Thursday, 10 March 2016

Mempertimbangkan Penyangga

MENGGANTUNGNYA beleid pengampunan pajak di DPR, juga realisasi penerimaan pajak per Februari 2016 yang baru sekitar 9% dari target, tampaknya membuat ancaman defisit anggaran semakin terang benderang.
Dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp1.822,5 triliun.
Sementara itu, belanja negara di anggarkan sebesar Rp2.095,7 triliun sehingga defisit diperkirakan sebesar Rp273,2 triliun, atau 2,15% dari PDB.
Tanpa memperhitungkan potensi penerimaan dari tax amnesty sekitar Rp60 triliun-Rp100 triliun, defisit APBN 2016 pasti akan melebar karena penerimaan pajak nonmigas tahun ini akan meleset dari target.
Setelah melihat itu semua, menjadi wajar apabila beberapa pihak yang menyadari akan besarnya potensi pelebaran defisit APBN, banyak dari mereka yang telah menyarankan Pemerintah untuk mengurangi belanja.
Namun, dalam kondisi makroekonomi yang belum pulih sebelumnya, mengurangi anggaran belanja rasanya bukan jalan yang terbaik.
Apalagi dengan performa sektor swasta yang belum pulih (dilihat dari sisi pengeluaran dan output dari sektor swasta).
Melakukan efisiensi dalam anggaran belanja negara juga tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Selain itu, pemotongan belanja pada APBN pasti akan berdampak pada proyek baik yang baru akan dimulai maupun yang sedang berjalan.
Itu pada gilirannya akan berdampak juga pada keterlambatan penyelesaian program pemerintah.
Penurunan suka bunga acuan (BI rate) yang dilakukan Bank Indonesia selama dua bulan berturut-turut juga rasanya tidak akan cukup bila menjadi tumpuan untuk mendorong perekonomian.
Apalagi bila itu diharapkan akan membuat sektor swasta dan rumah tangga untuk segera berbelanja dan berinvestasi, yang kemudian memutar kembali roda ekonomi.
Kita juga sebaiknya cukup bijak melihat yang terjadi pada negara-negara maju. Setelah krisis finansial 2008, negara-negara maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical.
Namun, pada pertengahan 2010, dengan cepat mereka mengubah haluan menjadi pengetatan kebijakan fiskal (austerity).
Alhasil, karena ekonomi belum sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal justru membuat permintaan swasta menjadi jauh lebih rendah daripada masa sebelum krisis terjadi.
Maastricht Treaty
Ketergantungan untuk mendorong kembali ekonomi berada pada penyangga fiskal (fiscal buffer) atau kemampuan untuk membiarkan defisit anggaran membesar sebagai respons dari menurunnya performa sektor swasta.
Oleh karena itu, apabila pemerintah berkehendak untuk mengajukan APBN Perubahan 2016, salah satu yang perlu menjadi topik utama dengan para anggota dewan ialah masalah penyangga fiskal.
Selama ini, UU Keuangan Negara mengacu pada Maastricht Treaty atau Undang-Undang Dasar (UUD) Uni Eropa, yang mensyaratkan rasio defisit terhadap PDB tidak boleh melebihi 3%.
Masalahnya Maastricht Treaty berasal dari kepercayaan bahwa sektor swasta akan mampu mengoreksi dirinya sendiri untuk mencapai potensi penuh (full-potential).
Selain itu, Maastricht Treaty dapat dikatakan sebagai asymmetrical rule (peraturan yang asimetris) karena tidak terdapat batas atas dalam peraturan tersebut.
Dengan kata lain, secara tidak langsung, Maastricht Treaty mengingkari kebutuhan intervensi kebijakan yang bersifat counter-cyclical.
Pengingkaran terhadap kebijakan counter-cyclical itu menjadi tidak relevan dalam kondisi Indonesia saat ini karena, seperti yang diutarakan sebelumnya, kondisi ekonomi yang sedang melemah dan belum membaiknya performa sektor swasta sangat membutuhkan intervensi kebijakan dari APBN.
Apalagi, terjadi juga salah kaprah dalam pengertian defisit anggaran baik yang ada di Maastricht Treaty maupun yang sudah diterjemahkan dalam UU Keuangan Negara.
Dalam kedua dokumen tersebut, defisit anggaran didefinisikan sebagai total pendapatan dikurangi dengan penerimaan.
Pengertian defisit macam itu bisa menjadi menyesatkan bila salah diterjemahkan.
Terminologi tersebut membuat kita tidak bisa melihat usaha kebijakan fiskal untuk mengurangi beban utang negara yang dilakukan setiap tahun.
Sebagai gambaran, bila tingkat bunga nominal pada utang pemerintah tidak lebih besar daripada pertumbuhan nominal PDB, surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang pemerintah terhadap PDB akan turun.
Padahal, yang terjadi bisa saja sebaliknya: utang pemerintah justru bertambah.
Indikator yang lebih tepat digunakan ialah indikator keseimbangan primer, yang didapat dari nilai keseluruhan defisit dikurangi bunga pada utang publik (IMF, 1995; Weeks 2016).
Dengan menggunakan indikator keseimbangan primer, dapat tersedia indikator untuk melihat usaha fiskal saat ini (current fiscal effort).
Negara yang memiliki utang yang besar (dalam pengertian utang terhadap PDB) mencapai surplus primer akan menjadi penting untuk mengurangi rasio utang per PDB.
Oleh karena itu, sekali lagi kami tekankan, kuncinya sekarang berada pada topik yang akan dibahas pemerintah dan DPR dalam pembahasan APBN Perubahan 2016.
Apabila pemerintah dan DPR berkukuh dan tidak memberikan ruang kelonggaran akan defisit fiskal, kebijakan counter-cyclical untuk mendorong perbaikan ekonomi lewat APBN tampaknya terlihat fana.

Adhamaski Pangeran
Media Indonesia, 11/03/2016
Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE)

0 comments: