Riduan Situmorang--Akhir-akhir ini, media kita dihinggapi kata-kata
seruan perubahan. Ada di media cetak, online, juga
televisi. Di media cetak, iklan
perubahan itu bahkan hampir tiap hari dengan judul besar: revolui mental. Barangkali Anda tak membacanya,
tetapi yang di televisi? Saya yakin, Anda pasti sering melihat iklan itu. Bahkan mungkin, terutama yang di televisi, iklan itu sangat mengena di hati karena memang selain sering
dipertontokan, iklan ini juga dikemas dengan sangat lucu. Bagian lucu iklan itu bagi saya adalah ketika seorang anak muda
dengan tatapan kosong dan dengan intonasi yang benar-benar datar hampir tanpa ekspresi bilang: ayo
berubah!
Tetapi, ada satu hal yang mengundang
tanya, yang sekilas itu tak masalah (tetapi bagi saya itu masalah besar), yaitu ketika hampir dari keseluruhan iklan itu tak ada porsi yang mengajak
agar
pemerintah, birokrat, dan sejenisnya berubah. Apa itu artinya selama ini yang menjadi sumber masalah selalu bukan dari
pemerintah sehingga konon yang harus mengecap revolusi mental itu adalah ibu rumah tangga
(dari rumah dulu dibetulin),
anak-anak (jangan buang sampah sembarangan!), supir (tak melanggar
lampu merah), pedagang (kita harus kerja sama), pemuda (kita harus saling menghormati)
dan lain-lain, dan lain-lain? Mana porsi pemerintah dengan
segala tetek bengeknya? Apa
birokrasi kita sudah clean sheet?
Gayung Bersambut
Ya, harus kita akui, aroma
revolusi mental yang diembuskan oleh Jokowi kini menjadi ibarat bahasa universal. Rakyat sangat suka karena memang,
masih banyak yang janggal di
negeri kita. Hasilnya secara buram dapat dilihat dengan terpilihnya Jokowi.
Artinya, melalui Jokowi rakyat menginginkan perubahan. Bagai gayung bersambut, Jokowi pun ternyata menginginkan perubahan.
Bahkan, Jokowi justru menawarkan perubahan. Dan,
perubahan yang digadang-gadang pun bukan perubahan biasa: revolusi mental. Bahasa sederhananya, yang
harus diubah bukan penampilan,
melainkan cara pandang, paradigma, sikap.
Konon, Obama katanya terpilih sebagai Presiden Amerika karena
rakyatnya juga menginginkan perubahan, change.
Rakyat sudah bosan karena itu menginginkan sesuatu yang baru. Setidaknya, secara fisik Obama sudah menawarkan itu. Jika selama ini dipimpin
oleh presiden berkulit putih, Obama
berkulit hitam. Ada yang baru dan ada yang berubah!
Rupanya, virus perubahan yang
digaung-gaungkan Obama ini sangat laris. Terbukti, hampir di setiap pemilihan,
para kandidat kita menjual perubahan. Sesungguhnya, hal demikian lumrah-lumrah saja. Tak Ada masalah. Bukankah
memang kita harus berubah, seperti yang sudah lebih dahulu
dinisbatkan Charles Darwin melalui teori evolusinya: untuk
bertahan, mahluk hidup harus beradaptasi (berubah). Jika tak berhasil berubah, maka berakhirlah mahluk hidup tersebut.
Hanya memang,
perubahan yang mereka tawarkan seringkali hanyalah
bagian dari kampanye. Setelah mereka
terpilih, hanya hari yang berubah. Selebihnya, terutama
substansi dan segala yang sudah dijanjikan sama sekali tak ada yang
berubah. Nasib rakyatnya pun tak banyak
berubah. Kalaupun berubah, biasanya lebih jelek.
Dan kalaupun ada nasibnya berubah lebih
baik, itu hanya segelintir orang. Yang segelintir orang itu adalah orang yang sebelumnya kaya: pengusaha dan penguasa. Hasilnya, lihatlah rasio gini kita kian hari kian anjlok.
Ya, kita sepaham bahwa perubahan
itu merupakan keharusan. Bahkan, Evelyin
Waugh berkata bahwa perubahan itu merupakan satu-satunya bukti kehidupan. Dengan kata lain, kalau kita tak
berubah, sesungguhnya kita sedang tak hidup. Nah, kembali ke basis masalah, ke iklan yang tadi, bagaimana kita harusnya berubah? Pertanyaan yang lebih penting, sesuai dengan kondisi kekinian, siapa yang seharusnya berubah? Atau,
biar lebih lunak, siapa yang mestinya duluan berubah dan memberi contoh?
Rhenald Kasali bilang, sesungguhnya manusia itu enggan “diubah”, bukan enggan “berubah”. Ternyata perkataan
ini bukan pepesan kosong! Buktinya iklan tadi. Siapa pun yang buat
iklan itu, mereka sesungguhnya tak mau
berubah sebelum masyarakat berubah. Kalau yang buat iklan ini birokrat,
merekalah yang tak mau berubah. Mereka masih nyaman dengan
kondisi sekarang: diagung-agungkan dan dipuji-puji. Atau yang
lebih seronok, mereka masih nyaman sehingga belum mau
berubah dari perilaku persekongkolan untuk
mencatut nama rakyat demi ambisi pribadi.
Akhirnya, rakyatlah yang dipaksa berubah. Ibu rumah tangga dipaksa berbenah, berhemat, dan mendidik anak. Anak-anak disuruh berubah agar tak membuang sampah. Pedagang disarankan bekerja sama. Supir diingatkan
agar tak melanggar lampu merah. Pemerintahnya sendiri tak berubah.
Tak ada saran untuk mereka. Mereka hanya
menyuruh orang berubah tanpa mau sedikit pun berubah.
Di sini, tampaklah perubahan itu sesuatu yang sulit.
Harus Ada Panutan
Dan lagi-lagi, beberapa statement
dari
para ahli itu benar. Stephen Covey,
penulis buku Seven Habits, pernah menegaskan bahwa perubahan itu memang menyakitkan, terutama bagi
mereka yang sekarang berada pada zona
nyaman. Lihat saja kondisi teranyar. Ada Ketua DPR tak mau berubah. Dia tak mau
mundur dari jabatannya karena masih nyaman dengan posisinya betapa pun
banyak rakyat sudah menginginkannya hengkang. Sudah jelas-jelas melanggar etika, tetapi dengan dalih tak mau berubah,
dia tetap tak mundur. Alih-alih mundur, dia malah menuntut dan mengadu ke polisi.
Lucu sekali memang.
Tetapi begitulah kenyataan, kita hanya mau orang lain berubah. Bahkan, dengan
kekuasaan yang dimiliki, seseorang atau sekelompok orang, katakanlah itu pemerintah, seringkali memaksa rakyat untuk
berubah. Mereka beranggapan bahwa hanya merekalah yang benar dan yang lain salah. Yang salah itulah yang
harus berubah. Kalau Black dan
Gregersen bilang, inilah generasi yang menjadi fanatik dan beranggapan apa yang
diketahuinya sebagai segala-galanya, dan yang tidak diketahui sebagai yang nothing.
Itu dapat dipelesetkan bahwa pemerintah menganggap masyarakat tak tahu apa-apa. Padahal, sejujurnya, mengapa rakyat memilih Jokowi dengan jurus utamanya: revolusi mental hanyalah
agar pemerintah dengan segenap yang
menggelayutinya berubah. Jika selama ini administratif dan menjual tanda tangan, kiranya ke depan mereka
melakukan sesuatu yang substantif dan
meninggalkan jejak tangan yang baik. Jika selama ini korup,
kiranya ke depan mereka tak lagi korup. Jika selama ini mereka
cenderung dilayani, kiranya ke depan mereka yang melayani. Inilah inti perubahan paradigma yang diimpikan rakyat.
Karena itulah, menurut saya, iklan itu sangat salah sasaran. Rakyat memang
butuh perubahan. Tetapi, harus ada teladan yang
mau dicontoh. Alih-alih pada rakyat, iklan ini mestinya harus disasar pada para birokrat kira yang bandal. Merekalah yang
harusnya lebih dulu berubah karena
memang perubahan itu membutuhkan panutan. Itu seperti ungkapan
yang sering kita dengar: roda dengan as atau sumbunya. Kata Rhenald, rakyat merupakan roda dan pemimpin
sumbunya. Sedikit saja sumbu (pemimpin) berubah, roda akan bergerak dengan luwes. Beri sedikit contoh,
rakyat akan melakukannya lebih banyak. Hampir tanpa iklan. Demikian sebaliknya. Jadi, yang mestinya berubah itu
bukan rakyat, tetapi pemimpin!
Konsultan Bahasa di
Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt
0 comments:
Post a Comment