Monday 17 November 2014

Sekali Lagi tentang Anomali PNS

Sekali Lagi Tentang Anomali PNS
SETELAH tahun lalu, tahun ini, pemerintah kembali membuka keran CPNS. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dipastikan tahun ini peminat CPNS akan membengkak seakan-akan pekerjaan yang manusiawi hanya PNS. Dari kenyataan itulah kita kemudian bisa menduga para sarjana kita memang masih sangat banyak bermental PNS. Hal itulah yang kemudian mengilhami saya membuat tulisan "Generasi Bermental PNS" di media ini beberapa waktu lalu.
Sialnya, ada beberapa orang yang gagah-gagahan mengartikan niat menjadi PNS itu sebagai definisi lain dari nasionalisme. Sesempit itukah nasionalisme? Kalau memang PNS merupakan cerminan nasionalisme, apakah para PNS kita selama ini sudah mencerminkannya? Atau, apakah nasionalisme hanyalah tameng untuk bersembunyi sehingga niat menjadi PNS menjadi sesuatu yang sangat mulia, sementara di balik itu, mereka malah membuat negara sebagai mesin ATM?

Baiklah, membikin negara sebagai mesin ATM barangkali tidak terlalu menjadi masalah yang walaupun sebenarnya dia sudah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Logikanya, yang bekerja harus digaji, yang tidak, harus diganjar. Tetapi, masalah ternyata bukan tentang pembikinan negara sebagai mesin ATM.

Masalahnya justru terletak pada mental para sarjana kita yang menggandrungi PNS, seakan sarjana tanpa predikat PNS terasa sia-sia.

Masalah tidak berhenti hanya sampai di situ. Masalah baru justru timbul. Para sarjana yang diasosiasikan sebagai ilmuwan dan cendekiawan itu mengamini bahwa PNS sebagai abdi, tetapi pada praktiknya mereka malah menjadi tuan bahkan pencuri. Riduan Siagian dalam artikelnya di Harian Analisa, 23 Agustus 2014, bertajuk "Anomali PNS," sudah jelas memaparkan itu semua.

Seperti kata Riduan Siagian, nyatanya korupsi lebih tinggi digandrungi oleh PNS yang justru berkedudukan sebagai abdi negara. Ironisnya, korupsi itu masih sebatas korupsi materi, belum lagi korupsi waktu yang sering mepet. Hal itulah yang kemudian menggeser nilai PNS dari yang dulunya abdi - sekadar untuk tidak menyebut budak - mendadak berubah menjadi tuan. Padahal, hakikat PNS sebenarnya abdi negara.

Pergeseran nilai inilah yang kemudian membenturkan mereka pada pergeseran paradigma. Hasilnya, rakyat yang sejatinya menjadi tuan, yang menggaji mereka, malah diperhamba sesuka hatinya. Padahal, bukankah tanpa rakyat PNS akan melarat?

Ilustrasinya begini, para abdi kita datang ke kantor rutin pada pukul 08.00. Setelah itu, mengopi dan sarapan di kantin hingga dua jam. Pukul 10.00, mereka datang ke kantor sambil megoperasikan laptop dan mencari atau bahkan men-download game. Ada tamu, bukan malah dilayani, melainkan disuruh melayani diri sendiri, setidaknya menunggu sebentar hingga game-nya kelar.

Pukul 12.00, mereka sudah istirahat. Kalau mereka bukan guru, mereka akan kembali masuk ke kantor pukul 14.00, itu pun kalau benar-benar kembali. Di sana, mereka kembali mengoperasikan laptop. Akhirnya, 15 menit sebelum waktu pulang mereka sudah uring-uringan ketika masyarakat datang.

Jawabannya, datang besok saja pukul 08.00! Kita datang pukul 08.00 besoknya, mereka masih asyik di kantin. Kita tunggu sampai pukul 10.00, mereka lebih sibuk dengan laptop. Begitulah seterusnya. Barangkali hal ini terlalu berlebihan, tetapi bisakah Anda mengabaikan fakta-fakta tersebut di lapangan?

Percayalah, dengan skema seperti ini, kita sudah merugi dalam bentuk investasi PNS, jika kita percaya bahwa gaji PNS sebagai investasi. Ruginya bukan semata karena materi, melainkan karena pelayanan yang kita dapatkan seadanya saja bahkan lebih bagus pelayanan di pihak swasta.

Nasib Orang Miskin
Untuk gaji PNS (tadi disebut, investasi) kita menggelontorkan sepertiga dari APBN: Rp 547,1 triliun dari total belanja negara sebesar Rp 1.683 triliun pada 2013 dan naik terus menerus. Misalnya, pada 2011 investasi masih sebesar Rp 175,7 triliun, kemudian menanjak signifikan menjadi Rp 212,2 triliun pada 2012 atau naik sekitar 20%. Pada 2013, investasi itu menyentuh angka Rp 547,1 triliun, pada 2014 juga naik sebesar 18,61%. Diperkirakan pada 2015 juga akan makin naik mengingat pada pidato terakhirnya SBY sudah meneguhkan bahwa gaji PNS, Polri dan TNI akan naik 6% pada tahun depan. Apakah APBN diperuntukkan semata lebih banyak untuk PNS?

Pada dasarnya saya bukan tidak setuju gaji yang kita sebut sebagai investasi ini naik. Yang sangat kita sesalkan, naiknya gaji tidak seiring dengan meningkatnya pelayanan. Bahkan ada kesan, rakyat miskin yang tidak berkesempatan menjadi PNS lantaran tidak mampu kuliah, tidak diperhatikan. Karena itulah, jika misalnya pada akhirnya gaji PNS naik sebagai kompensasi dari naiknya subsidi BBM kelak, hal itu sangat disesalkan. Disesalkan karena rakyat miskin secara konstitusional malah terabaikan, tetapi PNS justru dapat dari tambahan gaji.

Inilah anomali PNS. Selain makin banyak para ilmuwan yang menggandrungi PNS, negara malah terjebak pada investasi yang makin liar. Sudah begitu, mereka yang adalah abdi malah mempertuankan diri secara semena-mena, bahkan doyan korupsi. Imbasnya, yang kaya dan kebetulan dapat menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi akan mencecap enaknya PNS - apalagi mereka jarang dipecat - tetapi yang miskin dan sama sekali jauh dari radar pendidikan hanya bisa menelan ludah melihat PNS yang merupakan abdinya mendadak berlaku sebagai tuan.

Orang miskin jadi terasing bahkan teralienasi dari tangan-tangan negara, salah satunya karena PNS, terutama karena ulah PNS yang semena-mena. Mereka berlaku demikian karena negara bertindak permisif bahkan jarang memecat PNS yang berulah. Apakah kita akan selalu tertindih anomali PNS ini?

(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: