Saya teringat kembali pada Anas Urbaningrum karena Jokowi pergi blusukan ke Hambalang baru-baru ini. Di mata kita tentu Anas adalah seorang legenda koruptor. Tetapi, dia hanya legenda yang terlihat, sebab, masih ada legenda lainnya yang belum tampak. Sederhana saja, mungkinkah korupsi hanya dilakukan oleh satu orang? Korupsi itu sebuah hasil dari kerja sama yang apik. Maka itu, bagi saya, Anas bukanlah satu-satunya tokoh. Lalu, kalau demikian, siapa tokoh lain itu?
Nah sekarang, mari coba bermain tebak-tebakan, menurut Anda, bagaimana karakter aktor yang ada di luar Anas itu? Besar, kecil, berpengaruh, atau biasa-biasa saja? Untuk mengetahuinya kalau Anda tidak keberatan mari saya bawa Anda ke logika berpikir sederhana.
Posisikan diri Anda sekarang sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Katakanlah kalian tiga bersaudara sedang mencuri uang ibu Anda lantaran uang jajan kurang, atau pengen beli permainan uno karena sedang suntuk di rumah. Kebetulan, Anda menjadi eksekutor pengambil uang itu dan adik Anda yang membelikannya ke toko terdekat. Sementara itu, Abang Anda cukup santai saja di rumah mengatur pergerakan sembari menunggu aksi kalian berhasil.
Tidak Tega dan Nekat
Akhirnya, aksi kalian kemudian ternyata berhasil. Kalian bisa menikmati permainan uno yang menggelikan untuk melawan rasa suntuk. Setelah puas main uno, secara tidak terduga, tiba-tiba beberapa hari kemudian, katakanlah orang tua Anda sadar telah kehilangan uang. Entah karena angin apa pula, ketahuan pula bahwa pencuri uang tersebut berada di antara kalian. Sialnya, karena mungkin Anda sebagai orang jujur—jujur dalam artian mau mengakui kesalahan sendiri—Andalah yang dihukum.
Ibu Anda ternyata orang bijak karena uno tidak mungkin dimainkan sendirian, berarti pencurinya lebih dari satu orang. Dia bertanya—nama Anda sekarang si Polan, maaf kalau nama itu jelek—“Polan, siapa kawanmu mencuri uang Ibu?” Kita andaikan nama adik Anda si Budi dan abang si Harry. “Ikut ga si Budi dan Harry?”
Sekarang saya tanya, apakah Anda berani menyebut nama Budi? Pasti karena posisinya adalah adikan. Paling banter, itu pun kalau Anda mau berkorban, Anda hanya merasa tidak tega saja. Nah, lalu, bagaimana dengan Harry, apakah Anda berani menyebut namanya? Iya, mungkin berani, tetapi berani di sini sudah nekat. Bahkan, bisa saja Anda tidak nekat kalau abang Anda “kejam”. Anda pasti tahu apa perbedaan tidak tega dengan nekat, bukan?
Nah, apa kaitannya dengan Anas? Percayalah, masih banyak “Harry-Harry” lain. Mungkin mereka sedang menekan Anas dan Anas tidak “nekat” melawan karena sudah kehilangan data-data tertulis. Hal itu dapat kita tangkap secara serampangan dari ucapan Anas yang pernah bersumpah akan menggantungkan diri di Monas apabila terbukti mencuri uang rakyat barang sepeser pun. Kita sesali Anas terlalu jauh mengungkapkan hal ini.
Akan tetapi, jika kita memahami konspirasi sebagai pengalihan jejak dan pengambinghitaman, tidak tertutup kemungkinan bahwa Anas merupakan bagian dan objek dari konspirasi itu. Bagaiman konspirasi itu terjadi? Saya tidak akan mengajak Anda bermain lagi! Yang pasti, kesalahan Anas tetaplah sebuah kesalahan yang harus dikutuk. Masalahnya, kita tak boleh melupakan hal lain yang lebih kejam dari kesalahan itu.
Apa yang lebih kejam itu? Pengondisian Anas sebagai satu-satunya tokoh yang benar-benar menjadi korban. Di sini, dosis kekuatan politik lebih tinggi daripada dosis kekuatan hukum. Jadi, ini bukan semata soal hukum, melainkan juga soal politik. Kita tahu, dalam politik semuanya gelap. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Ketika suka, kita agung-agungkan, ketika tidak, dibuang begitu saja.
Indikasinya jelas, yaitu opini yang beredar selama ini lebih banyak menyalahkan Anas. Hampir tidak ada berita yang memberi kekuatan kepadanya agar Anas “nekat” mengungkapkan siapa “hary-hary” lain. Siapa yang membangun opini itu? Saya tidak mau menuduh pers. Pers hanya memberitakan apa yang dilihatnya dalam persidangan. Yang mungkin dituduh di sini adalah justru persidangan itu sendiri, tepatnya siapa yang mengatur persidangan. Dasar tuduhannya begini, mengapa mereka menyajikan persidangan yang tidak berimbang. Padahal, persidangan itu disajikan demi keadilan, bukan demi yang lain.
Begini saja, selama persidangan Anas telah dihadirkan 104 orang saksi, yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang dihadirkan JPU, dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut: 91 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU, 3 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 6 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum, serta 4 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum. Apakah itu berimbang?
Serba Terbuka
Sadarlah, hasil yang demikian selain tragis untuk Anas, tragis juga untuk kita. Tragisnya, banyak tokoh yang di belakang Anas menjadi tersembunyikan secara sengaja seakan-akan Anas sendirilah yang bersalah. Maaf, saya tidak sedang berusaha membela Anas. Saya sedang coba membela hak dan kepentingan kita secara lebih dalam. Sebab, Anas hanyalah bagian kecil.Saya katakan demikian bukan berarti dia tidak pantas dihukum, tetapi ingat, bukan hanya dia. Jadi siapa saja mereka itu?
Semua kemungkinan bisa terjadi, entah itu mantan presiden, entah itu mantan ketua partai, entah itu teman dekat Anas, entah itu musuh politknya. Semua serba terbuka. Bukankah presiden, ketua partai, teman dekat Anas, musuh Anas juga manusia yang bisa kecebur pada kasus korupsi? Bukankah politik merupakan seni? Seperti kita pahami, politik sebagai seni dapat menghaluskan yang kasar. Demikian juga sebaliknya!
Dalam hal ini, apalagi sebagai masyarakat awam, yang bisa kita perbuat selain doa hanyalah menguatkan Anas sebagai terdakwa untuk mampu tega dan nekat. Bahasa hukumnya, mampu menjadi whistleblower. Sebab sudah pasti Anas tidak sendiri.
Ada banyak “budi” dan “harry” lainnya. “Budi” sudah banyak tertangkap, tetapi “harry” belum. Pertanyaan sekaligus harapannya, bisakah Jokowi memberi keberanian dan menjamin keberanian itu agar Anas tidak hanya berani, tetapi juga nekat menyebut nama-nama “budi” dan “harry” demi kebaikan kita agar Hambalang tidak lagi menjadi tempat tumbuh ilalang, tetapi menjadi tempat tumbuhnya keadilan dan kebenaran? Semoga!
Penulis pegiat Literasi, aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan.
0 comments:
Post a Comment