Bagaimana aku baiknya memanggil kalian? Yang
dipertuan? Yang dimuliakan? Para pejuang? Apa pun itu, bagiku, tidak penting.
Yang penting bukan sebutan, tetapi perbuatan. Kalo di namamu ada tameng demokrasi
Indonesia, pada pake perjuangan lagi, ayo buktikan! Buktikan demokrasimu!
Buktikan perjuanganmu. Jangan sukanya hanya merajuk dan merajuk. Kalian mau
merdeka apa dimerdekakan sih? Kalian mental pejuang apa mental budak?
Kepada siapa aku harus memanggil-manggil? Kepada Bu
Mega? Kepada ketua ini, ketua itu? Sekretaris ini, sekretaris itu? Bendahara
ini, bendahara itu? Oh, maaf, bagiku itu tak penting lagi. Bagiku, warna dan
bauk kalian semua sama. Sama-sama busuk. Berotak udang. Mudah-mudahan udang
masih punya otak.
Wahai PDI-P, siapa pun kalian di sana, bagiku sama saja. Bukan perkara karena rusak susu sebelanga karena nila setitik. Bukan! Sama sekali bukan! (Ayo, siapa kalian lagi yang masih susu?) Kalian hanya nila di lautan Indonesia. Sukanya merecoki. Sukanya mengerumuni. Sukanya mencereweti.
Aduhai PDI-P, sekali lagi, siapa pun kalian di sana, saya mau tanya, sebenarnya, apa mau kalian? Dulu, kalian minta dikasihani agar dapat jatah ketua DPR karena partai pemenang. Kami perjuangkan, meski itu kemudian gagal.
Tapi, betullah, inilah kegagalan yang kemudian kusyukuri. Kusyukuri karena, aku tak bisa ngebayangin gimana kalo kalian pada akhirnya saat itu bisa mendapatkan kursi ketua DPR. Tak bisa! Kalian melulu meributi hal-hal yang tak penting. Kalian hanya lalat-lalat yang suka latah dan hinggap di kotoran. Jangan-jangan, justru kalianlah kotoran itu?
Pertama, posisi kalian sekarang itu di mana? Pemerintah? Oposisi? Atau, sama sekali tak ada dua-duanya? Kalo pemerintah, mengapa kalian menjerumuskan Jokowi? Kalo oposisi, mengapa kalian minta-minta jatah? Kalo tak di oposisi dan di koalisi, lantas kalian di mana? Hello!
Kedua, kalian orang labil. Dulu, sok-sokan memperjuangkan KPK. Nah, sekarang? Siapa yang ngotot yang harus ngebahas RUU Revisi UU KPK, kalo bukan kalian? Jujur, aku tak hanya curiga, aku bahkan mengimani kalo kalian kini sedang menyelamatkan diri dari serangan KPK! Aku yakin itu. Buktikan kalo aku salah.
Jangan dari data sebab aku tak percaya data lagi. Di negeri ini, data hanya urusan merangkai kata demi kata. Jadi, gimana kalian mau buktiin? Buktikanlah itu melalui perbuatanmu. Kata-kata tak lebih bermakna daripada perbuatan. Kalo kata-kata lebih bermakna, mestinya aku menyumpahi Ahok. Tetapi karena perbuatan lebih mulia, aku mengagungkan AHok.
Ketiga, kalian itu tak ubahnya mental tempe. Coba, siapa dulu yang pernah ingin mejerumuskan Bu Risma? Kalian di balik itu semua. Kalian garong di balik itu semua. Hehehe, karena Bu Risma tak bisa dibendung, eh, kalian balikan lagi. Dasaar!
Tapi, sudahlah, sejujurnya pun saya tetap kagum karena kalian pada akhirnya “menyelamatkan” Bu Risma. Tapi kini aku curiga kalo itu semua hanya trik agar Bu Risma patuh dan taat pada kalian. Agar tak direcoki lagi, maka kalian mencoba mengancam-ancam Bu Mega. Begitu, kan? Sekali lagi, kabari aku kalo aku salah. Bagaimana? Tunjukkan melalui perbuatan. BUKAN kata-kata!
Sebelum kejauhan, mari dulu kita tanya: orang-orang hebat ini sebenarnya mau mengbadi pada negara atau pada kalian? Kok jadi suka-suka kalian?
Keempat, soal Ahok. Kalian bilang kalo Ahok ga sabaran. Kalo Ahok yang ninggalin. Nah, tugas kalian mau ngapain? Mau disowani gitu? Kalian mau disembah-sembah? Kalian tahu ga artinya jemput bola? Kalian kok jadi bebal, sih?
Kelima, soal Ahok lagi. Ayo, posisi mana yang betul. Partai di atas figur atau figur di atas partai. Coba kita bikin partai di atas figur. Ini sama sekali ga enak bro. Ga logis. Bahkan ga manusiawi. Maksud kalian, setelah terpilih nanti, kader itu menjadi petugas partai yang ditugaskan ke negara, lalu mempertanggungjawabkannya ke kalian, bukan ke rakyat?
Lalu, karena petugas partai, sesuka hati aja nyuruh ini, nyuruh itu? Kalian mikir ga? Ayo, mikir. Bukan aku yang bilang, tapi Cak Lontong. Tahu Cak Lontong? Ah, lontonglah kalo itu aja sampe ga tahu!
Mari kita bahas sikit. Coba bikin figur di atas partai. Ini bagus. Tapi kalian ga bakal mau itu. Sumpah! Makanya itu, Ahok bikin alternatif baru. Begini alternatifnya: aku butuh partai dan partai butuh aku. Figur dan partai sederajat. Oh, kalian menjerit. Ini deparpolisasi. Ini era parpol ga dilihat. Ini era akhir parpol.
Kalian mikir ga sih? Negara ini emang butuh parpol. Tapi, apa parpol ga butuh negara? Apa parpol ga butuh tokoh? Lagipula, tugas kalian ngapain sih? Ngeciptain tokoh atau mencaplok-caplok tokoh?
Keenam, kalian orang serakah dan lupa sejarah. Inilah pelajaran yang penting yang kudapat dari kalian. Terima kasih atas pelajaran itu. Apa pelajaran itu?
Kalian masih ingat bagaimana dulu kalian dipecah belah oleh Suharto? Ada PDI, ada juga PDI-P. Yang PDI-P melulu dipimpin Kanjeng Mega. Hingga kini! Saat itu, Bu Mega lantang melawan kesewenang-wenangan Pak Harto. Rakyat bersimpati. Dibilanglah kalo kalian sebagai simbol perlawanan. Partainya orang-orang kecil. Partai pemberani.
Karena itu, kalian dihadiahi menjadi partai yang disegani selekas Pak Harto jatuh. Kalian juga pernah mendapatkan kursi terelegan, meski mungkin mendapatkannya tak elegan karena boleh dibilang itu diperoleh setelah kalian “menyikut” Gus Dur. Tapi itu tak penting.
Pada tahap lanjutan, pada pemilihan selanjutnya, kalian melalui Bu Mega kalah dari SBY. Kemudian, lomba lantamlah kalian hingga menyebut kalo SBY itu penghianat. OK, itu tak penting. Barangkali itu benar. Tapi, ada satu kisah heroik yang kudapat dari kalian saat itu di mana kalian dengan kukuh memperjuangkan KPK dari gempuran demi gempuran. Nah, sekarang, mengapa kalian balik menggempur KPK? Jangan-jangan Abraham Samad adalah salah satu bukti keganasan kalian?
Ah, inilah pelajaran yang kudapat. Orang ketika kecil sukanya meraung-raung. Sukanya memosisikan diri sebagai orang yang dikucilkan. Orang yang minta dikasihani karena diperbudak. Tapi setelah besar, orang kecil itu menjadi lebih jahanam. Suka mencakar-cakar. Mengadu tokoh sama tokoh. Inikah namanya lupa daratan?
Saya tak tahu apa-apa tentan politik. Bagiku simple aja, menilai orang itu dari perbuatan, bukan dari perkatan. Yang pasti aku berterima kasih pada PDI-P. Mereka mengajariku bagaimana partai yang dulu heroik rupanya bisa tiba-tiba kehilangan integritas dan menjadi bahan lucu-lucuan. Bahan banyolan belaka. Inilah wujud dari pemikiran para ahli itu, yaitu, kalo ingin menilai integritas seseorang: beri dia kekuasaan.
Sekarang coba kita tanya: siapa yang sedang berkuasa? PDI-P? Ah, masa! Mereka itu bukan penguasa? Emangnya kita memberi kekuasaan kepada mereka?
Riduan SitumorangWahai PDI-P, siapa pun kalian di sana, bagiku sama saja. Bukan perkara karena rusak susu sebelanga karena nila setitik. Bukan! Sama sekali bukan! (Ayo, siapa kalian lagi yang masih susu?) Kalian hanya nila di lautan Indonesia. Sukanya merecoki. Sukanya mengerumuni. Sukanya mencereweti.
Aduhai PDI-P, sekali lagi, siapa pun kalian di sana, saya mau tanya, sebenarnya, apa mau kalian? Dulu, kalian minta dikasihani agar dapat jatah ketua DPR karena partai pemenang. Kami perjuangkan, meski itu kemudian gagal.
Tapi, betullah, inilah kegagalan yang kemudian kusyukuri. Kusyukuri karena, aku tak bisa ngebayangin gimana kalo kalian pada akhirnya saat itu bisa mendapatkan kursi ketua DPR. Tak bisa! Kalian melulu meributi hal-hal yang tak penting. Kalian hanya lalat-lalat yang suka latah dan hinggap di kotoran. Jangan-jangan, justru kalianlah kotoran itu?
Pertama, posisi kalian sekarang itu di mana? Pemerintah? Oposisi? Atau, sama sekali tak ada dua-duanya? Kalo pemerintah, mengapa kalian menjerumuskan Jokowi? Kalo oposisi, mengapa kalian minta-minta jatah? Kalo tak di oposisi dan di koalisi, lantas kalian di mana? Hello!
Kedua, kalian orang labil. Dulu, sok-sokan memperjuangkan KPK. Nah, sekarang? Siapa yang ngotot yang harus ngebahas RUU Revisi UU KPK, kalo bukan kalian? Jujur, aku tak hanya curiga, aku bahkan mengimani kalo kalian kini sedang menyelamatkan diri dari serangan KPK! Aku yakin itu. Buktikan kalo aku salah.
Jangan dari data sebab aku tak percaya data lagi. Di negeri ini, data hanya urusan merangkai kata demi kata. Jadi, gimana kalian mau buktiin? Buktikanlah itu melalui perbuatanmu. Kata-kata tak lebih bermakna daripada perbuatan. Kalo kata-kata lebih bermakna, mestinya aku menyumpahi Ahok. Tetapi karena perbuatan lebih mulia, aku mengagungkan AHok.
Ketiga, kalian itu tak ubahnya mental tempe. Coba, siapa dulu yang pernah ingin mejerumuskan Bu Risma? Kalian di balik itu semua. Kalian garong di balik itu semua. Hehehe, karena Bu Risma tak bisa dibendung, eh, kalian balikan lagi. Dasaar!
Tapi, sudahlah, sejujurnya pun saya tetap kagum karena kalian pada akhirnya “menyelamatkan” Bu Risma. Tapi kini aku curiga kalo itu semua hanya trik agar Bu Risma patuh dan taat pada kalian. Agar tak direcoki lagi, maka kalian mencoba mengancam-ancam Bu Mega. Begitu, kan? Sekali lagi, kabari aku kalo aku salah. Bagaimana? Tunjukkan melalui perbuatan. BUKAN kata-kata!
Sebelum kejauhan, mari dulu kita tanya: orang-orang hebat ini sebenarnya mau mengbadi pada negara atau pada kalian? Kok jadi suka-suka kalian?
Keempat, soal Ahok. Kalian bilang kalo Ahok ga sabaran. Kalo Ahok yang ninggalin. Nah, tugas kalian mau ngapain? Mau disowani gitu? Kalian mau disembah-sembah? Kalian tahu ga artinya jemput bola? Kalian kok jadi bebal, sih?
Kelima, soal Ahok lagi. Ayo, posisi mana yang betul. Partai di atas figur atau figur di atas partai. Coba kita bikin partai di atas figur. Ini sama sekali ga enak bro. Ga logis. Bahkan ga manusiawi. Maksud kalian, setelah terpilih nanti, kader itu menjadi petugas partai yang ditugaskan ke negara, lalu mempertanggungjawabkannya ke kalian, bukan ke rakyat?
Lalu, karena petugas partai, sesuka hati aja nyuruh ini, nyuruh itu? Kalian mikir ga? Ayo, mikir. Bukan aku yang bilang, tapi Cak Lontong. Tahu Cak Lontong? Ah, lontonglah kalo itu aja sampe ga tahu!
Mari kita bahas sikit. Coba bikin figur di atas partai. Ini bagus. Tapi kalian ga bakal mau itu. Sumpah! Makanya itu, Ahok bikin alternatif baru. Begini alternatifnya: aku butuh partai dan partai butuh aku. Figur dan partai sederajat. Oh, kalian menjerit. Ini deparpolisasi. Ini era parpol ga dilihat. Ini era akhir parpol.
Kalian mikir ga sih? Negara ini emang butuh parpol. Tapi, apa parpol ga butuh negara? Apa parpol ga butuh tokoh? Lagipula, tugas kalian ngapain sih? Ngeciptain tokoh atau mencaplok-caplok tokoh?
Keenam, kalian orang serakah dan lupa sejarah. Inilah pelajaran yang penting yang kudapat dari kalian. Terima kasih atas pelajaran itu. Apa pelajaran itu?
Kalian masih ingat bagaimana dulu kalian dipecah belah oleh Suharto? Ada PDI, ada juga PDI-P. Yang PDI-P melulu dipimpin Kanjeng Mega. Hingga kini! Saat itu, Bu Mega lantang melawan kesewenang-wenangan Pak Harto. Rakyat bersimpati. Dibilanglah kalo kalian sebagai simbol perlawanan. Partainya orang-orang kecil. Partai pemberani.
Karena itu, kalian dihadiahi menjadi partai yang disegani selekas Pak Harto jatuh. Kalian juga pernah mendapatkan kursi terelegan, meski mungkin mendapatkannya tak elegan karena boleh dibilang itu diperoleh setelah kalian “menyikut” Gus Dur. Tapi itu tak penting.
Pada tahap lanjutan, pada pemilihan selanjutnya, kalian melalui Bu Mega kalah dari SBY. Kemudian, lomba lantamlah kalian hingga menyebut kalo SBY itu penghianat. OK, itu tak penting. Barangkali itu benar. Tapi, ada satu kisah heroik yang kudapat dari kalian saat itu di mana kalian dengan kukuh memperjuangkan KPK dari gempuran demi gempuran. Nah, sekarang, mengapa kalian balik menggempur KPK? Jangan-jangan Abraham Samad adalah salah satu bukti keganasan kalian?
Ah, inilah pelajaran yang kudapat. Orang ketika kecil sukanya meraung-raung. Sukanya memosisikan diri sebagai orang yang dikucilkan. Orang yang minta dikasihani karena diperbudak. Tapi setelah besar, orang kecil itu menjadi lebih jahanam. Suka mencakar-cakar. Mengadu tokoh sama tokoh. Inikah namanya lupa daratan?
Saya tak tahu apa-apa tentan politik. Bagiku simple aja, menilai orang itu dari perbuatan, bukan dari perkatan. Yang pasti aku berterima kasih pada PDI-P. Mereka mengajariku bagaimana partai yang dulu heroik rupanya bisa tiba-tiba kehilangan integritas dan menjadi bahan lucu-lucuan. Bahan banyolan belaka. Inilah wujud dari pemikiran para ahli itu, yaitu, kalo ingin menilai integritas seseorang: beri dia kekuasaan.
Sekarang coba kita tanya: siapa yang sedang berkuasa? PDI-P? Ah, masa! Mereka itu bukan penguasa? Emangnya kita memberi kekuasaan kepada mereka?
Pencinta Humor yang Tak Lucu






0 comments:
Post a Comment