Friday 26 February 2016

Memanusiakan Pengidap LGBT

KEGADUHAN sosial akibat evakuasi eks Gafatar dari Mempawah Kalimantan Barat ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta belum tuntas, masyarakat dikejutkan “kampanye” tentang LGBT (Lesbian, Gay, biseks, dan Transgender). Media massa baik cetak maupun elektronik, memberitakan demikian gencar.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun banyak menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam dari masyarakat, seakan tidak muncul lagi sikap kritisnya terhadap tayangan, yang semestinya tidak layak disiarkan, sesuai dengan UU Penyiaran, Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS).

Selain menyalahi nilai dan ajaran agama, juga tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia. Lebih dari itu, para pengidap LGBT ini, menyalahi nilai kepatutan dalam masyarakat, dan tabiat diciptakannya manusia. Bahkan ada stasiun TV Swasta yang versi media sosial, “mendadak jadi ustadz” yang mengampanyekan LGBTadalah bagian dari sunnatullah yang harus diterima.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak tahun 2014 dengan tegas memfatwakan bahwa perilaku LGBT adalah haram, melalui Fatwa Nomor 57 Tahun 2014. Rabu (17/2) MUI juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kampanye LGBT.

Tentu, MUI memiliki dasar hukum yang kuat, baik dasar agama maupun peraturan perundang-undangan, seperti UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Islam menjelaskan bahwa tabiat penciptaan (khilqah) manusia terdiri atas lakilaki dan perempuan, seperti QS Al-Nisa :1 dan Al-Hujurat:13, untuk berpasangan dan berketurunan.

Islam menempatkan bahwa berketurunan adalah kebutuhan esensial (dlarury), di samping kebutuhan agama, jiwa, akal, dan harta. Apabila lima kebutuhan esensial (al-dlaruriyat al-khams) tersebut tidak terpenuhi, maka hakikat kemanusiaannya dapat dipastikan tidak sempurna.

LGBTmerupakan fenomena kelainan atau penyimpangan kecenderungan seksual yang secara agama dan akal, adalah bertentangan dengan fitrah diciptakannya manusia. Meskipun mereka yang menjalani atau orang yang mendukungnya, menganggap bahwa LGBTadalah hukum alam dan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Agak susah membayangkan, seandainya manusia mengidap LGBT semua.

Pernikahan tidak ada lagi. Implikasinya manusia tidak lagi mempunyai keturunan, dan lama-lama puso alias musnah begitu saja. Karena itu, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Dr dr Fidiansyah, SpKJ (16/2/2016) LGBT adalah bentuk gangguan jiwa, dan bisa disembuhkan. Ada upaya yang cukup sistematis oleh para pendukung LGBT, agar keberadaan mereka ini, dapat diterima oleh masyarakat dan dilindungi oleh peraturan perundangundangan.

Meskipun sebenarnya undangundang sudah sangat jelas. Namun demikian, jika tidak dikawal secara sungguhsungguh oleh masyarakat, para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan berbagai organisasi kemsyarakatan keagamaan, boleh jadi para wakil rakyat, akan dapat dipengaruhi dan akibatnya akan membuat undang-undang untuk melindungi mereka secara hukum.

Manusiakan LGBT

Betapapun, kalau kita telusuri dan coba pahami keberadaan mereka yang mengidap LGBT adalah manusia dan saudara kita juga. Boleh jadi mereka berkembang menjadi penderita LGBT karena berbagai faktor. Pertama, karena perlakuan orang tua yang kurang menghendaki kehadiran bayi kecil tak berdosa, karena jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, orang tua menghendaki bayi perempuan, tetapi ternyata lahir laki-laki. Akhirnya, anak tersebut “dipaksa” mengenakan busana perempuan.

Kedua, pergaulan dan sosialisasinya kurang tepat. Secara psiko-sosiologis, kebiasaan dan perilaku LGBT akan dapat dengan bertahap merasuki sikap dan perilakunya. Karena itu, agar gejala kejiwaan yang menyimpang saudara-saudara kita yang mengidap LGBT dapat disembuhkan, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, diajak komunikasi secara baikbaik dan diperlakukan secara wajar. Tidak perlu dijauhi dan dibenci. Apalagi dicaci dan dimaki.

Kita perlu nguwongke kepada mereka secara wajar. Kedua, merefer pendapat Dr dr Fidiansyah SpKJ, LGBT adalah kelainan jiwa yang bisa disembuhkan, karena itu perlu ada upaya serius baik melalui keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun tentu saja dokter atau konselor yang memahami secara ilmiah, untuk mengobatinya dan berusaha menyembuhkannya.

Ketiga, melakukan pencerahan dan penyadaran dari hati ke hati, agar secara perlahan, tumbuh kesadaran bahwa apa yang dialaminya, adalah bentuk pelanggaran dari penciptaan Allah. Harapannya mereka mau berubah dan mengubah diri mereka menjadi kembali normal. Karena Allah tidak akan mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum, hingga mereka mau berusaha untuk mengubah apa yang ada pada diri mereka (QS Al-Ra’d: 11).

Keempat, hentikan kampanye LGBT, dan kelima, perlu kerja sama secara sinergis dan terpadu antartokoh masyarakat dan tokoh agama, untuk memperlakukan mereka dan memberikan pencerahan, agar secara bertahap mau kembali kepada awal penciptaan dirinya.
Rasulullah Saw menegaskan setiap penyakit ada obatnya, tidak terkecuali para pengidap LGBT. Semoga saudara-saudaraku sehat afiat, dan yakinlah, kesempatan untuk kembali hidup secara normal, pasti Allah akan mengikuti program dan rencana Anda semua.Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Prof Dr H Ahmad Rofiq MA
Suara Merdeka, 27/02/2016
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah

2 comments:

Baktiar Sinaga said...

Penulis yang kayak begini nih yang gua suka
Sukses ya bro semoga makin banyak penulis yang berpikir seperti ĺu bro

http://tumorangriduan.blogspot.com/ said...

HHH