisasi ekonomi. Tampaknya pemerintah lebih fokus pada agenda pasar terbuka.
Kemudian Indonesia terjebak menjadi arena pasar bebas dunia. Hal itu tidak hanya mengancam kepemilikan usaha di daerah, namun liberalisasi melalui revisi DNI akan berakibat pada ancaman kenaikan jumlah tenaga kerja asing. Hal ini logis karena perusahaan asing yang masuk ke sektor-sektor eks- DNI dapat dengan bebas membawa tenaga kerja asing ke Indonesia.
Contoh kerugian lain akibat liberalisasi DNI terjadi pada perekonomian di daerah pariwisata. Hotel, restoran, tempat hiburan menjadi bancakan investor asing. Sejauh ini sebelum ada revisi DNI, sektor pariwisata bahkan yang berada di pelosok daerah telah didominasi oleh asing. Tidak heran apabila ketimpangan di daerah pariwisata yang kaya akan potensi keindahan alam cenderung meningkat.
Indeks gini nasional dalam posisi yang membahayakan yaitu 0,43. Melihat contoh di Tiongkok, sektor usaha yang masuk ke dalam DNI tidak direvisi, tapi diberikan tempat khusus. Bagi perusahaan asing yang dilarang beroperasi menurut DNI bisa masuk ke dalam kawasan free trade zone (FTZ) di Shenzhen.
Sedangkan di luar wilayah Shenzhen, aturan DNI sangat ketat. Hasilnya, investasi asing tetap mengalir masuk tanpa kekhawatiran ada banjir tenaga kerja asing. Jadi, dibandingkan mengeluarkan paket kebijakan yang terlalu muluk dan cenderung melepas pasar kepada asing, ada permasalahan yang lebih mendasar.
Pemerintah rupanya gagal paham bahwa fenomena hengkangnya Toshiba, Ford, dan perusahaan lain dari Indonesia bukan karena lesunya permintaan akan produk elektronik dan automotif an sich. Terdapat faktor klasik yang terus menjadi persoalan dunia usaha yaitu biaya ekonomi tinggi (high cost economy).
Investor sebenarnya lebih tertarik pada kebijakan riil untuk memotong biaya logistik seperti pengurangan masa tunggu di pelabuhan (dwelling time) sebagai obat cepat pemulihan kondisi ekonomi. Selain itu, pengefektifan pelayanan terpadu satu pintu di daerah-daerah juga lebih menggiurkan di mata investor.
Karena itu, jika paket kebijakan dibiarkan liar seperti saat ini, tidak heran apabila yang terjadi adalah kondisi overdosis. Efek samping yang dirasakan adalah pelemahan struktur perekonomian secara perlahan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak diberi kesempatan untuk bersaing. Selain itu, sektor manufaktur yang dimiliki pengusaha lokal juga semakin termarginalkan.
Akhirnya semua akan dijual murah pada perusahaan asing untuk diakuisisi. Ini kondisi yang sangat memprihatinkan dan pemerintah kehilangan arah untuk menstabilkan perekonomian. Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akhirnya hanya menjadi sebuah reaksi dan bukan arahan kepada pasar.
Namun, di tengah tekanan untuk meluncurkan terobosan kebijakan ekonomi sebagai obat penenang, pemerintah justru memberikan obat yang berlebihan. Diterbitkanlah 10 paket kebijakan ekonomi secara bertahap hingga dengan sasaran yang buram. Ekonomi lalu mengalami overdosis kebijakan yaitu kondisi di mana banyak kebijakan mubazir dan tak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan ekonomi.
Pada awalnya paket kebijakan bertujuan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya saja, permasalahan birokrasi. Indonesia terkenal sebagai negara yang paling lambat dalam mengatasi permasalahan birokrasi. Untuk perizinan mendirikan usaha dibutuhkan lebih dari 30 hari kerja. Sementara di Singapura hanya membutuhkan tiga hari kerja dan segala perizinan tidak dikenai biaya tambahan.
Hal ini yang membuat peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia tidak mampu melewati Malaysia, apalagi Singapura. Melihat kondisi lambatnya birokrasi dan aturan yang tumpang- tindih, pemerintah kemudian merilis Paket Kebijakan I dalam bentuk deregulasi dan debirokratisasi.
Setelah beberapa bulan ternyata Paket Kebijakan I hanya lip service belaka. Indeks harga saham juga bergeming karena investor paham bahwa terlalu sulit mengimplementasikan Paket Kebijakan I. Dalam tataran konsep sangat mungkin dilakukan, namun di lapangan justru banyak pihak yang merasa risih jika perizinan usaha menjadi cepat. Calo birokrasi bisa terancam menganggur.
Obat perekonomian berlanjut hingga Paket Kebijakan V yaitu revaluasi aset. Banyak perusahaan yang menolak revaluasi aset, bahkan BUMN sekelas Pertamina pun rupanya enggan mengambil fasilitas pengurangan pajak dari revaluasi aset. Alasannya sederhana, biaya revaluasi aset lebih mahal dibanding insentif pajak.
Aset yang kembung tanpa penerimaan diikuti penerimaan yang besar pun justru memperburuk wajah laporan keuangan perusahaan. Lagi-lagi, paket kebijakan menjadi kian tak menarik. Sampai akhirnya pada Kamis (11/2), untuk meyakinkan dunia usaha dan investor asing dibukalah keran usaha yang selama ini tertutup bagi asing melalui Paket Kebijakan X.
Direvisinya daftar negatif investasi (DNI) lebih dari 35 sektor jelas mengundang tanda tanya besar. Sampai separah inikah perekonomian kita sehingga pemerintah melego sektor-sektor unggulan kepada asing? Jika tujuan dari Paket Kebijakan X adalah untuk menciptakan lapangan kerja, tampaknya yang terjadi justru sebaliknya.
Faktanya, sektor-sektor yang dibuka untuk asing adalah sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja. Misalnya pariwisata, e-commerce, perfilman, dan praktik akupunktur. Efek paket kebijakan terhadap serapan tenaga kerja di sektor tersebut sangat minim. Salah satu contoh kasus terjadi di Sleman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pariwisata dengan investasi Rp1,4 triliun hanya mampu menyerap kurang dari 2.592 orang. Sedangkan sektor perindustrian dengan investasi Rp510 miliar mampu menyerap 6.970 orang. Artinya, besaran nilai investasi tak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja.
Karena itu, jika niat pemerintah adalah menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, sektor yang harus digarap adalah sektor perindustrian. Lalu, apa sebenarnya agenda revisi DNI? Dari melesetnya target yang ingin dicapai, arah dari paket kebijakan saat ini terutama DNI adalah liberalisasi ekonomi. Tampaknya pemerintah lebih fokus pada agenda pasar terbuka.
Kemudian Indonesia terjebak menjadi arena pasar bebas dunia. Hal itu tidak hanya mengancam kepemilikan usaha di daerah, namun liberalisasi melalui revisi DNI akan berakibat pada ancaman kenaikan jumlah tenaga kerja asing. Hal ini logis karena perusahaan asing yang masuk ke sektor-sektor eks- DNI dapat dengan bebas membawa tenaga kerja asing ke Indonesia.
Contoh kerugian lain akibat liberalisasi DNI terjadi pada perekonomian di daerah pariwisata. Hotel, restoran, tempat hiburan menjadi bancakan investor asing. Sejauh ini sebelum ada revisi DNI, sektor pariwisata bahkan yang berada di pelosok daerah telah didominasi oleh asing. Tidak heran apabila ketimpangan di daerah pariwisata yang kaya akan potensi keindahan alam cenderung meningkat.
Indeks gini nasional dalam posisi yang membahayakan yaitu 0,43. Melihat contoh di Tiongkok, sektor usaha yang masuk ke dalam DNI tidak direvisi, tapi diberikan tempat khusus. Bagi perusahaan asing yang dilarang beroperasi menurut DNI bisa masuk ke dalam kawasan free trade zone (FTZ) di Shenzhen.
Sedangkan di luar wilayah Shenzhen, aturan DNI sangat ketat. Hasilnya, investasi asing tetap mengalir masuk tanpa kekhawatiran ada banjir tenaga kerja asing. Jadi, dibandingkan mengeluarkan paket kebijakan yang terlalu muluk dan cenderung melepas pasar kepada asing, ada permasalahan yang lebih mendasar.
Pemerintah rupanya gagal paham bahwa fenomena hengkangnya Toshiba, Ford, dan perusahaan lain dari Indonesia bukan karena lesunya permintaan akan produk elektronik dan automotif an sich. Terdapat faktor klasik yang terus menjadi persoalan dunia usaha yaitu biaya ekonomi tinggi (high cost economy).
Investor sebenarnya lebih tertarik pada kebijakan riil untuk memotong biaya logistik seperti pengurangan masa tunggu di pelabuhan (dwelling time) sebagai obat cepat pemulihan kondisi ekonomi. Selain itu, pengefektifan pelayanan terpadu satu pintu di daerah-daerah juga lebih menggiurkan di mata investor.
Karena itu, jika paket kebijakan dibiarkan liar seperti saat ini, tidak heran apabila yang terjadi adalah kondisi overdosis. Efek samping yang dirasakan adalah pelemahan struktur perekonomian secara perlahan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak diberi kesempatan untuk bersaing. Selain itu, sektor manufaktur yang dimiliki pengusaha lokal juga semakin termarginalkan.
Akhirnya semua akan dijual murah pada perusahaan asing untuk diakuisisi. Ini kondisi yang sangat memprihatinkan dan pemerintah kehilangan arah untuk menstabilkan perekonomian. Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akhirnya hanya menjadi sebuah reaksi dan bukan arahan kepada pasar.
BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA
Koran Sindo, 23/02/2016
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
0 comments:
Post a Comment