Tuesday 19 August 2014

Menghitung Kerugian Pemadaman Listrik

Menghitung Kerugian Pemadaman Listrik

Oleh: Riduan Situmorang
Pemadaman listrik layaknya menjadi bagian tetap, khususnya di Sumut, khususnya lagi di Kota Medan. Entah apa pasal, yang pasti, setiap terjadi pemadaman listrik, kata maaf dan umbaran janji dari pihak PLN dan pemerintah selalu mengalir dengan derasnya. Sialnya, kata maaf hanya berhenti pada taraf simbol semata. Kata-kata janji pun demikian. Akhirnya, jika berpijak pada umbaran-umbaran janji tersebut, kita akan segera mengetahui bahwa telah terjadi sesuatu yang namanya pendangkalan makna janji.
Dikatakan pendangkalan janji karena selalu saja begitu, pemerintah dan PLN selalu saja berjanji untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tahun lalu, misalnya, kala itu masih bulan Juni hampir sama persis dengan yang sekarang, pemerintah dan PLN pernah berjanji akan mengatasi krisis listrik paling lambat di bulan November di tahun yang sama. Bahkan, Dahlan Iskan kala itu-tepatnya tanggal 28 Juni 2013-dalam acara seminar di Gereja Bethel, tepatnya di Medan Plaza menjanjikan bahwa masalah listrik di Sumut akan selesai paling lambat awal bulan November tahun 2013. Dan, bulan November telah berlalu. Walaupun agak telat, di penghujung November 2013, masalah listrik di Kota Medan pelan-pelan sudah diatasi. Sudah tidak ada lagi biarpet.
Setelah Janji, Janji Lain pun Menyusul
Tetapi, belum saja masyarakat terpuaskan memakai listrik, rupa-rupanya di awal tahun 2014, pemadaman listrik bahkan menjadi teman sehari-hari. Untungnya, sebelum Pileg, pemadaman bergilir sudah berhenti. Tetapi, masalah pemadaman itu tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pileg, kita harus kembali menelan hari-hari dengan pemadaman bergilir. Hal itulah yang kemudian mengilhami saya dalam membuat tulisan “Setelah Kampanye dan Pileg Usai, Medan Kembali Gelap” yang diterbitkan di harian ini pada 6 Mei 2014 yang lalu.
Berita positif pun kemudian berkelindan. Konon, katanya masalah listrik akan teratasi, setidaknya masa puasa. Nah, dalam hal ini, kita beri apresiasi positif kepada pihak PLN dan pemerintah karena mereka menepati janjinya. Hanya yang kita sesalkan kemudian adalah ketika awal Agustus, pemadaman listrik kembali bergelora. Dan, seperti yang sudah-sudah, PLN dan Pihak Pemerintah datang mengumbar janji. Lihatlah Headline edisi 8 Agustus 2014 harian ini!
Di sana, Bernardus mewakili PLN mengenduskan janji manis, yaitu krisis listrik ini akan berakhir paling lambat sekitar November 2014. Baiklah saya kutip ucapan itu di sini, “Untuk langkah temporer adalah menyewa genset. Seperti PLTP sewa sebesar 120 MW yang ditempatkan di Sicanang, Belawan yang akan rampung pada September 2014. Kemudian tambahan PLTP sewa sebesar 190 MW yang akan ditempatkan di Labuhan Angin 50 MW, di Lamhot Ma, Belawan 90 MW, dan di Sicanang 50 MW, yang keseluruhannya dijadualkan operasi pada November 2014,” urainya. Sedangkan langkah panjang, lanjut Bernandus, adalah menyegerakan perawatan PLTG Lot III 100 MW di Belawan dan PLTG Gas Turbin XII di Sicanang yang keduanya dijadualkan rampung sekitar Oktober 2014.
 Masalahnya, apakah janji bahwa krisis listrik akan berakhir pada November 2014 ini benar-benar menjadi kenyataan? Atau, apakah janji itu sebatas pemanis bibir? Apakah setelah November 2014 berlalu dan krisis listrik belum usai yang lantas membuat pemerintah dan pihak PLN membuat janji baru lagi, misalnya? Terus terang, jika berpijak pada fakta selama dua tahun ini saja, saya sangat yakin sekali bahwa janji yang telah diungkapkan ini hanya sebatas janji.
Tetapi begitupun, mari berharap, semoga janji yang teranyar ini tidak sekadar janji. Alasannya sederhana, yaitu listrik sudah menjadi gurat nadi perekonomian rakyat. Tanpa listrik, perekonomian akan mandeg. Dengan kata lain, dengan padamnya listrik, kita sebenarnya telah menghambat alur pergerakan perekonomian masyarakat. Sebegitu kejamnyakah para pemimpin kita sehingga mereka doyan menghambat perekonomian?
Perkelahian Gajah
Percayalah, padamnya listrik telah menimbulkan kerugian yang sangat tidak terukur. Dia tidak bisa diterjemahkan dalam bentuk statistika atau matematika. Kalaupun disederhanakan di balik statistika, yakinlah, di balik statistika itu ada luapan emosional dari masyarakat. Dia tidak sebatas angka-angka. Ibarat keganasan lalu lintas semasa Idul Fitri baru-baru ini yang menewaskan 500-an anak bangsa. Percayakah Anda yang rugi hanya yang 500 tadi? Bukankah di balik angka 500 itu ada nyawa manusia yang meregang, ada anak yang kehilangan orang tua dan sebaliknya? Artinya, statistika tidak dapat menarasikan kerugian yang sebenar-benarnya terjadi. Hal itu paralel pula dengan aksioma bahwa selain menimbulkan kerugian, pemadaman listrik ini juga telah menimbun antipati terhadap pemerintah, apalagi mereka selalu saja berjanji dan berjanji.
Sederhananya, misalnya, bagaimana perasaan Anda ketika Anda mendengar musik tiba-tiba listrik padam, apakah Anda marah? Bagaimana kalau Anda mau mentransfer uang, tiba-tiba listrik di mesin ATM padam? Bagaimana pula ketika Anda sedang sibuk-sibuknya menuliskan ide dalam bentuk tulisan, tiba-tiba listrik padam lagi? Terhitungkah kerugian itu? Jadi, jangan coba-coba menyederhanakan kerugian masyarakat sebatas materi saja. Materi dapat dihitung, tetapi perasaan?
Nah, kerugian perasaan inilah yang kemudian mengantar kita pada emosi yang memuncak. Bagaimana tidak memuncak, konon katanya pemadaman listrik kali ini terjadi karena Pertamina telah menaikkan harga dan membatasi BBM ke PLN. Kita tidak tahu siapa yang salah, apakah karena PLN memberi harga yang murah atau karena Pertamina yang iri melihat PLN mempunyai keuntungan besar. Tetapi, bukankah kedua-duanya BUMN? Lalu kalau BUMN, mengapa mereka bertindak bagaikan business to business? Apakah perasaan dan emosi masyarakat juga akumulasi dari bisnis?
Jujur, saya sebagai masyarakat awam sangat kecewa. Saya sebagai masyarakat tidak tahu apa, bahkan barangkali tidak mau tahu tentang apa-apa yang terjadi di PLN dan Pertamina. Yang masyarakat mau, pelayanan dari BUMN itu benar-benar untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan bisnis. Kalau demikian adanya, yakinlah, ibarat gajah yang berantam, rumput pun ikut terinjak-injak. Gajahnya itu BUMN dan rumputnya itu kita sebagai masyarakat. Apakah kita akan selalu saja begini, tertindih di atas perkelahian gajah-gajah tambun ini? Kalau memang harus begini, mari, kuatkan akarmu supaya dapat menahan tindihan para gajah-gajah tambun ini!
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

1 comments:

Tahi Sinambela said...

super sekali.