Wednesday 12 November 2014

Negeri Tanpa Unjuk Rasa

Negeri tanpa Unjuk Rasa

Oleh: Riduan Situmorang
Dalam demokrasi, unjuk rasa menjadi sebuah keniscayaan, bah-kan disarankan sebagai alat kontrol terhadap pemerintah. Unjuk rasa juga dapat diterjemahkan sebagai ukuran tingkat kepekaan masyarakat terhadap pemerintah dan keadaan sekitar. Artinya, jika unjuk rasa tidak ada, hal itu dapat diasosiasikan sebagai dikekangnya kebebasan masyarakat atau tidak pekanya masyarakat terhadap lingkungan sekitar.
Saya sendiri sewaktu aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan terhitung beberapa kali turun ke jalan. Tapi harus diakui, kadang kami melakukannya atas undangan seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini, kami diposisikan sebagai bayaran. Dari situ secara terang dapat dikatakan bahwa yang peka terhadap masyarakat sekitar itu bukan kami, tapi yang membayar. Hanya saja harus ditegaskan lagi bahwa tidak semua yang membayar kami penuhi. Kami juga selektif melihat apakah yang dituntut itu mengada-ada atau memang ada. Dengan kata lain, walaupun ada pada kasta kedua, kami tetap saja merasa peka terlepas itu setelah dibayar.
Damai dan Anarkis
Lalu, baru-baru ini, mereka yang menyebut dirinya FPI mengadakan unjuk rasa. Tuntutan mereka secara kabur-kabur dapat dibaca sebagai penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur. Hasilnya, beberapa polisi mengalami luka-luka dan fasilitas umum dirusak begitu saja. Polisi tidak diam, mereka berjanji dan telah menjemput paksa beberapa dalang unjuk rasa. Di sinilah saya agak terdiam, mengapa polisi menangkap dalang unjuk rasa, bukankah FPI berunjuk rasa atas dasar inisiatifnya? Atau, apakah mereka berunjuk rasa sebagaimana waktu kami dulu-dulu dibayar?
Dan satu hal yang perlu harus diingat, unjuk rasa bukanlah hal yang haram. Unjuk rasa bahkan seringkali menjadi titik klimaks dalam mencapai posisi tawar. Anda tentu ingat awal reformasi kita berawal dari unjuk rasa bukan? Revolusi Prancis yang mengilhami pembebasan di seluruh dunia bahkan mendapatkan titik terang setelah unjuk rasa. Pun halnya buruh, eksistensi mereka baru dihargai setelah mereka mengadakan gelombang unjuk rasa besar-besaran di hampir seluruh dunia.
Maaf, saya tidak sedang mengatakan, ayo, kalau unjuk rasa itu besar-besaran dan anarkis. Justru sebaliknya, unjuk rasalah dengan damai. Hal itu lebih konstruktif karena tidak akan menyimpan luka. Fasilitas umum yang sejatinya berasal dari uang kita melalui pajak pun tidak rusak. Lihat, demonstrasi baru-baru ini yang berlangsung di Hongkong, mereka damai, bahkan ikut membersihkan lingkungan sekitar sampai-sampai New York Times menyebut unjuk rasa itu sebagai “Aksi Protes Hongkong tanpa Pemimpin, tetapi Tertib”. Senada dengan itu, BBC menyebut aksi ini tidak pernah terjadi selain di Hongkong.
Dalam hal ini, BBC mungkin mengada-ada sebab kita tahu, India sendiri pernah melakukannya dalam damai. Pemimpinnya Mahatma Gandhi. Aksi pemberontakan ala Mahatma Gandhi bahkan boleh dibilang sebagai aksi yang tidak berdarah karena mereka mengutamakan diam dan damai. Hasilnya, mereka tetap juga merdeka dan menjadi salah satu negara kuat di Asia. Dari sinilah kita ketahui kemudian bahwa unjuk rasa itu tidak melulu anarkis. Keberhasilan unjuk rasa itu pun tidak boleh ditebak dari sikap anarkis. Yang pasti, clue yang harus kita ingat adalah, unjuk rasa mempunyai peranan penting dalam berdemokrasi.
Masalahnya, ada kemungkinan bahwa kelak negeri ini akan hidup tanpa gelombang protes. Di saat itu, unjuk rasa akan menemui kiamatnya. Hal itu tidak berlebihan karena ada sinyal senyap bahwa Koalisi Merah Putih berencana mengembalikan tata negara negeri ini seperti halnya Orde Baru. Kita tahu bahwa Orde Baru merupakan rezim yang kejam. Siapa yang berbeda akan dihajar dalam gelombang diam pemerintah. Imbasnya, masyarakat akan mengalami phobia berlebihan sehingga secara terpaksa mereka akan menghilangkan rasa peka dari dirinya sendiri.
Semoga Bukan yang Terakhir
Di saat itu, pemerintahan memang akan berlanjut, bahkan kelihatan damai, tetapi itu hanyalah sekilas pandang. Bukti konkretnya, bukankah kebanyakan masyarakat kita dulu bangga ada pada zaman Orde Baru? Tetapi lihatlah fakta kemudian, bukankah masyarakat dominan takut pada Orde Baru? Ya, mereka memang kala itu terbutakan dengan ketakutan dan kemakmuran semu sehingga takut untuk mengutuki Orde Baru. Ibarat taktik intimidasi, pemerintah saat itu memberi dua opsi sekaligus: ancaman dan tawaran. Ancamannya dibunuh secara diam-diam dan tawarannya diberi kemakmuran. Padahal, kemakmuran itu sendiri diambil dari alam dan utang. Sudah begitu, hasil alam itu dominan milik pemerintah. Sebagai contoh misalnya, hasil hutan semasa Orde Baru 30% merupakan milik Suharto. Tragis bukan?
Ya, sembari berharap para politisi di Senayan bertobat, terutama mereka yang dalam hati kecilnya ingin memapah ruh Orde Baru, marilah kita sama-sama berdoa untuk negeri ini. Doa kita harus tulus dan benar, yaitu supaya negeri ini tidak dipenuhi unjuk rasa, apalagi yang anarkis. Doa yang terutama adalah, semoga negeri ini tidak menghilangkan unjuk rasa.
Janggal rasanya negara tanpa unjuk rasa, seakan-akan damai padahal hanyalah bara dalam sekam: sedikit tetapi menyengsarakan. Di samping itu, selain karena unjuk rasa merupakan bukti kebebasan berpendapat, unjuk rasa juga merupakan bukti konkret dari kepedulian masyarakat terhadap linkungan sekitar.
Maka, kita syukuri unjuk rasa yang akhir-akhir ini dilemparkan FPI. Meskipun mungkin mereka bayaran, anarkis, dan yang dituntut terlalu berlebihan dan tidak konsitusional, setidaknya hal itu merupakan bukti nyata bahwa kita masih bebas untuk berunjuk rasa. Mudah-mudahan ini bukan yang terakhir. Kalaupun yang terkahir, mudah-mudahan yang terakhir untuk unjuk rasa anarkis! ***
Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya di Medan.

0 comments: