Riduan Situmorang
Kasus korupsi di sekujur jabatan penting di Sumut
yang disorot habis-habisan oleh media baru-baru ini, menurut saya, melahirkan
pedang bermata dua. Pertama, ini
seakan menjadi bukti konkret, “budaya” Sumut memang telah melegitimasi korupsi.
Kedua, karena yang pertama tadi, maka
warga Sumut harus berbalik meninggalkan budayanya itu. Memalukan sekali jika
terus-menerus disorot karena kasus korupsi.
Sudah menjadi guyonan biasa kalau orang Sumut
(khususnya Batak) disebut-sebut tak bisa, mungkin untuk tidak menyebut tak
boleh, menjadi presiden. Alasannya, kalau orang Batak menjadi presiden, maka
yang menjadi menterinya adalah kerabat-kerabatnya. Maklum, kekeluargaan pada
orang Batak memang sangat kuat. Sebab, orang Batak memiliki fatwa Dalihan Na Tolu (tiga tungku). Ada hula-hula (raja), dongan sabutuha (saudara yang bermarga sama), dan boru (anak perempuan berikut
keluarganya).
Baiklah dibeberkan sekilas tentang Dalihan Na Tolu itu di sini. Saya
bermarga Situmorang dan mempunyai seorang saudara perempuan yang, misalnya,
menikah dengan orang bermarga Lumban Gaol. Lumban Gaol inilah boru dan kami, Situmorang, rajanya. Jika saya menikah dengan Boru
Manurung, maka yang menjadi hula-hula adalah
marga Manurung. Saya menjadi pesuruh (boru)
ketika Manurung mengadakan pesta, tetapi bagi Lumban Gaol, saya menjadi raja. Dongan sabutuha adalah mereka yang
bermarga yang sama dengan saya: Situmorang. Inilah bagian yang tak terpisahkan
dalam adat Batak. Jika saja salah satu dari ketiga bagian ini tak ada, sudah
pasti pesta adat itu dinyatakan gagal.
Bagian dari
Kejengkelan
Adapun ayat turunan yang menjadi keharusan pada Dalihan Na Tolu adalah (1) hormat kepada raja, (2) baik dan pintar mengambil hati boru, dan (3) hati-hati
bersikap pada dongan sabutuha. Aturan ini benar-benar keharusan. Maka itu,
di mana pun orang Batak akan selalu sangat hormat pada hula-hula. Sementara itu, hula-hula
harus pintar mengambil hati boru. Orang
Batak mesti pula hati-hati bersikap terhadap saudara semarganya. Itulah
sebabnya, meski, misalnya, saya orang terpandang dan kebetulan ada orang
bermarga Manurung hanya gelandangan, saya tetap menjadi pesuruh bagi gelandangan tadi.
Nah, adakah kaitan Dalihan Na Tolu dengan korupsi di Sumut? Maaf, saya hanya
menduga-duga, sekaligus bagian dari kejengkelan karena merasa telah diperdaya
oleh para koruptor. Bagaimanapun, bagi saya, filosofi adat kami tetaplah
sesuatu yang baik dan sakral.
Konon, Syamsul Arifin, mantan Gubsu yang juga
korupsi, belakangan diberi marga Silaban, pada sebuah acara keagamaan kristiani
mengatakan, filosofi Dalihan Na Tolu sangat
berpeluang diaplikasikan pada pemerintahan Sumut. Saya tak tahu tepatnya apa
alasannya. Apakah itu hanya rayuan atau memang sebuah simpati. Yang pasti (saat
itu saya bangga), setiap ada pemilu, para calon sering “membeli” marga.
Tujuaannya pasti sudah diketahui: mencari suara sebanyak-banyaknya.
Bagi orang Batak, selain sebagai kebanggaan, membeli
dan menabalkan marga merupakan sesuatu yang sakral. Ini pesta yang besar
sehingga unsur-unsur di Dalihan Na Tolu harus
diundang. Ini membutuhkan fee yang
tak sedikit, tetapi di balik itu, mereka juga sangat berpeluang mendatangkan
massa atau suara suara dari berbagai marga, entah itu dari marga boru, hula-hula, ataupun dongan tubu.
Marilah sekilas berprasangka! Jika yang baru saja
marganya ditabalkan kelak menang, kerabat-kerabat dari yang menang ini
kemungkinan besar menempati posisi-posisi penting. Inilah nepotisme atau dalam
istilah kekinian disebut balas budi untuk tak menyebut bagi-bagi kursi. Ini
barangkali hanya praduga yang menyesatkan. Yang pasti, jika Dalihan Na Tolu ini dipisah dari ritual
dan diseret ke politik, kemungkinan besar akan lahirlah dinasti-dinasti korup,
persis seperti yang kini terjadi di sekujur pemerintahan Sumut. Bagaimana itu
terjadi?
Ini hanya analogi. Dalihan Na Tolu tetaplah sesuatu yang sakral, tetapi karena pernah
dicuatkan filosfi ini diaplikasikan, saya menangkap kesan, dalam hal ini,
filosofi sakral ini telah disalahgunakan. Bagaimana? Katakanlah, misalnya, boru sebagai pesuruh yang harus hormat
pada hula-hula. Dongan sabutuha harus
diikutkan sebagai teman berpikir. Jika dimisalkan pada birokrasi di negeri ini,
boru itu adalah mereka yang bekerja
di eksekutif. Mereka ini pesuruh yang harus menghormat yudikatif (hula-hula). Hula-hula tugasnya selalu memberi wejangan dan berkat. Dongan sabutuha adalah mereka yang di
legislatif.
Apakah pendistorsian Dalihan Na Tolu ini yang dilakukan oleh para tersangka korupsi dari
Sumut? Sebagai wujud rasa hormat, misalnya, eksekutif sampai-sampai memberi
“mahar” (sinamot) kepada yudikatif?
Eksekutif pula melayangkan undangan (togu-togu
ro) kepada legislatif sehingga lahirlah pesta korupsi?
Peka dan Malu
Sinamot adalah mahar yang diberikah kepada hula-hula ketika akan menikahi putrinya.
Pada orang Batak, sinamot itu urusan
kesepakatan setelah transaksi-terbuka. Transaksi ini dilakukan melalui acara
yang disebut marhori-hori dinding,
marhusip, marhata sinamot, dan manaruhon
situtungon. Pada acara ini, pihak hula-hula
biasanya cenderung menaruh harga tinggi. Sementara itu, parboru dengan sekuat hati akan membujuk
agar mahar disesuaikan dengan kemampuan. Hanya memang, ada pemelsetan jika sinamot mahal, itu artinya boru sudah menghormati hula-hula.
Yang pasti, sinamot
adalah urusan keterbukaan dan kesepakatan. Semua orang tahu itu. Bahkan untuk
kemeriahan pesta, orang Batak sering mengundang dongan sabutuha, juga yang lainnya kalau memungkinkan dengan togu-togu ro (ibarat ongkos). Saya
curiga acara marhata sinamot ini
sudah dilarikan ke ranah politik. Di sini, sinamot
tak lagi urusan keterbukaan. hula-hula
dalam hal ini memang sangat dihargai dengan sinamot yang tinggi. Dongan
sabutuha bahkan keriangan karena dititipi togu-togu ro.
Apakah ini yang terjadi di Sumut sehingga eksekutif-yudikatif-legislatif
berpartisipasi dalam pesta yang sinamot-nya
dibicarakan sangat tertutup? Kemudian setelah terkuak, kita terkejut dan muak
karena tak diundang pada pesta akbar ini? Jika masyarakat diundang ketika marhata sinamot, ini jelas bukanlah
pesta korupsi, melainkan pesta suci.
Ada lagi semacam tradisi bagi orang Batak yang
menurut saya “melegitimasi” pencurian. Dulu, di kampung, kita diperbolehkan
mengambil cabai, sayur-sayuran, dan tanaman lainnya tanpa permisi. Permisinya
bisa belakangan, bahkan setelah habis. Yang empunya tak marah dan bahkan enjoy-enjoy saja. Harap dicatat, ukuran yang
kita ambil harus sewajarnya dan untuk keperluan saja. Tak bisa untuk dijual,
apalagi kalau untuk memperkaya diri sendiri.
Kali ini, sebagai pemilik ladang, saya tak
melegitimasi pencurian dari para pejabat. Ini sudah bagian dari memperkaya
diri, bahkan paling tragis, sudah masuk pada memiskinkan kami sang empunya ladang
Orang Batak punya cara tersendiri menghukum orang
yang bersalah: mangindahani. Mangindahani
merupakan bagian dari bentuk penyadaran sekaligus membuat yang bersalah
peka pada rasa malu. Ini perlu dilakukan karena memang korupsi terjadi bukan
lagi semata karena serakah, melainkan karena hilangnya kepekaan dan rasa malu.
Artinya, jika mereka korupsi di tempat gelap atas nama budaya, maka kita harus
menyadarkan dengan budaya pula di tempat yang terang agar mereka peka terhadap
rasa malu.
Penulis Adalah
Peminat Sastra yang Bergelut di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan
0 comments:
Post a Comment