Saturday, 26 March 2016

Budaya Formalitas PNS

Reformasi mental menjadi semboyan ”yang dijual” Presiden Joko Widodo pada masa kampanye capres lebih setahun yang lalu.
Semangat ini pun menjadi roh yang menjiwai seluruh program kerja Jokowi. Kinerja aparat pemerintah (PNS) pun selalu menjadi sorotan publik. Di era digital, isu-isu yang berhubungan dengan kinerja pelayan masyarakat mudah sekali tersebar melalui media sosial. Masyarakat menjadi ”semakin berani” melaporkan segala tindakan tidak pantas yang dilakukan oknum PNS.

Pendisiplinan

Foucault, seorang sosiolog Prancis, menyebutkan bahwa kekuasaan bisa menjadi mekanisme mengatur perilaku individu. Ia memaknai kekuasaan bukan sebatas konsep yang berhubungan larangan, hukuman fisik, pemaksaan, dan mekanisme lainnya. Mekanisme kekuasaan yang efektif untuk mengatur perilaku dilakukan melalui ritual pendisiplinan.

Ini adalah mekanisme untuk membentuk perilaku individu yang patuh, didasarkan pada seperangkat norma melalui serangkaian sistem kontrol. Pembentukan disiplin merupakan perbaikan ketaatan dan kesetiaan melalui pengaturan sehingga individu menjadi lebih canggih, efisien, dan ekonomis karena mereka selalu berada di bawah pengawasan. Mekanisme berikutnya adalah penyusunan serangkaian standar perilaku atau disebut normalisasi.

Normalisasi merupakan serangkaian prosedur untuk menentukan sejumlah norma yang mampu membedakan ”budaya baik” dan ”budaya buruk”. Norma merupakan pembatas perilaku ind i v i d u . Melalui n o rma ini pula, masya - r a k a t b i s a membed a k a n mana perilaku aparat yang baik dan mana yang buruk. Mekanisme pendisiplinan terakhir adalah proses evaluasi. Foucault menyebut proses ini sebagai proses individualisasi. Dalam tahap ini, setiap individu akan dinilai dan dikelompokkan sesuai dengan norma yang telah ditentukan pada tahap sebelumnya.

Dengan norma tersebut, setiap individu akan dikelompokkan apakah ia masuk dalam kelompok individu yang taat, disiplin, memiliki kinerja yang baik, atau justru sebaliknya. Bila individu berada dalam kelompok yang tidak diinginkan masyarakat maka ia mendapatkan sanksi.

Budaya Formal(itas)

Dalam kehidupan sosial, ketiga tahap tersebut sebenarnya telah dilakukan untuk mengawasi setiap perilaku pelayan masyarakat serta mengawasi perilaku masyarakat. Dalam penilaian kinerja, norma menjadi alat kontrol pasif, sementara respons masyarakat menjadi alat kontrol aktif. Mereka mampu memberikan reaksi ketika ada aparat yang bekerja tidak sesuai dengan harapan mereka.

Masyarakat akan komplain, protes, atau bahkan melakukan demonstrasi. Inilah bentuk kekuasaan, yang sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh pemerintah atau aparat keamanan. Masyarakat juga memiliki kekuasaan mengatur pemerintah dengan segala cara. Kolom surat pembaca sebagai sarana menyampaikan aspirasi melalui surat kabar merupakan alat komunikasi efektif untuk mewujudkan kekuasaan individu sebagai pengguna layanan masyarakat. Setiap hari kolom-kolom surat pembaca penuh dengan berbagai kritik dari masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah juga memiliki mekanisme untuk mengontrol kinerja bawahannya melalui situs LAPOR (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Melalui situs ini, masyarakat dapat bebas menyampaikan keluhannya secara online . Namun masalahnya, efektifkah mekanisme tersebut mengubah kinerja aparat pelayan masyarakat? Bagi sebagian individu, mekanisme ini efektif, namun bagi sebagian yang lain, ini tidak memberikan banyak perubahan.

Pertama, dalam sebagian instansi pemerintahan, kritik masyarakat dipandang angin lalu saja. Bahkan, kritik tersebut tidak mampu menjadi alat ampuh untuk sekedar memberikan sanksi sosial maupun sanksi administratif bagi oknum pegawai yang tidak bekerja sesuai standar. Siapa yang berhak menilai dan mengontrol oknum tersebut? Dalam peraturan kepegawaian, pegawai diawasi dan dinilai oleh ”atasan”.

Faktor inilah yang sering kali menjadi kendala karena atasan para pegawai adalah ”teman baik” para oknum pegawai. Mereka tidak mungkin memberikan sanksi dengan sangat mudah. Masalah lain, para pejabat di sebuah instansi tidak dipilih berdasarkan pertimbangan kualitas personal, mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena memiliki track record yang baik. Banyak pejabat di instansi pemerintahan dipilih karena alasan politis, mereka memiliki kedekatan dengan pemimpin daerah. Jabatan kepala dinas dan sebagainya, menjadi jabatan untuk membayar hutang budi pimpinan daerah. Ini yang harus segera direformasi.

Kedua, budaya kerja di instansi pemerintahan (termasuk lembaga pendidikan) masih didasarkan pada kepentingan formalitas belaka. Mekanisme absen sebagai pengawas status kehadiran PNS sebenarnya hanyalah formalitas belaka. Secara de facto, frekuensi kehadiran sampai penghitungan jam dan menit kedatangan dan kepulangan seorang PNS tidak berkorelasi dengan kualitas kerja mereka.

Mereka hanya ”hadir” di kantor, tapi mesin absen tidak bisa mengontrol aktivitas mereka di kantor. Penghitungan frekuensi kehadiran hanya berkorelasi pada jumlah uang makan yang diterima PNS. Bila ini yang terjadi maka banyak anggaran terbuang sia-sia. Mereka mendapat uang makan setiap hari namun mereka tidak mengimbanginya dengan kinerja yang baik.

Di lembaga pendidikan, banyak beban kerja guru dan dosen adalah formalitas belaka. Guru dan dosen menyusun rencana pembelajaran setiap semester sebenarnya hanya untuk memenuhi dokumen formalitas. Tim pengawas yang datang dari dinas pendidikan juga hanya melakukan pengawasan formalitas. Sebagian besar dari mereka hanya mengawasi kelengkapan dokumen administratif.

Bahkan, ada oknum pengawas yang meminta ”uang saku” dari sekolah ketika melakukan tugas pengawasan. Ketika dosen di perguruan tinggi melakukan penelitian, mereka justru disibukkan dengan tugas-tugas yang bersifat formalitas belaka: mengumpulkan bukti-bukti keuangan dan dokumen administratif lainnya.

Sementara Dikti tidak ambil pusing pada masalah proses dan substansi hasil penelitian. Seolah bagi mereka, yang penting semua pengeluaran ada bukti hitam di atas putih, dan anggaran habis terserap. Begitu pun dalam tugas pendidikan dan pengajaran, dosen atau guru hanya memenuhi jumlah tatap muka. Masalah dosen atau guru memiliki kemampuan mengajar yang baik atau tidak, mereka kreatif atau tidak, bukanlah pertimbangan utama.

Yang penting bagi pemerintah, mereka bisa mengajar sekian SKS. Simpel, indikator kinerja hanyalah formalitas. Bila mengacu pada tesis Foucault, masalah utama sebenarnya berada ada ”standar norma”. Selama ini PNS berada dalam ”zona nyaman” karena peraturan tentang PNS sangat longgar. Dalam masalah absen, seorang PNS hanya bisa dipecat bila ia tidak masuk tanpa alasan setelah sekian hari berturut-turut.

Untuk mereformasi kerja aparat pemerintah, pemerintah harus mengubah standar kerja. Standar kerja bukanlah sebatas formalitas sehingga standar tersebut harus diikuti dengan standar penilaian kerja.

”Zona nyaman” PNS harus dihapus. Bila memungkinkan, semua PNS diposisikan sebagai PNS kontrak. Konsekuensinya, kinerja PNS dievaluasi secara berkala. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan apakah mereka layak memperpanjang kontrak atau tidak. 

Nanang Martono
Koran Sindo, 26/03/2016
Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

0 comments: