Komitmen Politik
Saat penandatanganan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, yang diinisiasi oleh KPK, di Istana Negara, 19 Maret 2015, Presiden Joko Widodo menekankan kepada 29 kemenetrian dan lembaga negara serta 12 kepala daerah bahwa gerakan penyelamatan sumber daya alam adalah bagian dari penyelamatan kedaulatan bangsa.
Hal ini selaras dengan semangat saat kampanye Jokowi- JK menuju kursi presiden yang mengusung program pemberantasan korupsi. Kini komitmen semangat pemberantasan korupsi termaktub dalam Nawacita, khususnya poin keempat: “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya”.
Singkatnya, ada komitmen politik dari pemerintahan Jokowi-JK untuk agenda penegakan dan pemberantasan korupsi. Tentu saja masyarakat melihat dan memiliki catatan tersendiri dalam prakteik empiriknya komitmen politik tersebut seberapa kuat dijalankan hingga kini. Pilihan sikap politik tersebut bisa kita saksikan di antaranya soal kasus korupsi wisma atlet, kasus “Cicak vs Buaya” jilid I dan II, dan kasus Novel Baswedan. Dahaga masyarakat atas kejutan-kejutan terobosan politik nasional dalam soal korupsi belum bisa terpenuhi.
Penyelamatan Sumber Daya Alam
Tidak perlu riset mendalam dan menyeluruh untuk mengetahui bagaimana peningkatan kerusakan lingkungan dan pengabaian hak keselamatan rakyat dalam kebijakan politik sumber daya alam, yang lebih memprioritaskan kepentingan pertumbuhan daripada pemerataan dan keadilan sosial.
Tragedi pilu Salim Kancil, martir dari industri keruk pasir besi di pesisir Lumajang dan Tapal Kuda, Jawa Timur, serta proyek industri semen yang mengepung dan akan mengeruk kawasan cekungan air tanah (CAT) karst Gunung Kendeng, juga rencana paksa pengeboran di sekitar Lapindo Porong-Jawa Timur dapat menjadi contoh aktual. Dan, akan panjang daftar cerita ini jika dibentangkan dari Sabang hingga Merauke.
Proyek infrastruktur yang telah dihilangkan judulnya (bukan lagi Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia/MP3EI) praktiknya makin masif berjalan dan terbukti ikut menjadi penyubur konflik agraria dan memuluskan pengerukan sumber daya alam yang menciptakan beragam krisis sosial-ekologis (Sajogyo Institute, 2014).
Forum Koalisi Akademisi dan Pemerhati Persoalan Keadilan Agraria akhir 2015 telah mengirimkan petisi ke Presiden untuk mengingatkan bahwa Pulau Jawa telah mengalami krisis sosial-ekologis yang semakin parah akibat tidak seimbangnya proyek-proyek pembangunan seperti waduk, pertambangan (emas, semen, minyak, gas, mineral, pembangkit listrik, dan sebagainya) dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Indikasi kehancuran ekologi Pulau Jawa ditandai dengan tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor, selain kekeringan. Data Indeks Risiko Bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana jenis ini. Tentu, kepulauan Jawa hanyalah salah satu contoh sebab kerusakan dan ketidakseimbangan ekspansi pembangunan dan keberlanjutan ekologis tersebut juga dialami banyak kepulauan di Nusantara.
Hasil inkuiri Komnas HAM tentang hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan bersama lembaga mitra (2014- 2015) menunjukkan beragam pelanggaran HAM yang kronis dan sistematis terjadi di seluruh kepulauan Nusantara akibat kebijakan- kebijakan dan proyek perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Keberlanjutan layanan alam, keselamatan rakyat, dan keadilan sosial-ekologis semakin menjadi barang mahal dan istimewa yang sulit didapatkan di negeri ini.
Kumandang panggilan penyelamatan sumber daya alam dari banyak pihak belakangan ini, termasuk komitmen KPKGerakaanNasionalPenyelamatan Sumber Daya Alam (KPKGNSDA), adalah ajakan gerakan berjamaah untuk serius berbuat nyata bagi penyelamatan dan pemulihan sumber daya alam untuk kedaulatan bangsa dan generasi mendatang.
Lalu, RUU KPK, untuk Siapa?
KPK-GNSDA sebagai kelanjutan dari nota kesepakatan bersama 12 kementerian dan lembaga percepatan pengukuhan kawasan hutan yang telah diperluas telah dan sedang mendorong lebih beragam agenda penting penertiban beragam tata kelola sumber daya alam (kehutanan, minerba, pertanian dan perkebunan, pertanahan, serta kelautan) baik dimensi penindakan maupun pencegahan korupsi.
Tak hanya soal harmonisasi kebijakan dan penataan prosedur perizinan, namun juga penyelesaian konflik sumber daya alam di tingkat pusat dan daerah. Bukan hal mudah menjalankan mandat penegakan korupsi sumber daya alam. Selain masih kuatnya ego sektoral antarkementerian dan lembaga, warisan kaplingkapling kepemilikan sumbe daya alam “orang kuat”, tekanan kepentingan politik nasional dan global, serta yang tak kalah penting adalah wilayah-wilayah penguasaan sumber daya yang berstatus “legal tidak legitimated“.
Satu bentuk status penguasaan sumber daya alam yang telah memenuhi prosedur legal formal, namun pada dasarnya merugikan/mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam batasan ini persoalan korupsi tidak diartikan sebagai persoalan pelaku-pelaku korup, peraturan yang tidak berjalan, lemahnya penegakan hukum atau peran negara tidak berfungsi, tetapi lebih dilihat sebagai ada “institusi alternatif” oleh suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara, yang mana sumber daya sosialnya juga berasal dari aparataparat negara (Kartidihardjo, 2016).
Merujuk data lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Sumber Daya Alam (2016), jelas menunjukkan bahwa sejak 2003-2015, dari segi penindakan setidaknya ada tujuh jejak keberhasilan KPK di antaranya; Pertama , penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan.
Kedua, penerbitan izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu. Ketiga, pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp89 miliar.
Keempat, suap terhadap anggota Dewan terkait pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan dan alih fungsi lahan. Kelima , suap terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektare di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Keenam , suap terkait alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Ketujuh, dugaan suap terkait pemberian Rekomendasi HGU Kepada Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation. Sedangkan dari segi pencegahan, berdasarkan data Korsup Minerba pada 2014, provinsi dengan jumlah IUP non-CNC tertinggi adalah Provinsi Bangka Belitung (601 IUP), diikuti Provinsi Kalimantan Timur (450 IUP) dan Kalimantan Selatan (441 IUP).
Dari jumlah IUP yang bermasalah dan berstatus non-CNC, hingga September 2015 tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 provinsi. Tiga provinsi dengan jumlah pencabutan tertinggi adalah Sulawesi Tengah 160 IUP, Sumatera Selatan 148 IUP, dan Kepulauan Riau 93 IUP. Walaupun demikian, di beberapa provinsi penataan izin bermasalah ini juga dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP yang non-CNC menjadi besertifikat CNC.
Dalam kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, pejabat dan penguasa, sipil maupun militer, kini semakin ditampilkan sebagai manusia yang tidak kebal hukum. Meski itu semua belum sempurna, setidaknya kini makin ada bukti nyata. Berdasarkan uraian di atas, sulit memahami usulan RUU KPK yang digulirkan sebagian pihak di DPR RI sekarang ini— sekalipun ditunda, namun masih akan tetap dibahas—tidak dianggap sebagai suatu upaya pelemahan.
Sebab, baik persoalan pembatasan maupun izin penyadapan, pembentukan dewan pengawas, surat perintah penghentian penyelidikan (SP3), dan pengangkatan anggota penyidik KPK bukanlah masalah dasar yang dihadapi KPK sekarang ini. Namun, jelas keberadaan KPK yang semakin kuat merupakan ancaman serius bagi koruptor sumber daya alam dan sebagian pihak lain yang memiliki masalah dan catatan korupsi, yang sebagian catatan itu telah dikantongi oleh KPK.
Dengan dasar pandangan di atas, komitmen politik dan mandat Nawacita Jokowi-JK dalam upaya pemberantasan korupsi layak ditagih rakyat Indonesia. Sulit memahami jika Jokowi-JK menyetujui upaya pelemahan atas KPK sebab itu berarti memundurkan langkah dan upaya KPK dalam penyelamatan sumber daya alam untuk kedaulatan bangsa.
EKO CAHYONO
Koran Sindo, 05/03/2016
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute
0 comments:
Post a Comment