Thursday, 10 March 2016

Siapa Bilang Negeri Ini Darurat Narkoba?

Hasil gambar untuk darurat narkoba  Riduan Situmorang--TAHUN lalu, atas nama HAM, hampir seluruh dunia mengguncang hukum Indonesia yang kukuh menghukum mati para narkobawan, jika memang kata ini ada. Saat itu, 6 anak manusia: 4 laki-laki dan 2 perempuan akan dicabut nyawanya atas nama hukum kita. Kita pun galau, terutama ketika Australia mengancam akan memboikot Indonesia. Rakyat kemudian melawannya denganhastag “Koin untuk Tonny Abbot.

Perihal hukum mati, saya memang termasuk orang yang belum berdamai. Bukan karena saya mendukung aksi pengedar dan pecandu, melainkan karena hukum mati ini tak manusiawi. Lagipula, terbukti sudah, hukum mati tak berhasil meredam kejahatan ini. Justru, kejahatan narkoba kian hari kian menggeliat. Segala sisi kehidupan kita sudah dirasukinya. Mulai dari rakyat sipil, artis, pesohor, birokrat, polisi dan TNI, hakim, bahkan agamawan sekalipun.

Kalau harus dirincikan, dari sipil ini, misalnya, masih bisa diturunkan lagi. Ada anak-anak, remaja, dewasa, pria, perempuan, bahkan tua bangka. Dari sini terang benderanglah bagi kita bahwa narkoba sudah menjadi semacam agama baru. Tak direstui, tetapi dihinggapi. Semakin ditelusuri, tampaklah bahwa kita ini adalah manusia berhati keruh, munafik, dan penuh sandiwara. Di depan umum menolak setengah mati, di tempat gelap, kita malah tak kuasa menolaknya.

Terkecoh

Masalah narkoba ini memang sangat rumit. Rumitnya membuat kita terkecoh pada dua hal: ada pengedar, ada korban. Reaksi kita pada dua hal ini pun sangat berbeda. Pengedar menjadi sasaran pentungan dan korban menjadi sasaran medis. Reaksi ini lalu melahirkan reaksi baru lagi. Karena pengedar menjadi sasaran pentungan, tak jarang mereka berusaha membeli pentungan itu. Atau, kalau tak bisa membeli pentungan, mereka menyewa agar pemegang pentungan itu tak memakainya. Di kita, namanya disebut uang keamanan, uang tutup mulut.

Rupanya, pemegang pentungan tak puas cuti dengan pentungannya. Narkoba di hadapan mata nyata-nyata adalah bisnis basah. Meski ditolak, pembelinya ramai; meski tak diiklankan, masyarakat sudah tahu. Benar-benar bisnis yang menggairahkan. Maka itu, pemegang pentungan pun ikut pada kerumunan. Mulanya mereka hanya pem-backing, lama kelamaan menjadi pelaku bisnis. Bisnis inilah yang kemudian dibawa ke “rumah panglima” sehingga baru-baru ini, kita harus mencuci gudang di Perum Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Itu perihal pengedar.

Perihal pecandu, kita terlihat lebih galau. Galaunya terlihat ketika kita melabeli mereka sebagai korban. Maka itu, alih-alih dihukum, mereka malah disembuhkan melalui atas nama rehabilitasi. Ini menjadi lahapan medis, bukan pentungan dengan perangkat hukumnya. Saya tak menampik bahwa mereka adalah korban. Tetapi, ada kecelakaan berpikir di sana. Kita memukulratakan bahwa mereka secara keseluruhan adalah korban. Inilah yang namanya budaya korban. Imbasnya, mereka tak akan merasa bersalah, tetapi merasa tertipu.

Padahal kalau kita jujur, tak semua pecandu narkoba ditawari, sebagian besar justru merekalah yang mencari. Nah, kalau mencari, masihkah mereka pantas disebut sebagai korban? Sialnya, sindrom budaya korban inilah yang menghinggapi mereka dan juga kita. Hasilnya, mereka tak takut lagi sebagai pecandu. Paling nanti, ketika tertangkap, mereka dicap hanya korban. Mudah-mudahan korban mau memberi tahu siapa pengedarnya. Ini tidak. Karena selepas dikasihani melalui tindakan medis, mereka (pecandu dan pengedar) akan kembali berhubungan.

Tak lama ini, kita dikejutkan aksi ciamik gembong narkoba asal Pakistan. Gembong ini membawa sabu hampir 100 kg dengan menyusupnya ke genset. Saya tak mau bercerita tentang bagaimana daruratnya negeri ini sehingga menjadi pasar narkoba. Sebab, kalau pola pikir ini yang digunakan, ini menjadi peneguhan bahwa kita di negeri ini adalah korban. Tetapi, saya mau bercerita tentang bagaimana lihainya para pengedar. Siapa pun itu, mereka adalah orang-orang kreatif, cerdik, bahkan berani.

Kurang kreatif dan cerdik apa lagi mereka ketika bisa membuat narkoba dalam berbagai bentuk? Ada bentuk pil, serbuk, dan lintingan. Lintingan ini wujudnya bisa beragam pula. Ada berwujud permen, kue kering, brownies. Jangkauan pasarnya semakin lebar: tua-muda, kaya-miskin, agamawan-sekuler. Semua tergantung dosis. Mereka tak akan takut mengonsumsi karena mereka akan dilabeli korban. Lagipula, sensasi yang dijanjikan adalah bisa bahagia. Semua orang ingin bahagia bukan?

Ya, para pengedar adalah orang yang berani pula. Kurang berani apa lagi ketika dari negara ke negara, mereka bisa selamat. Kadang tertangkap, tetapi lebih sering lolos. Kalau tertangkap, ini bukan kiamat. Mereka masih bisa membeli pentungan. Mereka justru semakin aman. Sudah acap kita dengar bagaimana gembong narkoba mengendalikan barang dagangannya dari balik jeruji, bahkan bisa juga menyulap jeruji ini menjadi tempat untuk bersenggama seperti yang dilakukan Freddy Budiman. Bukankah ini aksi yang berani?

Darah Iblis

Dari kenyataan itu, nyatalah bahwa negeri ini bisa diberi label negeri darurat narkoba. Tetapi, apa kita membenci label itu? Bukankah ketika sudah terbiasa, kita akan merasa tak ada masalah? Inilah sindrom ketika kedaruratan menjadi kebiasaan, ketika nurani keruh, ketika dosa menjadi hajatan. Tak ada lagi yang buruk. Tak ada lagi darurat. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Semua sudah biasa-biasa. Justru ada pemutarbalikan logika, ketika tak ada lagi narkoba, itulah masa-masa darurat kita.

Percayalah, sindrom inilah yang terjadi sehingga kita sama sekali tak risau ketika dari tahun ke tahun narkoba dihadirkan sebagai pemamah biak kehidupan yang paling brutal. BNN pernah merilis bahwa pada 2014 sekitar 4,2 juta orang meninggal atau 50 orang setiap harinya. Karena narkoba! Tetapi, apa kita risau? Kalau risau, mengapa negara ini kalah? Jokowi bahkan menduga bahwa peredaran narkoba 50% dikendalikan dari lapas. Pertanyaannya, mengapa kita kalah dari orang yang terkurung?

Ini sulit diterima akal, kecuali kalau kita sudah memahami bahwa narkoba bukan lagi sesuatu yang darurat. Karena bukan darurat, akhirnya para penjaga lapas yang notabene adalah penjaga moral dan orang yang diberi tanggung jawab menobatkan orang tidak merasa ada yang salah di sana. Justru, mereka ikut berbisnis dengan itu.

Adapun hitung-hitungan kerugian yang dibuat negara hanyalah statistik. Sama sekali bukan kegetiran. Percayakah Anda bahwa kita merasa rugi ketika tiap tahunnya konon harus merugi Rp63 T? Saya sama sekali tak percaya. Di balik hitungan itu barangkali kita juga sedang berhitung berapa keuntungan yang diperoleh dari narkoba. Jadi, sama sekali, negeri ini bukan negeri darurat narkoba. Kita hanya darurat eksistensi sehingga kita merasa kurang ketika narkoba yang adalah iblis tak menghinggapi darah kita. Atas, dasar itu, saya mengklaim bahwa darah kita kini adalah darah iblis. Maaf kalau klaim itu terlalu kasar, tetapi bagaimana saya harus mengingkarinya?
 
Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan (PLOt)

0 comments: