“Bahkan yang mendesak diperlukan adalah kebijakan larangan penggunaan
plastik kimiawi oleh semua kalangan dan bukan sekadar kebijakan plastik
berbayar.”
UPAYA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggalakkan program pemakaian kantong plastik berbayar dalam jangka pendek patut didukung. Namun dalam jangka panjang, justru tidak akan menyelesaikan masalah ‘’sampah plastik’’ di Indonesia. Hal ini lantaran kebijakan tersebut justru mendorong masyarakat terus membeli plastik sekaligus menambah beban baru masyarakat untuk membelinya.
Kebijakan/program plastik
berbayar banyak dinilai sebagai terlambat karena Indonesia kini telah
menjadi negeri produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah
Tiongkok. Dengan cara ini, diharapkan sampah kantong plastik akan turun
sampai 30 persen. Dengan jumlah penduduk seperlima dari Tiongkok dan
sampah plastik sebanyak 187,2 juta ton, rasio sampah plastik tiap orang
Indonesia per tahun 0,75 ton.
Jika tidak ditanggulangi, sampah sebesar
itu pada 2020 bisa dipakai untuk menutupi Kota Bandung dan Jakarta.
Bukan hanya di darat, jumlah sampah plastik di perairan Indonesia pun
menempati urutan tertinggi di dunia.
Memang, laut Indonesia luas. Tapi
tentu tidak bisa menjadi justifikasi bahwa bangsa ini boleh mengotorinya
dengan sampah. Timbunan sampah akan merusak biota di sana. Dan, sampah
plastik itu memerlukan waktu 50-100 tahun untuk bisa terurai. Karena
itu, Kementerian Lingkungan Hidup kini menguji coba program plastik
berbayar, seraya mengampanyekan pemakaian plastik berbahan tapioka yang
bisa cepat terurai di alam. Kementerian Lingkungan, Kementerian
Perdagangan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia masih menggodok
harga yang pas jika plastik tersebut dijual.
Sejauh ini harganya
diperkirakan Rp 500 per lembar. Sekitar 20 daerah dan 12 pengusaha ritel
besar menyatakan komitmennya menjalankan aturan kantong berbayar itu.
Padahal diketahui, hasil riset YLKI (2016) menyebutkan bahwa persoalan
paling serius dan sulit diatasi adalah mengubah perilaku masyarakat
Indonesia untuk hidup sehat, hidup bersih dan terbebas dari sampah
plastik. Kebutuhan plastik bagi masyarakat Indonesia telah menguasai 65%
media belanja dan keperluan keseharian.
Tidak hanya urusan kantong
plastis saat berbelanja baik di pasar modern maupun pasar tradisional,
penggunaan plastik juga telah merambah hampir semua kebutuhan mulai dari
bungkus plastik yang melekat dalam barang belanjaan, hingga plastik
sebagai media lainnya. Sanksi Tegas Di negara maju seperti Jepang, yang
sudah menyadari bahwa plastik adalah perusak lingkungan dan dapat
mengancam keselamatan alam dan manusia, pemerintahnya mengenakan harga
tinggi dan mengatur distribusi plastik yang dipakai masyarakat.
Di
Hiroshima, Jepang, misalnya, pemerintah setempat memaksa penduduk
memilah sembilan jenis sampah dengan bungkus plastik berbeda-beda.
Sampah harus dipilah dengan rapi sejak dari setiap rumah tangga sebelum
diangkut truk. Jika melanggar, sampah tak diangkut dan pemiliknya
dikenai denda. Cara ini bisa membuat efek jera. Pengalaman ini pernah
penulis alami ketika belajar di Jepang. Ketika itu, penulis karena
kebiasaan di Indonesia membeli sebotol minuman teh (ocha) dan setelah
minuman dalam botol habis, penulis membuangnya di pinggir jalan. Tak
disangka selang sehari penulis dipanggil pihak kampus karena dinilai
melanggar aturan.
Hal ini diketahui dari rekaman CCTV yang terlihat
penulis membuang sampah sembarangan dan akhirnya didenda senilai Rp 4
juta rupiah. Pengalaman pahit itu membuat penulis kapok dan menjadi
pelajaran berharga bahwa upaya pemerintah Jepang mengendalikan perilaku
warganya sungguh menyebabkan setiap kebijakan dipatuhi dan sukses
dijalankan negara. Di samping itu, di Jepang, pajak menjadi instrumen
untuk memaksa masyarakat turut dalam kebijakan pemerintah. Uang pajak
itu antara lain dipakai mendirikan pabrik-pabrik daur ulang yang
memanfaatkan sampah kembali menjadi barang-barang berguna.
Di
supermarket, pembungkus barang berupa kertas, yang tak merusak
lingkungan. Jepang merupakan contoh negara yang mengelola sampah dari
produksi, pemakaian, hingga pemanfaatannya kembali agar tak merusak
lingkungan. Bahkan dengan kebijakan demikian, plastik di Jepang juga
telah mendorong para peneliti dari berbagai kampus dan kalangan industri
melakukan rekayasa teknologi hingga tak hanya sukses menciptakan
bioplastik (green plastic) tetapi juga melahirkan teknologi baru
bagaimana mengolah sampah plastik menjadi produk yang menguntungkan
secara bisnis-investasi. Indonesia sebenarnya banyak mempunyai potensi
seperti itu.
Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia sudah mengembangkan dan membuat plastik berbahan tapioka yang
mudah terurai jika menjadi sampah. Hanya saja, inovasi ini tak didukung
teknologi dan tragisnya pemerintah bersama kalangan industri seolah
apriori. Indikasinya tidak ada upaya serius menerapkan dan
mengembangkannya supaya bisa menjadi produk massal yang dapat digunakan
dan memaksa publik memakainya. Bahkan yang mendesak diperlukan adalah
kebijakan larangan penggunaan plastik kimiawi oleh semua kalangan dan
bukan sekadar kebijakan plastik berbayar.
Jika hanya kebijakan demikian,
orang Indonesia cenderung berperilaku ‘’gue dapat bayarnya’’ dan
biasanya mereka akan cenderung menggunakan plastik di mana pun. Untuk
itulah kebijakan plastik berbayar diharapkan hanya berlaku sementara
sebagai langkah uji coba, tetapi dalam jangka panjang justru harus lebih
tegas dengan kebijakan antiplastik kimiawi. Kita tidak ingin daratan
dan laut Indonesia rusak karena sampah plastik.
Tasroh SS MPA MSc
Suara Merdeka, 24/02/2016
PNS di Pemkab Banyumas dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
0 comments:
Post a Comment