Rumor politik uang berembus kencang jelang munas salah satu partai
politik. Rumor seperti ini seperti hal yang berulang. Setiap
kongres/munas partai politik dalam pemilihan ketua umum politik uang
mewarnai pemilihan.
Seolah-olah uang menjadi kekuatan yang mampu menyihir anggota pengurus partai untuk memilih ketua partai politik yang mampu membeli suara. Harga dalam berdemokrasi menjadi mahal karena tata nilai politik lebih banyak direduksi untuk kepentingan material belaka. Ongkos politik semakin mahal dan dapat diyakini sangat jauh dalam menghasilkan kualitas parlemen yang memadai.
Parlemen yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam proses menjalankan kedaulatan rakyat masih menjadi sebuah mimpi. Itu semua karena sebagian besar kelompok politik lebih menyukai desain sistem pemilihan yang memihak mereka yang berkemampuan finansial dan memiliki popularitas lebih. Walaupun kecakapan dan kapabilitas mereka dipertanyakan, asal punya uang dan terkenal, mereka akan mampu mengendalikan demokrasi negeri ini.
Tanpa kita sadari, itu semua justru membuat demokrasi kita selama ini terdengar begitu gaduh dan penuh dengan perdebatan tanpa substansi. Kegaduhan itu terjadi saat politik lebih banyak jargon dan janji daripada bukti nyata di tengah rakyat. Partai politik lebih mendengarkan suara pemilik kapital daripada konstituen mereka. Itulah ironi demokrasi itu. Sebuah demokrasi yang tidak berkarakter.
Itu semua membuat bangsa ini semakin tidak memiliki jati diri dan visi masa depan. Kita kehilangan nilai-nilai sejati yang luhur. Kita melihat partai politik yang tidak bervisi akibat mereka tidak memiliki cakrawala ke depan untuk berpikir, bernalar, dan bertindak. Demokrasi pun tak ubahnya aksesori belaka. Ia ditempelkan dalam berbagai baju, tetapi sesungguhnya sudah kehilangan karakternya.
Dalam proses pembahasan sistem pemilihan (UU Pemilu), dapat kita rasakan betapa para kelompok politik tersandera dan terjebak dalam beragam kepentingan transaksional. Atas hal itu, kita meragukan, mampukah pemilu ke depan melahirkan kualitas anggota parlemen yang betul-betul berjuang untuk rakyat?
Demokrasi yang begitu kental dikendalikan kekuatan kapital akan menghancurkan kesetiaan kepada garis ideologi dan visi politik. Kader partai pun hanya berpikir dengan logika ”jual-beli”. Semua tindakan politik dilakukan secara transaksional, rugi dan untung berapa. Itu lantaran politisi terdidik oleh budaya bahwa aktivitas politik merupakan kegiatan untuk mengubah status hidup secara ekonomis.
Politik Oportunis
Kenyataan tersebut membenarkan argumen yang menyatakan secara umum proses transisi politik dari otoriter menuju demokratis saat ini masih terperangkap dalam sistem oligarki. Itu terjadi baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga- lembaga politik, terutama parlemen mulai tingkat pusat hingga daerah.
Politik oligarki telah menghasilkan aturan UU Pemilu yang didasarkan pada kompromikompromi politik yang nyaris bersifat oportunis. Kebijakan politik yang demikian akhirnya hanya akan menghasilkan elite politik baru yang kepeduliannya diragukan untuk memihak kepentingan rakyat banyak. Cukup beralasan pula bila ada pihak yang meragukan apakah setelah pemilu akan menghasilkan perubahan terhadap mutu politik di Senayan dan bahkan penyelenggaraan negara secara luas.
Arti dari semua ini ialah kita masih menunggu sekian waktu untuk ”bersabar” dan lebih tahan terhadap penderitaan yang berkepanjangan akibat elite politik yang tidak prorakyat. Bisa jadi politik uang memang tidak terlalu tampak dalam modus-modus lama. Namun, jika kita melihat begitu besar anggaran yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk dipilih sebagai anggota dewan,
itu berarti kita sedang menonton pertunjukan lain bagaimana politik di Indonesia begitu dekat dengan aroma uang. Mereka yang memiliki dana besar bisa melakukan apa saja untuk merebut simpati rakyat dan sebaliknya. Arti yang lain, simpati rakyat tumbuh akibat citra dan iklan, bukan dari sikap, perilaku, dan tanggung jawab seorang calon wakil rakyat.
Manipulasi Uang
Realitas ini menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di situlah kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, tetapi juga calo media massa yang mampu menghipnosis publik seolah-olah mereka pantas menjadi pemimpin. Gejala ini menggambarkan proses transisi demokrasi sebagaimana dikatakan Schmitter, terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian era transisi.
Mereka sekarang sangat banyak kita jumpai di publik dengan berbagai kedok, sok reformis, sok mengkritik, dan provokatif. Di balik itu semua, ujungujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita dalam berbagai permainan politik. Rakyat tetaplahrakyat yangtidak punya kedaulatannya, tetap termarjinalisasi dari akses-akses politik dan ekonomi.
Itu semua terjadi karena kultur politik kita masih kultur centeng, sok priyayi meski karbitan. Itulah yang menguasai sendi-sendi kehidupan politik kita. Disadari atau tidak, kita ini sebenarnya dikuasai para calo politik, bukan negarawan. Kita perlu membangun budaya baru yang didasarkan pada pertimbanganrasionalitasdalam pemilihan.
Bukan lagi pada mitos dan politik aliran, melainkan pada pertimbangan integritas, kepribadian, dan moralitas calon. Elite politik kita terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti sekadar mengeksploitasi emosi rakyat serta tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan.
Seolah-olah uang menjadi kekuatan yang mampu menyihir anggota pengurus partai untuk memilih ketua partai politik yang mampu membeli suara. Harga dalam berdemokrasi menjadi mahal karena tata nilai politik lebih banyak direduksi untuk kepentingan material belaka. Ongkos politik semakin mahal dan dapat diyakini sangat jauh dalam menghasilkan kualitas parlemen yang memadai.
Parlemen yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam proses menjalankan kedaulatan rakyat masih menjadi sebuah mimpi. Itu semua karena sebagian besar kelompok politik lebih menyukai desain sistem pemilihan yang memihak mereka yang berkemampuan finansial dan memiliki popularitas lebih. Walaupun kecakapan dan kapabilitas mereka dipertanyakan, asal punya uang dan terkenal, mereka akan mampu mengendalikan demokrasi negeri ini.
Tanpa kita sadari, itu semua justru membuat demokrasi kita selama ini terdengar begitu gaduh dan penuh dengan perdebatan tanpa substansi. Kegaduhan itu terjadi saat politik lebih banyak jargon dan janji daripada bukti nyata di tengah rakyat. Partai politik lebih mendengarkan suara pemilik kapital daripada konstituen mereka. Itulah ironi demokrasi itu. Sebuah demokrasi yang tidak berkarakter.
Itu semua membuat bangsa ini semakin tidak memiliki jati diri dan visi masa depan. Kita kehilangan nilai-nilai sejati yang luhur. Kita melihat partai politik yang tidak bervisi akibat mereka tidak memiliki cakrawala ke depan untuk berpikir, bernalar, dan bertindak. Demokrasi pun tak ubahnya aksesori belaka. Ia ditempelkan dalam berbagai baju, tetapi sesungguhnya sudah kehilangan karakternya.
Dalam proses pembahasan sistem pemilihan (UU Pemilu), dapat kita rasakan betapa para kelompok politik tersandera dan terjebak dalam beragam kepentingan transaksional. Atas hal itu, kita meragukan, mampukah pemilu ke depan melahirkan kualitas anggota parlemen yang betul-betul berjuang untuk rakyat?
Demokrasi yang begitu kental dikendalikan kekuatan kapital akan menghancurkan kesetiaan kepada garis ideologi dan visi politik. Kader partai pun hanya berpikir dengan logika ”jual-beli”. Semua tindakan politik dilakukan secara transaksional, rugi dan untung berapa. Itu lantaran politisi terdidik oleh budaya bahwa aktivitas politik merupakan kegiatan untuk mengubah status hidup secara ekonomis.
Politik Oportunis
Kenyataan tersebut membenarkan argumen yang menyatakan secara umum proses transisi politik dari otoriter menuju demokratis saat ini masih terperangkap dalam sistem oligarki. Itu terjadi baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga- lembaga politik, terutama parlemen mulai tingkat pusat hingga daerah.
Politik oligarki telah menghasilkan aturan UU Pemilu yang didasarkan pada kompromikompromi politik yang nyaris bersifat oportunis. Kebijakan politik yang demikian akhirnya hanya akan menghasilkan elite politik baru yang kepeduliannya diragukan untuk memihak kepentingan rakyat banyak. Cukup beralasan pula bila ada pihak yang meragukan apakah setelah pemilu akan menghasilkan perubahan terhadap mutu politik di Senayan dan bahkan penyelenggaraan negara secara luas.
Arti dari semua ini ialah kita masih menunggu sekian waktu untuk ”bersabar” dan lebih tahan terhadap penderitaan yang berkepanjangan akibat elite politik yang tidak prorakyat. Bisa jadi politik uang memang tidak terlalu tampak dalam modus-modus lama. Namun, jika kita melihat begitu besar anggaran yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk dipilih sebagai anggota dewan,
itu berarti kita sedang menonton pertunjukan lain bagaimana politik di Indonesia begitu dekat dengan aroma uang. Mereka yang memiliki dana besar bisa melakukan apa saja untuk merebut simpati rakyat dan sebaliknya. Arti yang lain, simpati rakyat tumbuh akibat citra dan iklan, bukan dari sikap, perilaku, dan tanggung jawab seorang calon wakil rakyat.
Manipulasi Uang
Realitas ini menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di situlah kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, tetapi juga calo media massa yang mampu menghipnosis publik seolah-olah mereka pantas menjadi pemimpin. Gejala ini menggambarkan proses transisi demokrasi sebagaimana dikatakan Schmitter, terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian era transisi.
Mereka sekarang sangat banyak kita jumpai di publik dengan berbagai kedok, sok reformis, sok mengkritik, dan provokatif. Di balik itu semua, ujungujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita dalam berbagai permainan politik. Rakyat tetaplahrakyat yangtidak punya kedaulatannya, tetap termarjinalisasi dari akses-akses politik dan ekonomi.
Itu semua terjadi karena kultur politik kita masih kultur centeng, sok priyayi meski karbitan. Itulah yang menguasai sendi-sendi kehidupan politik kita. Disadari atau tidak, kita ini sebenarnya dikuasai para calo politik, bukan negarawan. Kita perlu membangun budaya baru yang didasarkan pada pertimbanganrasionalitasdalam pemilihan.
Bukan lagi pada mitos dan politik aliran, melainkan pada pertimbangan integritas, kepribadian, dan moralitas calon. Elite politik kita terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti sekadar mengeksploitasi emosi rakyat serta tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan.
ROMO BENNY SUSETYO , Pr.
Koran Sindo, 02/03/2016
Budayawan, Rohaniwan Katolik
Budayawan, Rohaniwan Katolik
0 comments:
Post a Comment