Dalam APBN 2016, pemerintah
menargetkan pendapatan negara Rp1.822,5 triliun.
Sementara itu, belanja negara di
anggarkan sebesar Rp2.095,7 triliun sehingga defisit diperkirakan sebesar
Rp273,2 triliun, atau 2,15% dari PDB.
Tanpa memperhitungkan potensi
penerimaan dari tax amnesty sekitar Rp60 triliun-Rp100 triliun, defisit APBN
2016 pasti akan melebar karena penerimaan pajak nonmigas tahun ini akan meleset
dari target.
Setelah melihat itu semua, menjadi
wajar apabila beberapa pihak yang menyadari akan besarnya potensi pelebaran
defisit APBN, banyak dari mereka yang telah menyarankan Pemerintah untuk
mengurangi belanja.
Namun, dalam kondisi makroekonomi
yang belum pulih sebelumnya, mengurangi anggaran belanja rasanya bukan jalan
yang terbaik.
Apalagi dengan performa sektor
swasta yang belum pulih (dilihat dari sisi pengeluaran dan output dari sektor
swasta).
Melakukan efisiensi dalam anggaran
belanja negara juga tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Selain itu, pemotongan belanja pada
APBN pasti akan berdampak pada proyek baik yang baru akan dimulai maupun yang
sedang berjalan.
Itu pada gilirannya akan berdampak
juga pada keterlambatan penyelesaian program pemerintah.
Penurunan suka bunga acuan (BI rate)
yang dilakukan Bank Indonesia selama dua bulan berturut-turut juga rasanya
tidak akan cukup bila menjadi tumpuan untuk mendorong perekonomian.
Apalagi bila itu diharapkan akan
membuat sektor swasta dan rumah tangga untuk segera berbelanja dan
berinvestasi, yang kemudian memutar kembali roda ekonomi.
Kita juga sebaiknya cukup bijak
melihat yang terjadi pada negara-negara maju. Setelah krisis finansial 2008,
negara-negara maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical.
Namun, pada pertengahan 2010, dengan
cepat mereka mengubah haluan menjadi pengetatan kebijakan fiskal (austerity).
Alhasil, karena ekonomi belum
sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal justru membuat permintaan swasta
menjadi jauh lebih rendah daripada masa sebelum krisis terjadi.
Maastricht Treaty
Ketergantungan untuk mendorong kembali ekonomi berada pada penyangga fiskal (fiscal buffer) atau kemampuan untuk membiarkan defisit anggaran membesar sebagai respons dari menurunnya performa sektor swasta.
Ketergantungan untuk mendorong kembali ekonomi berada pada penyangga fiskal (fiscal buffer) atau kemampuan untuk membiarkan defisit anggaran membesar sebagai respons dari menurunnya performa sektor swasta.
Oleh karena itu, apabila pemerintah
berkehendak untuk mengajukan APBN Perubahan 2016, salah satu yang perlu menjadi
topik utama dengan para anggota dewan ialah masalah penyangga fiskal.
Selama ini, UU Keuangan Negara
mengacu pada Maastricht Treaty atau Undang-Undang Dasar (UUD) Uni Eropa, yang
mensyaratkan rasio defisit terhadap PDB tidak boleh melebihi 3%.
Masalahnya Maastricht Treaty berasal
dari kepercayaan bahwa sektor swasta akan mampu mengoreksi dirinya sendiri
untuk mencapai potensi penuh (full-potential).
Selain itu, Maastricht Treaty dapat
dikatakan sebagai asymmetrical rule (peraturan yang asimetris) karena tidak
terdapat batas atas dalam peraturan tersebut.
Dengan kata lain, secara tidak
langsung, Maastricht Treaty mengingkari kebutuhan intervensi kebijakan yang
bersifat counter-cyclical.
Pengingkaran terhadap kebijakan
counter-cyclical itu menjadi tidak relevan dalam kondisi Indonesia saat ini
karena, seperti yang diutarakan sebelumnya, kondisi ekonomi yang sedang melemah
dan belum membaiknya performa sektor swasta sangat membutuhkan intervensi
kebijakan dari APBN.
Apalagi, terjadi juga salah kaprah
dalam pengertian defisit anggaran baik yang ada di Maastricht Treaty maupun
yang sudah diterjemahkan dalam UU Keuangan Negara.
Dalam kedua dokumen tersebut,
defisit anggaran didefinisikan sebagai total pendapatan dikurangi dengan
penerimaan.
Pengertian defisit macam itu bisa
menjadi menyesatkan bila salah diterjemahkan.
Terminologi tersebut membuat kita
tidak bisa melihat usaha kebijakan fiskal untuk mengurangi beban utang negara
yang dilakukan setiap tahun.
Sebagai gambaran, bila tingkat bunga
nominal pada utang pemerintah tidak lebih besar daripada pertumbuhan nominal
PDB, surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang
pemerintah terhadap PDB akan turun.
Padahal, yang terjadi bisa saja
sebaliknya: utang pemerintah justru bertambah.
Indikator yang lebih tepat digunakan
ialah indikator keseimbangan primer, yang didapat dari nilai keseluruhan
defisit dikurangi bunga pada utang publik (IMF, 1995; Weeks 2016).
Dengan menggunakan indikator
keseimbangan primer, dapat tersedia indikator untuk melihat usaha fiskal saat
ini (current fiscal effort).
Negara yang memiliki utang yang
besar (dalam pengertian utang terhadap PDB) mencapai surplus primer akan
menjadi penting untuk mengurangi rasio utang per PDB.
Oleh karena itu, sekali lagi kami
tekankan, kuncinya sekarang berada pada topik yang akan dibahas pemerintah dan
DPR dalam pembahasan APBN Perubahan 2016.
Apabila pemerintah dan DPR berkukuh
dan tidak memberikan ruang kelonggaran akan defisit fiskal, kebijakan
counter-cyclical untuk mendorong perbaikan ekonomi lewat APBN tampaknya
terlihat fana.
Adhamaski Pangeran
Media Indonesia, 11/03/2016
Peneliti di
Center of Reform on Economics (CORE)
0 comments:
Post a Comment