Memaknai Masuknya Indonesia ke 10 Besar Ekonomi Terbesar di Dunia
Oleh: Riduan Situmorang
Tahun
ke tahun, apalagi sejak pemerintahan SBY, laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia memang naik secara signifikan. Bahkan baru-baru ini, data PDB
dunia berdasarkan paritas daya beli 2011 telah mengukuhkan Indonesia
masuk ke jajaran 10 besar dalam hal perekonomian. Hal itu seyogiyanya
menjadi sebuah prestasi bertaraf internasional karena hal itu telah
membuat bangsa kita menjadi bangsa yang disegani. Pertanyaannya
kemudian, apakah laju pertumbuhan kita yang selalu menyentuh angka 6
persen ini sudah menjadi jaminan bahwa Negara kita akan kaya? Lalu,
apakah dengan laju pertumbuhan yang telah menempatkan Indonesia sebagai
negara peringkat 10 dalam hal ekonomi sudah menjadi garansi bahwa orang
miskin di negeri ini akan menurun secara kualitas, apalagi kuantitas?
Seharusnya jawabannya memang, ya, tetapi pada kenyataannya di
lapangan, orang miskin di negeri ini makin banyak. Masih saja ada 28,55
juta penduduk miskin di negeri ini pada perhitungan terakhir kedua,
tepatnya September 2013 yang lalu. Lalu, pada perhitungan terbaru,
jumlah 28,55 juta tadi menjadi bertambah sebanyak 480.000. Kenyataan ini
menjadi sangat paradoksal. Betapa tidak paradoksal, Indonesia termasuk
pada 10 kekuatan ekonomi terbesar di dunia, tetapi pada saat yang sama
apabila dilihat dari segi PDB, Indonesia malah menempati urutan ke-107.
Lantas, sebenarnya, apa makna pertumbuhan ekonomi kita ini kalau jumlah
orang miskin selalu makin banyak? Apalah gunanya posisi ke-10 kalau kita
masih gagal menjawab permasalahan ekonomi yang bersifat klasik?
Belum Menyentuh Ranah Substansial
Saya menduga, naiknya laju pertumbuhan ekonomi ini tidak terlalu
bermakna dalam mengatasi serta mengurangi kemiskinan adalah karena
perekenomian kita masih belum menyentuh ranah yang paling substansial.
Artinya, kita telah mengingkari sistem perekonomian kita yang berasaskan
kerakyatan dan keadilan yang berperikemanusiaan. Kita terlalu terlarut
pada euforia prestasi, tetapi malah lupa pada hal-hal yang mendasar.
Benar saja laju perekonomian kita makin menanjak dan dunia sudah
mengakuinya, tapi hal itu tidak menyentuh orang miskin. Laju pertumbuhan
ekonomi itu hanya dinikmati secara sepihak oleh orang-orang berduit.
Hal itu tentunya berimbas pada makin kayanya orang kaya, sementara orang
miskin makin terpinggirkan dan tidak tersentuh. Tidak berhenti sampai
di situ. Para orang kaya yang sudah tersandera paham kapitalistik pun
menjajah serta menjarah orang miskin sehingga pelaku UKM kecil menengah
banyak bertumbangan karena kekurangan strategi, modal, dan sokongan dari
pemerintah. Maka, jadilah mereka menjadi budak-budak yang tidak digaji
secara layak.
Sekarang, mari kita kilas balik dulu perihal alur perekonomian kita
pada tahun lalu! Saat laju pertumbuhan ekonomi kita tetap berjalan pada
koridor yang tepat, saat itu pula kabut misterius yang mestinya tidak
harus terjadi malah terjadi. Sebutlah, angka pengangguran kita yang
masih tinggi. Misalnya, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2013
mencapai 6,25 persen.
Angka ini sebelumnya bahkan belum tersentuh. Pada periode Agustus
2012, misalnya, kita sudah berada pada persentase 6,14 persen. Setengah
tahun kemudian sebenarnya kita dapat menguranginya menjadi 5,92 persen
pada periode Februari 2013. Tapi, seakan menjadi siklus, angka ini malah
naik menjadi 6,25 persen. Fakta selanjutnya jika melihat data statistik
yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin di negeri ini makin bertambah
sebanyak 480.000, rasanya agak sedikit mustahil angka 6,25 persen ini
akan turun, yang ada malah pasti akan makin menanjak. Ini menjadi fakta
unik dan janggal, serta seharusnya tidak harus terjadi melihat laju
pertumbuhan ekonomi kita selalu bagus.
Nah, bagaimana sebenarnya kita-tentunya juga menjadi tugas utama
pemerintah-harus memaknai laju pertumbuhan ekonomi ini? Terus terang,
sesungguhnya laju pertumbuhan ekonomi kita yang tidak anjlok kendatipun
dunia Amerika serta Eropa digembleng krisis finansial, sudah menjadi
modal bagus untuk mengurangi, bahkan mengatasi kemiskinan, tapi
bagaimana? Inilah yang menjadi tugas utama para pemeran politik dan
pemegang jabatan struktural yang akan terpilih pada tahun 2014 ini.
Tantangan Bagi Para Pemimpin Baru
Tidak cukup hanya menaikkan persentase kemajuan ekonomi, tetapi
bagaimana kenaikan persentase itu diorkestrasi untuk mengurangi
pengangguran dan mengurangi jumlah orang miskin, itulah yang terpenting,
bukan malah memperbanyak harta orang kaya dan pada saat yang sama,
menipiskan harta orang yang tak punya.
Para pemain politik dan pemerintah pasca-SBY di tahun 2014 ini pun
nantinya harus berani membuka dan membuat terobosan baru serta
menyeluruh. Tidak tersentralisasi pada pusat-pusat perkotaan. Selain
itu, pemerintah pun harus membangun infrastruktur yang memadai, tidak
cukup hanya membangun jembatan layang dan jalan tol di perkotaan saja,
tetapi juga membangun akses yang layak ke pedesaan karena dengan akses
inilah masyarakat miskin dapat mulai belajar hingga akhirnya pelan-pelan
dapat mengakses pekerjaan yang layak baginya.
Singkatnya, prestasi yang kita dapatkan baru-baru ini harus
benar-benar milik semua orang, bukan milik segelintir orang. Sudah
jelas, modal prestasi sudah kita miliki. Hanya saja modal ini tetap
harus diorkestrasi supaya tidak menjadi prestasi gelembung sabun, di
luar indah, tetapi isinya melompong. Karena itu, ciptakanlah lapangan
pekerjaan yang menjangkau masyarakat miskin. Sebab hanya dengan cara
demikian, kita akan dapat mengurangi angka kemiskinan. Dengan begitu
pula, kemajuan ekonomi Indonesia menjadi milik semua orang.
Kita tentunya harus berkaca pada kesalahan kita di masa lalu. Seperti
kata-kata para pemikir dan pemerhati kebijakan kenegaraan kita, tahun
politik ini menjadi pedang bermata dua: menjadi titik tolak untuk
bangkit atau malah menjadi batu sandungan sehingga neofeodalisme
tertanam secara sistemik di lapangan. Sekarang pertanyaan yang paling
mendasar yang harus kita lontarkan adalah, apakah kita sudah siap
memaknai laju pertumbuhan ekonomi ini sebagai modal untuk mengurangi
kemiskinan dan pengangguran? Percayalah, tidak ada gunanya prestasi
masuk 10 besar kalau toh angka pengangguran dan kemiskinan masih tinggi!
***
Penulis adalah Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten
Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St.
Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis.
1 comments:
Post a Comment