Thursday 5 March 2015

Menuju Indonesia Hebat

Menuju Indonesia Hebat
SEBENTAR lagi, kita akan kembali diperhadapkan pada pemilu, tepatnya pilpres pada 9 Juli 2014. Diharapkan memang, pemilu apalagi pilpres ini bukan sekadar memenuhi syarat demokrasi yang mengharuskan pola pemerintahan terpola secara periodik. Akan tetapi, idealnya, pemilu atau pun pilpres ini harusnya menjadi sarana untuk menyaring peserta sayembara pemimpin secara terbuka, tetapi rahasia. Pemilu ini juga harusnya menjadi momen yang tepat untuk memilih pemimpin yang prorakyat, bukan malah antirakyat. Setidaknya, kalau kita tidak dapat mencari pemimpin terbaik dan ideal, paling tidak kita dapat membuang dan mengeliminasi calon pemimpin terburuk dengan cara tidak memilihnya.
Sekali lagi, kesuksesan kepemimpinan nasional, bahkan lokal sebenarnya seluruhnya berada di tangan rakyat Indonesia. Masalahnya, seringkali rakyat tidak sadar bahwa kunci kesuksesan kepemimpinan nasional bahkan lokal itu berada di tangannya. Kita memang tidak boleh serta merta menyalahkan rakyat karena memang rakyat selama ini sedang mengalami frustrasi tingkat tinggi. Akibatnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa siapa pun nantinya yang memimpin, tetap saja Indonesia ini akan anjlok dan terjerembab pada masalah klasik dan kronis: korupsi, kolusi, dan nepotisme terstruktur. Nah, di sinilah masalah itu beranak pinak, yaitu, ketika rakyat benar-benar menutup mata dan tidak lagi mau memilih.
Mendadak Pesimis

Lihatlah, sejak reformasi dikobarkan, golput tak pernah nihil. Keadaan ini tentu sudah jelas mengindikasikan bahwa rakyat belum terlalu yakin pada sistem demokrasi. Di balik itu, ada juga sikap pemilih yang terkesan sangat melodramatis sehingga mereka hanya akan memilih kalau calon yang disodorkan itu benar-benar seperti superman atau bahkan malaikat. Pada pihak lain, rakyat benar-benar menjadi tidak mau memilih karena mereka menyangka bahwa calon yang dipilihnya itu bukan superman, apalagi malaikat.

Alhasil, golput pun makin berserakan. Rakyat yang dulu doyan pada adagium yang mengatakan bahwa selalu ada optimisme di balik pesimisme mendadak berubah haluan dan semakin frustrasi, akhirnya tak peduli. Buktinya, pada pemilu 2009, angka golput masih rendah, yaitu masih berada pada angka 6,30%. Akan tetapi, pada pemilu selanjutnya pada tahun 2004, 2009, dan 2014, angka golput hampir makin naik secara eksponensial 15,93%, 29,01%, dan sesuai dengan perhitungan LSI, angka golput pada tahun 2014 sampai menyentuh angka 34,02%. Tentu, data-data ini sudah sangat jelas megindikasikan bahwa rakyat sedang diserang rasa apatis secara berlebihan.

Nah, kembali ke persoalan semula, apakah memang rasa apatis dapat menyelesaikan masalah? Tidak! Yang ada, masalah yang datang justru akan makin beruntun karena kita tidak sigap dan aktif untuk memberantasnya. Malah keseringan, kita hanya akan sigap dan aktif untuk sebatas menonton yang berakhir pada mengutuk birokrat sendiri. Padahal, mengutuk tidak terlalu membuahkan solusi. Bahkan, tidak sedikit yang merasa bersyukur karena sebelumnya mereka tidak memilih sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak ikut bersalah. Apakah penilaian bersalah atau tidak sesederhana itu? Lalu, apakah wajar kalau kita menyalahkan orang yang memilih pemimpin sementara kita yang tidak memilih justru aktif dan heboh lantaran tidak ikut memilih sehingga kita merasa benar sendiri?

Di sinilah kita tidak terlalu sadar. Kita hanya ingin pemimpin yang prorakyat sementara kita tidak merasa ikut tergerak untuk memilih. Ibaratnya, ada banyak caleg yang bermurah dan baik hati untuk mencalonkan dirinya dan ada pula banyak caleg yang rakus dan curang yang lalu memperalat politik melalui politik uang. Caleg yang mengutamakan uang tentunya akan mempunyai massa paling besar ketimbang caleg yang mengutamakan kebaikan dan pelayanan. Alahasil, caleg yang baik itu kita biarkan berjalan sendirian sementara caleg rakus sudah diikuti massa yang meminta uang. Nah, ketika caleg yang bernapaskan politik uang itu terpilih, kita malah mengutuk! Adilkah tindakan mengutuk seperti itu sementara kita sendiri tidak pernah merasa tergerak untuk memilih?

Selalu Ada Pilihan
Yakinlah, kepemimpinan nasional yang baik itu berada sepenuhnya di tangan kita. Semuanya berpulang kepada kita. Masalahnya, apakah kita harus selalu membiarkan caleg atau calon pemimpin yang baik itu berjalan sendirian tanpa dukungan moral berupa ikut aktif memilih dari kita? Kalau kita saja tidak mau memilih, apakah juga masih adil kalau kita mengharapkan pemimpin yang baik?

Terus terang, saya tidak sedang mengutuki orang yang golput, tetapi lebih pada penegasan bahwa kalau kita memilih atau bahkan tidak memilih sama sekalipun, tetap saja mereka nantinya akan terpilih. Kalau begitu, mengapa kita tidak ikut aktif saja untuk memilih, tentunya memilih yang lebih baik? Bukankah selalu ada pilihan? Kalau, misalnya, tidak ada pilihan yang baik, bukankah juga selalu ada pilihan yang lebih baik dari antara yang buruk itu? Lagipula, kalaupun misalnya kita tidak dapat memilih pemimpin yang ideal, bukankah melalui pemilu kita juga akan dapat mengeliminasi pemimpin yang buruk supaya mereka tidak terpilih?

Sekali lagi, semuanya berpulang kepada kita. Indonsia ini hebat atau tidak tetap kembali kepada kita. Yang penting, mari jangan terlalu lama bersikap apatis. Bukakan hati untuk memilah dan memilih! Yang lebih penting lagi, jangan kita biarkan calon pemimpin yang baik itu bekerja sendirian. Saya tidak mengatakan tidak ada calon pemimpin yang munafik, tetapi di antara mereka, bukankah juga ada pemimpin yang baik, setidaknya tidak munafik?

Singkatnya, golput memang bukan pilihan. Zamannya golput sudah berakhir pada rezim Orde Baru. Kalau pada zaman Orde Baru memilih untuk golput adalah pujian karena merupakan bentuk penolakan pada rezim diktator, sekarang, kalau memilih untuk golput adalah memilih untuk tidak mau memperbaiki keadaan. Memilih untuk golput juga memilih untuk tetap menyetujui status quo secara tidak langsung. Jadi - menurut saya - memilih golput bukan lagi kebanggaan, kecuali kebanggaan mereka yang benar-benar tidak mau memperbaiki keadaan!

Nah, pertanyaan selanjutnya, apakah kita mau Indonesia ini hebat? Kalau mau, pilihlah calon pemimpin yang baik, eliminasi pemimpin yang buruk. Kalau masih memungkinkan, pilihlah calon pemimpin yang bukan makelar, melainkan menjadi pelayan bagi rakyat seperti yang diutarakan oleh Paus Fransiskus. Tentunya, jangan sebatas berangan-angan, kita harus turun tangan secara aktif melalui ikut memilih! Ayo, Indonesia hebat ada di tangan kita!
(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan

1 comments:

Giring for RI-1 2024 said...

INDONESIA HEBAT !!! DI MASA KEPEMIMPINAN JOKOWI-JK, INDONESIA BERUBAH DARI NEGARA BERKEMBANG MENJADI NEGARA INDUSTRI BARU