Tuesday, 1 March 2016

Siapa yang Seharusnya Berubah

Riduan Situmorang--Akhir-akhir ini, media kita dihinggapi kata-kata seruan perubahan. Ada di media cetak, online, juga televisi. Di media cetak, iklan perubahan itu bahkan hampir tiap hari dengan judul besar: revolui mental. Barangkali Anda tak membacanya, tetapi yang di televisi? Saya yakin, Anda pasti sering melihat iklan itu. Bahkan mungkin, terutama yang di televisi, iklan itu sangat mengena di hati karena memang selain sering dipertontokan, iklan ini juga dikemas dengan sangat lucu. Bagian lucu iklan itu bagi saya adalah ketika seorang anak muda dengan tatapan kosong dan dengan intonasi yang benar-benar datar hampir tanpa ekspresi bilang: ayo berubah!
            Tetapi, ada satu hal yang mengundang tanya, yang sekilas itu tak masalah (tetapi bagi saya itu masalah besar), yaitu ketika hampir dari keseluruhan iklan itu tak ada porsi yang mengajak agar pemerintah, birokrat, dan sejenisnya berubah. Apa itu artinya selama ini yang menjadi sumber masalah selalu bukan dari pemerintah sehingga konon yang harus mengecap revolusi mental itu adalah ibu rumah tangga (dari rumah dulu dibetulin), anak-anak (jangan buang sampah sembarangan!), supir (tak melanggar lampu merah), pedagang (kita harus kerja sama), pemuda (kita harus saling menghormati) dan lain-lain, dan lain-lain? Mana porsi pemerintah dengan segala tetek bengeknya? Apa birokrasi kita sudah clean sheet?
Gayung Bersambut
            Ya, harus kita akui, aroma revolusi mental yang diembuskan oleh Jokowi kini menjadi ibarat bahasa universal. Rakyat sangat suka karena memang, masih banyak yang janggal di negeri kita. Hasilnya secara buram dapat dilihat dengan terpilihnya Jokowi. Artinya, melalui Jokowi rakyat menginginkan perubahan. Bagai gayung bersambut, Jokowi pun ternyata menginginkan perubahan. Bahkan, Jokowi justru menawarkan perubahan. Dan, perubahan yang digadang-gadang pun bukan perubahan biasa: revolusi mental. Bahasa sederhananya, yang harus diubah bukan penampilan, melainkan cara pandang, paradigma, sikap.
            Konon, Obama katanya terpilih sebagai Presiden Amerika karena rakyatnya juga menginginkan perubahan, change. Rakyat sudah bosan karena itu menginginkan sesuatu yang baru. Setidaknya, secara fisik Obama sudah menawarkan itu. Jika selama ini dipimpin oleh presiden berkulit putih, Obama berkulit hitam. Ada yang baru dan ada yang berubah!
            Rupanya, virus perubahan yang digaung-gaungkan Obama ini sangat laris. Terbukti, hampir di setiap pemilihan, para kandidat kita menjual perubahan. Sesungguhnya, hal demikian lumrah-lumrah saja. Tak Ada masalah. Bukankah memang kita harus berubah, seperti yang sudah lebih dahulu dinisbatkan Charles Darwin melalui teori evolusinya: untuk bertahan, mahluk hidup harus beradaptasi (berubah). Jika tak berhasil berubah, maka berakhirlah mahluk hidup tersebut.
Hanya memang, perubahan yang mereka tawarkan seringkali hanyalah bagian dari kampanye. Setelah mereka terpilih, hanya hari yang berubah. Selebihnya, terutama substansi dan segala yang sudah dijanjikan sama sekali tak ada yang berubah. Nasib rakyatnya pun tak banyak berubah. Kalaupun berubah, biasanya lebih jelek. Dan kalaupun ada nasibnya berubah lebih baik, itu hanya segelintir orang. Yang segelintir orang itu adalah orang yang sebelumnya kaya: pengusaha dan penguasa. Hasilnya, lihatlah rasio gini kita kian hari kian anjlok.
            Ya, kita sepaham bahwa perubahan itu merupakan keharusan. Bahkan, Evelyin Waugh berkata bahwa perubahan itu merupakan satu-satunya bukti kehidupan. Dengan kata lain, kalau kita tak berubah, sesungguhnya kita sedang tak hidup. Nah, kembali ke basis masalah, ke iklan yang tadi, bagaimana kita harusnya berubah? Pertanyaan yang lebih penting, sesuai dengan kondisi kekinian, siapa yang seharusnya berubah? Atau, biar lebih lunak, siapa yang mestinya duluan berubah dan memberi contoh?
            Rhenald Kasali bilang, sesungguhnya manusia itu enggan “diubah”, bukan enggan “berubah”. Ternyata perkataan ini bukan pepesan kosong! Buktinya iklan tadi. Siapa pun yang buat iklan itu, mereka sesungguhnya tak mau berubah sebelum masyarakat berubah. Kalau yang buat iklan ini birokrat, merekalah yang tak mau berubah. Mereka masih nyaman dengan kondisi sekarang: diagung-agungkan dan dipuji-puji. Atau yang lebih seronok, mereka masih nyaman sehingga belum mau berubah dari perilaku persekongkolan untuk mencatut nama rakyat demi ambisi pribadi.
            Akhirnya, rakyatlah yang dipaksa berubah. Ibu rumah tangga dipaksa berbenah, berhemat, dan mendidik anak. Anak-anak disuruh berubah agar tak membuang sampah. Pedagang disarankan bekerja sama. Supir diingatkan agar tak melanggar lampu merah. Pemerintahnya sendiri tak berubah. Tak ada saran untuk mereka. Mereka hanya menyuruh orang berubah tanpa mau sedikit pun berubah. Di sini, tampaklah perubahan itu sesuatu yang sulit.
Harus Ada Panutan
            Dan lagi-lagi, beberapa statement dari para ahli itu benar. Stephen Covey, penulis buku Seven Habits, pernah menegaskan bahwa perubahan itu memang menyakitkan, terutama bagi mereka yang sekarang berada pada zona nyaman. Lihat saja kondisi teranyar. Ada Ketua DPR tak mau berubah. Dia tak mau mundur dari jabatannya karena masih nyaman dengan posisinya betapa pun banyak rakyat sudah menginginkannya hengkang. Sudah jelas-jelas melanggar etika, tetapi dengan dalih tak mau berubah, dia tetap tak mundur. Alih-alih mundur, dia malah menuntut dan mengadu ke polisi.
            Lucu sekali memang. Tetapi begitulah kenyataan, kita hanya mau orang lain berubah. Bahkan, dengan kekuasaan yang dimiliki, seseorang atau sekelompok orang, katakanlah itu pemerintah, seringkali memaksa rakyat untuk berubah. Mereka beranggapan bahwa hanya merekalah yang benar dan yang lain salah. Yang salah itulah yang harus berubah. Kalau Black dan Gregersen bilang, inilah generasi yang menjadi fanatik dan beranggapan apa yang diketahuinya sebagai segala-galanya, dan yang tidak diketahui sebagai yang nothing.
Itu dapat dipelesetkan bahwa pemerintah menganggap masyarakat tak tahu apa-apa. Padahal, sejujurnya, mengapa rakyat memilih Jokowi dengan jurus utamanya: revolusi mental hanyalah agar pemerintah dengan segenap yang menggelayutinya berubah. Jika selama ini administratif dan menjual tanda tangan, kiranya ke depan mereka melakukan sesuatu yang substantif dan meninggalkan jejak tangan yang baik. Jika selama ini korup, kiranya ke depan mereka tak lagi korup. Jika selama ini mereka cenderung dilayani, kiranya ke depan mereka yang melayani. Inilah inti perubahan paradigma yang diimpikan rakyat.
Karena itulah, menurut saya, iklan itu sangat salah sasaran. Rakyat memang butuh perubahan. Tetapi, harus ada teladan yang mau dicontoh. Alih-alih pada rakyat, iklan ini mestinya harus disasar pada para birokrat kira yang bandal. Merekalah yang harusnya lebih dulu berubah karena memang perubahan itu membutuhkan panutan. Itu seperti ungkapan yang sering kita dengar: roda dengan as atau sumbunya. Kata Rhenald, rakyat merupakan roda dan pemimpin sumbunya. Sedikit saja sumbu (pemimpin) berubah, roda akan bergerak dengan luwes. Beri sedikit contoh, rakyat akan melakukannya lebih banyak. Hampir tanpa iklan. Demikian sebaliknya. Jadi, yang mestinya berubah itu bukan rakyat, tetapi pemimpin!
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt

0 comments: