Friday 16 May 2014

Memaknai Masuknya Indonesia ke 10 Besar Ekonomi Terbesar di Dunia

Oleh: Riduan Situmorang
Tahun ke tahun, apalagi sejak pemerintahan SBY, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia memang naik secara signifikan. Bahkan baru-baru ini, data PDB dunia berdasarkan paritas daya beli 2011 telah mengukuhkan Indonesia masuk ke jajaran 10 besar dalam hal perekonomian. Hal itu seyogiyanya menjadi sebuah prestasi bertaraf internasional karena hal itu telah membuat bangsa kita menjadi bangsa yang disegani. Pertanyaannya kemudian, apakah laju pertumbuhan kita yang selalu menyentuh angka 6 persen ini sudah menjadi jaminan bahwa Negara kita akan kaya? Lalu, apakah dengan laju pertumbuhan yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat 10 dalam hal ekonomi sudah menjadi garansi bahwa orang miskin di negeri ini akan menurun secara kualitas, apalagi kuantitas?
Seharusnya jawabannya memang, ya, tetapi pada kenyataannya di lapangan, orang miskin di negeri ini makin banyak. Masih saja ada 28,55 juta penduduk miskin di negeri ini pada perhitungan terakhir kedua, tepatnya September 2013 yang lalu. Lalu, pada perhitungan terbaru, jumlah 28,55 juta tadi menjadi bertambah sebanyak 480.000. Kenyataan ini menjadi sangat paradoksal. Betapa tidak paradoksal, Indonesia termasuk pada 10 kekuatan ekonomi terbesar di dunia, tetapi pada saat yang sama apabila dilihat dari segi PDB, Indonesia malah menempati urutan ke-107. Lantas, sebenarnya, apa makna pertumbuhan ekonomi kita ini kalau jumlah orang miskin selalu makin banyak? Apalah gunanya posisi ke-10 kalau kita masih gagal menjawab permasalahan ekonomi yang bersifat klasik?
Belum Menyentuh Ranah Substansial
Saya menduga, naiknya laju pertumbuhan ekonomi ini tidak terlalu bermakna dalam mengatasi serta mengurangi kemiskinan adalah karena perekenomian kita masih belum menyentuh ranah yang paling substansial. Artinya, kita telah mengingkari sistem perekonomian kita yang berasaskan kerakyatan dan keadilan yang berperikemanusiaan. Kita terlalu terlarut pada euforia prestasi, tetapi malah lupa pada hal-hal yang mendasar.
Benar saja laju perekonomian kita makin menanjak dan dunia sudah mengakuinya, tapi hal itu tidak menyentuh orang miskin. Laju pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati secara sepihak oleh orang-orang berduit. Hal itu tentunya berimbas pada makin kayanya orang kaya, sementara orang miskin makin terpinggirkan dan tidak tersentuh. Tidak berhenti sampai di situ. Para orang kaya yang sudah tersandera paham kapitalistik pun menjajah serta menjarah orang miskin sehingga pelaku UKM kecil menengah banyak bertumbangan karena kekurangan strategi, modal, dan sokongan dari pemerintah. Maka, jadilah mereka menjadi budak-budak yang tidak digaji secara layak.
Sekarang, mari kita kilas balik dulu perihal alur perekonomian kita pada tahun lalu! Saat laju pertumbuhan ekonomi kita tetap berjalan pada koridor yang tepat, saat itu pula kabut misterius yang mestinya tidak harus terjadi malah terjadi. Sebutlah, angka pengangguran kita yang masih tinggi. Misalnya, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2013 mencapai 6,25 persen.
Angka ini sebelumnya bahkan belum tersentuh. Pada periode Agustus 2012, misalnya, kita sudah berada pada persentase 6,14 persen. Setengah tahun kemudian sebenarnya kita dapat menguranginya menjadi 5,92 persen pada periode Februari 2013. Tapi, seakan menjadi siklus, angka ini malah naik menjadi 6,25 persen. Fakta selanjutnya jika melihat data statistik yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin di negeri ini makin bertambah sebanyak 480.000, rasanya agak sedikit mustahil angka 6,25 persen ini akan turun, yang ada malah pasti akan makin menanjak. Ini menjadi fakta unik dan janggal, serta seharusnya tidak harus terjadi melihat laju pertumbuhan ekonomi kita selalu bagus.
Nah, bagaimana sebenarnya kita-tentunya juga menjadi tugas utama pemerintah-harus memaknai laju pertumbuhan ekonomi ini? Terus terang, sesungguhnya laju pertumbuhan ekonomi kita yang tidak anjlok kendatipun dunia Amerika serta Eropa digembleng krisis finansial, sudah menjadi modal bagus untuk mengurangi, bahkan mengatasi kemiskinan, tapi bagaimana? Inilah yang menjadi tugas utama para pemeran politik dan pemegang jabatan struktural yang akan terpilih pada tahun 2014 ini.
Tantangan Bagi Para Pemimpin Baru
Tidak cukup hanya menaikkan persentase kemajuan ekonomi, tetapi bagaimana kenaikan persentase itu diorkestrasi untuk mengurangi pengangguran dan mengurangi jumlah orang miskin, itulah yang terpenting, bukan malah memperbanyak harta orang kaya dan pada saat yang sama, menipiskan harta orang yang tak punya.
Para pemain politik dan pemerintah pasca-SBY di tahun 2014 ini pun nantinya harus berani membuka dan membuat terobosan baru serta menyeluruh. Tidak tersentralisasi pada pusat-pusat perkotaan. Selain itu, pemerintah pun harus membangun infrastruktur yang memadai, tidak cukup hanya membangun jembatan layang dan jalan tol di perkotaan saja, tetapi juga membangun akses yang layak ke pedesaan karena dengan akses inilah masyarakat miskin dapat mulai belajar hingga akhirnya pelan-pelan dapat mengakses pekerjaan yang layak baginya.
Singkatnya, prestasi yang kita dapatkan baru-baru ini harus benar-benar milik semua orang, bukan milik segelintir orang. Sudah jelas, modal prestasi sudah kita miliki. Hanya saja modal ini tetap harus diorkestrasi supaya tidak menjadi prestasi gelembung sabun, di luar indah, tetapi isinya melompong. Karena itu, ciptakanlah lapangan pekerjaan yang menjangkau masyarakat miskin. Sebab hanya dengan cara demikian, kita akan dapat mengurangi angka kemiskinan. Dengan begitu pula, kemajuan ekonomi Indonesia menjadi milik semua orang.
Kita tentunya harus berkaca pada kesalahan kita di masa lalu. Seperti kata-kata para pemikir dan pemerhati kebijakan kenegaraan kita, tahun politik ini menjadi pedang bermata dua: menjadi titik tolak untuk bangkit atau malah menjadi batu sandungan sehingga neofeodalisme tertanam secara sistemik di lapangan. Sekarang pertanyaan yang paling mendasar yang harus kita lontarkan adalah, apakah kita sudah siap memaknai laju pertumbuhan ekonomi ini sebagai modal untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran? Percayalah, tidak ada gunanya prestasi masuk 10 besar kalau toh angka pengangguran dan kemiskinan masih tinggi! ***
Penulis adalah Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis.

1 comments:

http://tumorangriduan.blogspot.com/ said...
This comment has been removed by the author.