Friday, 4 March 2016

Kantong Plastik Berbayar

Pemerintah baru saja memberlakukan kebijakan kantong plastik berbayar. Kebijakan ini diterapkan untuk menekan penggunaan plastik saat berbelanja.

Pada tahap uji coba, kebijakan ini diberlakukan di 17 kota besar di Indonesia di antaranya Jakarta, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, dan Medan. Keputusan pemerintah tentang penggunaan plastik berbayar ini menimbulkan pertanyaan.

Kalau tujuannya untuk mengurangi plastik yang tidak ramah lingkungan, kenapa kemasan berbahan plastik seperti mi instan, air mineral, camilan anak-anak, dan sejenisnya masih diperbolehkan? Jumlahnya jauh lebih besar dibanding kantong plastik belanjaan. Harus diakui bahwa plastik merupakan salah satu varian perusak lingkungan yang sering mendapat perhatian serius dari para aktivis lingkungan hidup.

Dengan begitu, bagi sebagian orang, penggunaan plastik berbayar dianggap sebagai sebuah kebijakan yang menunjukkan kepekaan terhadap isu pelestarian lingkungan hidup, yang belakangan semakin disuarakan secara global. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jenna Jambeck, ahli lingkungan asal University of Georgia, Indonesia berada pada urutan kedua setelah Tiongkok sebagai penyumbang terbanyak sampah plastik yang masuk ke laut.

Dari 187 juta ton sampah Indonesia yang mencemari lautan, sekitar 14% adalah sampah plastik (science.sciencemag. org ). Temuan World Economic Forum-Ellen Mc Arthur Foundation dan Mc Kinsey juga sangat mengerikan. Pada 2050, jika sampah tak segera ditanggulangi, jumlahnya akan lebih banyak ketimbang ikan di perairan (www3.weforum.org ).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir, ada sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia setiap tahun. Dari jumlah tersebut, hampir 95% menjadi sampah (voaindonesia.com, 29/2). Dengan data seperti demikian, penerapan kebijakan ini kemudian dianggap sangat penting sebagai upaya aktif pemerintah untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan, khususnya yang disebabkan limbah plastik.

Kebijakan kantong plastik berbayar dianggap relevan untuk menekan “kontribusi” negara kita terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan limbah plastik. Pertanyaannya, seberapa tepat optimisme tersebut? Bagi saya, kebijakan tentang penggunaan plastik berbayar sebagai formulasi kebijakan prolingkungan hidup tidak boleh parsial. Kebijakan ini harus komprehensif, integral, dan simultan.

Kebijakan ini harus dilengkapi dengan kebijakan- kebijakan prolingkungan hidup yang lain dalam sektor limbah plastik. Kerusakan lingkungan hidup sifatnya multidimensional. Penyebabnya banyak faktor yang membentuk sebuah jaringan yang saling terkait, lalu menghasilkan sebuah pola hidup yang menyebabkan rusaknya lingkungan. Penggunaan plastik berbayar “hanya” salah satu faktor. Ia hanyalah satu bagian kecil dari sebuah mozaik besar.

Masih banyak varian lain yang kontribusinya atas kerusakan lingkungan hidup tak kalah besar. Apakah ini berarti bahwa kebijakan soal plastik berbayar sia-sia saja dan tidak akan berdampak pada perbaikan lingkungan hidup? Tentu tidak. Kebijakan ini sedikit-banyak akan berdampak terhadap perbaikan lingkungan hidup, mengingat jumlah limbah plastik berbayar juga banyak secara kuantitas.

Tetapi, kebijakan ini masih terkesan setengah-setengah, pilih kasih, tidak komprehensif. Kebijakan pembatasan penggunaan plastik seharusnya tidak hanya diterapkan pada konsumen yang berbelanja, namun juga diterapkan terhadap kemasan produk yang selama ini menggunakan bahan plastik misalnya produk mi instan dan air minum kemasan.

Menurut data, sebanyak 69% sampah plastik yang ada didominasi oleh sampah plastik domestik sehingga kebijakan yang seharusnya juga digalakkan adalah menekan produksi plastik. Jadi, bukan hanya mengubah perilaku masyarakat untuk tidak menggunakan kantong plastik.

Tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk berbungkus plastik sangat tinggi sehingga dampak pembuangan limbah plastiknya juga besar. Jika produsen-produsen dikenakan kewajiban untuk menggunakan kemasan nonplastik, efeknya akan sangat besar bagi pelestarian lingkungan hidup. Bisa dibayangkan jika dua kebijakan ini diterapkan secara simultan dan komprehensif, jumlah penggunaan kantong plastik oleh masyarakat menurun.

Jumlah produk yang mereka beli juga tidak lagi berkemasan plastik. Hasilnya, volume limbah plastik yang dibuang ke lingkungan akan menurun signifikan. Pada saat bersamaan hal ini juga akan mengubah “pola hidup lama” masyarakat yang abai pada lingkungan hidup, untuk bertransformasi pada “pola hidup baru” yang peka pada lingkungan hidup.

Ada aspek lain yang juga harus kita soroti terkait kebijakan kantong plastik berbayar ini. Data Nielsen pada 2015 menyebutkan bahwa market share dari industri ritel toko swalayan (minimarket, supermarket, hipermarket, dan perkulakan) di Indonesia hanya sebesar 26%. Sedangkan ritel pasar rakyat masih menguasai pasar dengan 74%.

Artinya, kebijakan ini hanya akan berhasil jika semua peritel baik toko swalayan maupun pasar rakyat menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar secara simultan. Jadi, kebijakan ini juga harus diterapkan di sektor pasar rakyat agar lebih terasa efek positifnya.

Transparansi Pengelolaan Dana

Hal lain yang harus mendapatkan perhatian serius dalam penerapan k e b i j a k an kantong plastik berbayar adalah transparansi pengelolaan dana pembelian kantong plastik yang dikenakan kepada masyarakat. Seperti diketahui, jika tetap ingin menggunakan kantong plastik saat berbelanja, masyarakat diwajibkan untuk membeli seharga Rp200.

Harus ada transparansi dari pemerintah terkait penggunaan dan pengelolaan dana ini. Ini bukan jumlah yang kecil sehingga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui untuk apa dan ke mana dana tersebut digunakan. Pemerintah harus berterima kasih kepada masyarakat yang sudah bersedia untuk turut berpartisipasi menyukseskan kebijakan ini.

Dan, rasa terima kasih tersebut hendaknya diekspresikan dengan menunjukkan transparansi pemerintah tentang penggunaan dan pengelolaan dana tersebut. Dengan begitu, masyarakat merasakan bahwa partisipasi aktif mereka terhadap lingkungan hidup “dibayar” dengan transparansi. Jika publik mengetahui secara transparan penggunaan dan pengelolaan dana tersebut, ke depan akan semakin mudah untuk mengajak publik menyukseskan kebijakan serupa.

Sebaliknya, ketidakjelasan penggunaan dan pengelolaan dana kantong plastik akan menumbuhkan kecurigaan dan apatisme publik terhadap pemerintah. Sehingga, bisa dipastikan bahwa tingkat partisipasi publik untuk menyukseskan kebijakan serupa pada masa mendatang akan menurun. Saat ini kita memasuki era digital. Tingkat kritisisme publik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah semakin tinggi.

Internet atau media sosial menjadi wahana baru bagi publik untuk menyalurkan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Publik semakin aktif menyoroti dan mengkritik kinerja pemerintah, terutama soal kualitas kebijakan dan transparansi kebijakan. Publik sudah semakin cerdas menilai kualitas kebijakan pemerintah dan transparansi penerapannya.

Jika melihat indikasi ketidaktransparanan dan kualitas kebijakan yang rendah, publik akan mengajukan kritik dan protes melalui saluran online yang kemudian ditindaklanjuti ke ranah offline . Untuk itu, pada era digital ini pemerintah semakin dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel, termasuksoalkebijakan kantong plastik berbayar ini. Kebijakan ini harus benar-benar komprehensif, integral, dan simultan agar publik menilai kebijakan ini berkualitas.

Demikian juga dengan sisi transparansinya. Penggunaan dan pengelolaan dana kantong plastik berbayar harus transparan. Isu lingkungan hidup merupakan salah satu yang populer pada era digital. Publik sudah semakin aktif mendiskusikan soal ini di media sosial. Dalam beberapa hal, aksi pelestarian lingkungan hidup digalang dengan menggunakan media sosial sebagai instrumennya.

Berbagai lembaga dan para aktivis lingkungan hidup juga aktif menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Fakta ini menunjukkan bahwa sikap transparan dari pemerintah terkait penggunaan dan pengelolaan dana tersebut akan mendapatkan sorotan kritis dari publik netizen. Mereka akan selalu melakukan monitoring melalui media sosial tentang bagaimana dana tersebut digunakan dan seberapa efektif.

Kita semua berharap kebijakan yang prolingkungan hidup semakin intensif dikeluarkan karena kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem sudah semakin akut belakangan ini. Kebijakan-kebijakan model seperti ini akan membantu melestarikan lingkungan hidup, namun dengan satu catatan: integral, komprehensif, dan simultan.
DR FAYAKHUN ANDRIADI
Koran Sindo, 05/03/2016
Anggota DPR RI, Doktor Ilmu Politik UI

0 comments: