
Dibandingkan posisi September 2014 (27,73 juta atau 10,96%), selama setahun terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin 0,78 juta. Penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 10,35 juta, naik jadi 10,62 juta pada September 2015. Pada periode yang sama, penduduk miskin di perdesaan naik dari 17,37 juta menjadi 17,89 juta. Ada dua hal menarik dari data-data itu.
Pertama, jumlah penduduk miskin di perdesaan naik dua kali lipat dari penduduk miskin di perkotaan. Selama setahun (September 2014- September 2015), penduduk miskin di perdesaan naik sebanyak 0,52 juta orang, hampir dua kali lipat pertambahan jumlah penduduk miskin di perkotaan (0,27 juta orang). Mengapa pertambahan kemiskinan banyak terjadi di desa ketimbang di kota? Kehidupan di perdesaan belum menunjukkan perubahan berarti.
Pertanian yang menjadi gantungan hidup sebagian besar warga perdesaan selama bertahun- tahun tumbuh rendah di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Penguasaan lahan yang gurem membuat pertanian tidak menjanjikan kesejahteraan. Upah buruh tani memang naik. Tapi, secara riil upah mereka terus menurun. Program Nawacita Jokowi-JK yang mengusung ide “membangun dari pinggiran dan perdesaan” belum menyentuh perdesaan.
Misalnya, dana desa Rp20,7 triliun pada 2015 ternyata tidak mengalir deras ke desa. Padahal, jika dana itu dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, akan membuat ekonomi desa bergerak. Kemiskinan sejak dulu terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Kini, 39 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan.
Per September 2015 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,89 juta orang atau 62,74% dari total penduduk miskin. Ini merupakan fakta getir: puluhan tahun gemuruh pembangunan ekonomi, termasuk di desa, ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari perdesaan. Kedua, pertambahan jumlah kemiskinan mayoritas disulut oleh kenaikan harga pangan.
Sumbangan komoditas makanan (beras, cabai, bawang merah, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi) terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar ketimbang peranan komoditas bukan makanan (biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi).
September 2015 sumbangan makanan terhadap garis kemiskinan mencapai 73,07%, serupa posisi September 2014 (73,47%). Sampai saat ini agenda besar instabilitas harga pangan masih belum disentuh pemerintah. Instabilitas harga pangan selalu jadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas.
Untuk menjamin stabilisasi pangan, pemerintah bisa memulai dengan menetapkan jenis pangan pokok tertentu seperti diatur PP No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Setelah ditentukan jenis dan jumlah, pangan ini akan jadi sasaran stabilisasi berikut kelengkapan instrumen dan kelembagaannya.
Karena sebagian besar pangan diserahkan ke mekanisme pasar, respons pemerintah seringkali masih seperti petugas pemadam kebakaran, selalu reaktif, ad hoc, dan fragmentaris, tidak menyentuh jantung masalah. Ujung masalah ini, inflasi sulit dikendalikan. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan inflasi didorong fenomena nonmoneter.
Ditilik dari sumbernya, inflasi lebih didorong sektor pangan (volatile foods) dan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil. Pada 2014, dari inflasi 8,36% sekitar 2,06% disumbang bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Total pangan berperan 40,31% inflasi nasional.
Pada 2015 harga pangan tetap tak terkendali, yang tercermin dari andil pangan sebesar 61,19% pada inflasi nasional. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga pangan akan mengekspose mereka pada posisi rentan. Warga miskin di perdesaan membelanjakan 74% pendapatan keluarga untuk pangan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan, menguras 32% pendapatan keluarga miskin perdesaan.
Jika harga pangan, terutama beras, naik mereka harus merealokasikan keranjang pengeluaran guna mengamankan perut. Cara pertama, memangkas dana pendidikan dan kesehatan. Jika ini belum cukup, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan murah jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan.
Buat ibu hamil/menyusui dan balita akan memperburuk kecerdasan anak. Inflasi yang tinggi bukan hanya ironi, tapi juga mencemaskan di tengah tren harga dunia yang menurun. Hargaharga komoditas dan pangan terjun bebas sejak akhir 2014. Inflasi di hampir semua negara tetangga tercatat rendah:
Vietnam inflasi tahunan 0,9%, Thailand 1,5%, dan Filipina kurang 1%. Sebaliknya, pada 2014 inflasi di Indonesia sulit ditekan. Inflasi 2015 yang rendah (3,35%) bukan prestasi pemerintah karena andil faktor luar. Didorong oleh respons kebijakan pemerintah yang salah, harga pangan di dalam negeri terus naik. Ini terjadi pada banyak pangan. Tanpa menstabilkan harga pangan, langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tak banyak artinya.
Masa lalu negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga pangan lewat Bulog. Karena itu, wacana mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa saja dilakukan. Tapi, itu tidak banyak artinya bila tidak didukung otoritas memadai. Pertama, segera tentukan jenis pangan pokok yang berpengaruh besar terhadap inflasi dan pengeluaran rumah tangga.
Jumlahnya bisa 5- 10 komoditas dan sifatnya positive list. Komoditas inilah yang menjadi objek stabilisasi. Kedua, stabilisasi didukung instrumen komplet: harga (ceiling/ floor price), cadangan, pengaturan ekspor-impor, dan distribusi.
Ketiga, pemerintah harus menjamin distribusi lancar, dan tidak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi keadaan. Dengan tiga langkah itu, inflasi pangan bisa dijinakkan. Jika inflasi rendah, terutama karena harga pangan stabil, kemiskinan akan bisa ditekan.
KHUDORI
Koran Sindo, 05/03/2016
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
0 comments:
Post a Comment