Wednesday 24 February 2016

Kebijakan Plastik Berbayar

“Bahkan yang mendesak diperlukan adalah kebijakan larangan penggunaan plastik kimiawi oleh semua kalangan dan bukan sekadar kebijakan plastik berbayar.”

UPAYA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggalakkan program pemakaian kantong plastik berbayar dalam jangka pendek patut didukung. Namun dalam jangka panjang, justru tidak akan menyelesaikan masalah ‘’sampah plastik’’ di Indonesia. Hal ini lantaran kebijakan tersebut justru mendorong masyarakat terus membeli plastik sekaligus menambah beban baru masyarakat untuk membelinya. 

Kebijakan/program plastik berbayar banyak dinilai sebagai terlambat karena Indonesia kini telah menjadi negeri produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Dengan cara ini, diharapkan sampah kantong plastik akan turun sampai 30 persen. Dengan jumlah penduduk seperlima dari Tiongkok dan sampah plastik sebanyak 187,2 juta ton, rasio sampah plastik tiap orang Indonesia per tahun 0,75 ton. 
Jika tidak ditanggulangi, sampah sebesar itu pada 2020 bisa dipakai untuk menutupi Kota Bandung dan Jakarta. Bukan hanya di darat, jumlah sampah plastik di perairan Indonesia pun menempati urutan tertinggi di dunia.

Memang, laut Indonesia luas. Tapi tentu tidak bisa menjadi justifikasi bahwa bangsa ini boleh mengotorinya dengan sampah. Timbunan sampah akan merusak biota di sana. Dan, sampah plastik itu memerlukan waktu 50-100 tahun untuk bisa terurai. Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup kini menguji coba program plastik berbayar, seraya mengampanyekan pemakaian plastik berbahan tapioka yang bisa cepat terurai di alam. Kementerian Lingkungan, Kementerian Perdagangan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia masih menggodok harga yang pas jika plastik tersebut dijual.

Sejauh ini harganya diperkirakan Rp 500 per lembar. Sekitar 20 daerah dan 12 pengusaha ritel besar menyatakan komitmennya menjalankan aturan kantong berbayar itu. Padahal diketahui, hasil riset YLKI (2016) menyebutkan bahwa persoalan paling serius dan sulit diatasi adalah mengubah perilaku masyarakat Indonesia untuk hidup sehat, hidup bersih dan terbebas dari sampah plastik. Kebutuhan plastik bagi masyarakat Indonesia telah menguasai 65% media belanja dan keperluan keseharian.

Tidak hanya urusan kantong plastis saat berbelanja baik di pasar modern maupun pasar tradisional, penggunaan plastik juga telah merambah hampir semua kebutuhan mulai dari bungkus plastik yang melekat dalam barang belanjaan, hingga plastik sebagai media lainnya. Sanksi Tegas Di negara maju seperti Jepang, yang sudah menyadari bahwa plastik adalah perusak lingkungan dan dapat mengancam keselamatan alam dan manusia, pemerintahnya mengenakan harga tinggi dan mengatur distribusi plastik yang dipakai masyarakat.

Di Hiroshima, Jepang, misalnya, pemerintah setempat memaksa penduduk memilah sembilan jenis sampah dengan bungkus plastik berbeda-beda. Sampah harus dipilah dengan rapi sejak dari setiap rumah tangga sebelum diangkut truk. Jika melanggar, sampah tak diangkut dan pemiliknya dikenai denda. Cara ini bisa membuat efek jera. Pengalaman ini pernah penulis alami ketika belajar di Jepang. Ketika itu, penulis karena kebiasaan di Indonesia membeli sebotol minuman teh (ocha) dan setelah minuman dalam botol habis, penulis membuangnya di pinggir jalan. Tak disangka selang sehari penulis dipanggil pihak kampus karena dinilai melanggar aturan.

Hal ini diketahui dari rekaman CCTV yang terlihat penulis membuang sampah sembarangan dan akhirnya didenda senilai Rp 4 juta rupiah. Pengalaman pahit itu membuat penulis kapok dan menjadi pelajaran berharga bahwa upaya pemerintah Jepang mengendalikan perilaku warganya sungguh menyebabkan setiap kebijakan dipatuhi dan sukses dijalankan negara. Di samping itu, di Jepang, pajak menjadi instrumen untuk memaksa masyarakat turut dalam kebijakan pemerintah. Uang pajak itu antara lain dipakai mendirikan pabrik-pabrik daur ulang yang memanfaatkan sampah kembali menjadi barang-barang berguna.

Di supermarket, pembungkus barang berupa kertas, yang tak merusak lingkungan. Jepang merupakan contoh negara yang mengelola sampah dari produksi, pemakaian, hingga pemanfaatannya kembali agar tak merusak lingkungan. Bahkan dengan kebijakan demikian, plastik di Jepang juga telah mendorong para peneliti dari berbagai kampus dan kalangan industri melakukan rekayasa teknologi hingga tak hanya sukses menciptakan bioplastik (green plastic) tetapi juga melahirkan teknologi baru bagaimana mengolah sampah plastik menjadi produk yang menguntungkan secara bisnis-investasi. Indonesia sebenarnya banyak mempunyai potensi seperti itu.

Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah mengembangkan dan membuat plastik berbahan tapioka yang mudah terurai jika menjadi sampah. Hanya saja, inovasi ini tak didukung teknologi dan tragisnya pemerintah bersama kalangan industri seolah apriori. Indikasinya tidak ada upaya serius menerapkan dan mengembangkannya supaya bisa menjadi produk massal yang dapat digunakan dan memaksa publik memakainya. Bahkan yang mendesak diperlukan adalah kebijakan larangan penggunaan plastik kimiawi oleh semua kalangan dan bukan sekadar kebijakan plastik berbayar.

Jika hanya kebijakan demikian, orang Indonesia cenderung berperilaku ‘’gue dapat bayarnya’’ dan biasanya mereka akan cenderung menggunakan plastik di mana pun. Untuk itulah kebijakan plastik berbayar diharapkan hanya berlaku sementara sebagai langkah uji coba, tetapi dalam jangka panjang justru harus lebih tegas dengan kebijakan antiplastik kimiawi. Kita tidak ingin daratan dan laut Indonesia rusak karena sampah plastik.
Tasroh SS MPA MSc
Suara Merdeka, 24/02/2016
PNS di Pemkab Banyumas dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

0 comments: