(Riduan Situmorang)--Sebagai penduduk di Kota Medan, tak ada keistimewaan
bagi saya ketika 30/01/2016 kemarin ormas kepemudaan—IPK dan PP—saling
membantai. Bukan karena perkelahian ini tak sadis, melainkan karena hal serupa
sudah acap dipertunjukkan hampir di seluruh Ibu Pertiwi. Kalau diberitakan
Medan kala itu mencekam, itu semata ulasan syahwat jurnalisme yang ingin
membuat beritanya heboh. Memang, ada ketakutan di antara kami atau mungkin kita,
tetapi itu hanya sementara. Sebab, ketakutan yang lebih besar sudah sering
berkelindan.
Boleh dibilang, sesehari kita, saya dan Anda, melulu
merasa terancam. Ada pungli di mana-mana. Jangan kira itu hanya dilakukan oleh
orang-orang tak terdidik, justru seringkali, orang yang berpendidikan yang
melakukan pungli. Para preman jalanan memang memalak kita dengan dalih minta
uang keamanan. Tetapi, kalau dicermati, adanya dalih memalak dengan dalih
keamanan ini sebenarnya sedang menarasikan bahwa negeri ini memang tak aman.
Dengan kata lain, para pemalak ini mau bilang,
jangan percayakan keamananmu pada negara. Negara sudah usang. Keamanan itu ada
pada kami. Negara tak mampu memberi keamanan, apalagi kenyamanan, kecuali kalau
kau sudah membelinya dari kami! Kami adalah distributor dan toko penjual kemanan
yang diutus oleh negara. Inilah zaman tribalisme.
Serba Fulus
Sekilas, penilaian seperti itu berlebihan dan
barangkali terlalu pesimis, tetapi, begitulah kenyataan yang sesungguhnya. Jangankan
memberi keamanan, negara justru sering membuat teror. Wujudnya bisa berupa
susahnya mendapatkan izin, susahnya mendapatkan makan, dan masih banyak lagi. Rakyat
ketakutan. Karena itu, rakyat banyak memakai body guard. Kalau tak mampu membayar body guard, setidaknya mereka membayar uang keamanan yang selalu
ditagih per bulannya oleh para preman.
Mengharapkan negara dalam menghadapi ini tentu bukan
pilihan elok. Negara hanya akan bersedia setelah kita memberi fulus. Bahasanya saja yang tak vulgar.
Jika bahasa preman disebut uang keamanan, bahasa negara disebut biaya
administratif. Dengan kata lain, negara tetap saja memalak warganya. Bahkan
lebih besar. Silakan urus data-data administratif! Di sana calo bergelimang.
Mau gampang, pilih calo mahal. Mau lebih gampang lagi, cari beking. Di meja itu, negara bertransaksi
secara halus. Berkas tidak akan diselesaikan, kecuali fulus sudah mengalir. Bukankah ini pungli?
Ya, premanisme ada di mana-mana. Di sekolah, kita
akan dipertemukan dengan gangster-gangster
kecil. Otot menjadi patokan. Siapa kuat, dia menang. Urusan kehormatan
beralih dari seberapa tebal kantong, seberapa perkasa otot. Otak urusan
belakangan. Maka itu, tawuran seringkali terjadi bukan karena kekurangan uang,
tetapi karena saling mengadu seberapa banyak uang. Banyak uang akan dapat
membeli banyak teman. Kualitasnya dinilai dari seberapa banyak kerumunan,
seberapa banyak kebisingan. Atau supaya lebih gengsi, tawuran sengaja disajikan
dalam bentuk balapan. Namanya gemot.
Guru tak bisa marah, apalagi menghukum. Jika
menghukum, pasal hak asasi akan melenggang. Guru dipaksa menutup mata atas itu
semua. Guru dipaksa berbohong pada hati nuraninya. Guru tak lagi harus
dihormati. Bahkan, pada berbagai kasus, kita akan menemukan guru sebagai orang
lemah. Atau, sengaja dilemahkan. Berikan uang, maka nilai akan kemilau.
Wujudnya bisa berupa cuci rapor.
Guru benar-benar tak lagi punya otoritas, termasuk
dalam menentukan nilai. Otoritas itu telah dikuasai para pemilik modal. Banyak
saja sebabnya. Kepala sekolah, misalnya, akan marah jika nilai siswanya rendah.
Kepala sekolah terpaksa marah karena sudah dimarahi dinas. Dinas marah karena
takut dihukum menteri. Dari pusat memang diumumkan agar penilaian seobjektif
mungkin. Tetapi, ini hanya permainan cantik dari para preman yang tak vulgar.
Dengan gesit, secara terpaksa guru didoktrin:
memberi nilai yang baik pada siswa tak ada ruginya. Siswa akan senang mengingat
kita sebagai pemurah, padahal menjadi murahan. Sebaliknya, memberi nilai jelek,
kita akan rugi tumpang tindih. Dikecam rekan sejawat sebagai orang yang sok
idealis, dimarahi atasan, bahkan diancam mati-matian oleh orang tua. Kalau
sudah begini, jangan bermimpi cepat naik jabatan. Yang ada, justru ditindas
atau disingkirkan secara halus melalui diktum mutasi.
Di ranah agama, premanisme juga ditentukan kerumunan
dan kebisingan. Semakin banyak kerumuman, semakin gampang menyudutkan. Siapa
yang paling bising, maka dialah yang paling benar. Maka itu, dengan mudah saja
mengatakan yang lain sebagai yang kafir. Asas kebebasan beragama,
berkepercayaan, atau berpenghayat yang dijamin konstitusi lagi-lagi hanya
bagian dari permainan cantik. Kalau bukan, bagaimana mungkin hanya karena asas
kesesatan kita membakar perkampungan Gafatar? Pada saat yang bersamaan, ada
ormas lain yang lebih banal. Tetapi, karena ormas ini cukup bising, padahal,
jauh lebih keji daripada Gafatar, kita hanya diam. Bukankah ini premanisme?
Di birokrat jangan tanya lagi. Sudah acap kita
dengar bahwa hak rakyat dilucuti satu per satu dari pusat. Jika dari pusat
mengalir deras, sampai di masyarakat hanya tetesan. Rakyat berebut tetesan itu.
Di sini, premanisme juga berlaku. Siapa yang paling kuat, dia yang dapat
menampungnya. Rakyat lemah tersingkirkan. Simak saja ketimpangan ekonomi kita.
Orang kaya melahap habis total kekayaan negeri ini.
Formalitas
Maka itu, tak usah lagi terheran-heran jika kemarin
ada Ketua DPR sudah nyata-nyata salah dihukum tak bersalah, jika ada pejabat melakukan
kesewenang-wenangan, jika ada polisi dengan mudah menilai berhenti dan parkit
itu sama. Aroma premanisme begitu kentara di sana. Orang lemah hanya bisa
pasrah. Lari ketakutan dan kucar-kacir tak menjadi pilihan karena ini hanya
menunggu giliran.
Maka itu, brutalisme di Medan baru-baru ini dapat
divideokan dengan bebas. Rakyat bukan tidak takut, tetapi untuk apa takut jika
keseharian sudah melulu dililit ketakutan? Lagipula, ketakutan ini hanya
sementara, atau semata digerakkan insting untuk menghindarkan diri dari celaka.
Manusia diperlakukan dan berlaku tak ubahnya binatang. Orang tergeletak dan
sudah lemah dibogem begitu saja dengan balok. Tanpa merasa berdosa, justru
merasa pahlawan.
Di mana negara? Mengapa orang yang membogem ini tak
diburu padahal, wajahnya jelas-jelas terlihat? Oh, ternyata negara secepat-cepatnya sadar bahwa hal serupa yang
bahkan lebih kejam sudah pernah dilakukan. Maka itu, tak usah menangkapnya,
kecuali untuk urusan formalitas. Formalitas di sini lagi-lagi hanya permainan
cantik. Jika negara dikabarkan akan membubarkan OKP yang membuat onar, tak usah
menyiksa diri dengan percaya.
Ini hanya bagian dari permainan cantik. Preman yang
sesungguhnya bukan OKP, bukan begal, bukan ranmor, melainkan negara yang diam
dan mendiamkan, bahkan ikut mengutip. Inilah dunia para preman. Menakutkan?
Bisa jadi, tetapi, biarlah, kita akan terbiasa dengan ketakutan ini. Hingga suatu
saat nanti, kita barangkali tak dapat lagi memilah mana ketakutan, mana
keberanian!
Konsultan
Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt
0 comments:
Post a Comment