
Padahal, jika kita berpijak pada ideologi pluralisme yang tertuang pada filosofi Pancasila dan kebhinekaan, istilah katakanlah kos Muslim dan kos Kristen adalah istilah yang menciderai pluralisme itu sendiri. Hal ini akan membuat kita terjebak pada rasa persatuan yang ekslusif sehingga lupa pada tataran persatuan yang universal. Tidak mustahil, hal demikian akan membawa kita pada posisi bahwa yang beda dengan kita bukanlah saudara.
Maka, sewajarnyalah kita dalam hal ini bersikap kritis untuk tidak memisahkan bangsa dalam kategori sub-subbangsa, seperti pemisahan tempat tinggal kos tadi karena hal demikian hanya akan membuat persatuan menjadi kaku. Konflik pun akan dengan gampang bermunculan. Di sini, rasa damai menjadi barang langka. Kalaupun ada, hal itu bukanlah karena kebutuhan, melainkan karena kepentingan, seperti karena adanya persamaan hasrat misalnya. Padahal, kondisi damai yang ideal adalah bukan karena kepentingan, melainkan karena kebutuhan untuk hidup harmonis.
Mengingkari Diri Sendiri
Sialnya, selama ini kita bersatu dominan karena kepentingan. Hal ini berbuntut pada berubahnya universalisme menjadi individualisme sehingga melahirkan perkelahian terselubung. Yang lebih mengkhawatirkan, unsur SARA terutama agama dengan mudah saja dijadikan sebagai alat untuk melegalkan percekcokan. Di sini, agama dijadikan sebagai alat provokasi massa sehingga dia bukan lagi merupakan sarana untuk bertemu dengan Tuhan, melainkan menjadi alat untuk mempertuhankan diri.
Hal ini tentunya sangat ironis. Selain mengingkari jati diri bangsa yang dibangun dari ideologi pluralisme, kita pun pelan-pelan mengingkari jati diri kemanusiaan kita sendiri. Bagaimana itu terjadi?
Begini, jika berangkat dari perspektif rasa kekeluargaan yang dilahirkan dari keluarga, kita tentunya harus bersatu dan tidak saling menjegal. Lihatlah, bukankah sebuah keluarga disatukan dari berbagai elemen menjadi sebuah keadaan yang terintegrasi dalam rasa persatuan yang harmonis? Dalam keluarga, tiap anggotanya memang berbeda, tetapi mereka satu dalam keluarga. Di sana, terlahir rasa perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan secara simultan dan konstruktif. Mereka pastinya beda satu sama lain sebagai pengejawantahan bahwa manusia itu unik, bahkan mungkin mengejar kepentingan yang berbeda pula, tetapi mereka hidup harmonis dalam keluarga. Bukankah negara juga harus demikian?
Tetapi tidak! Apa yang kita lihat sangat kontras dengan filosofi negara kita. Padahal, Pancasila dan bhinneka tunggal ika bukanlah sebuah ideologi yang instan. Dia sudah mengalami debat panjang. Dia juga sudah menjadi paham yang benar-benar kongruen dengan kepentingan bangsa secara universal yang walaupun akhir-akhir ini, ideologi pluralisme itu sudah terkikis secara pelan-pelan.
Seperti yang kita saksikan, setiap subbangsa melalui elemen kecil SARA, terutama melalui agama mulai memisahkan diri. Mereka menciptakan ruang dan tembok pembatas untuk menyekat diri dalam ruang eklusivisme kolektif. Akhirnya, lahirlah dakwah-dakwah yang mengafirkan orang lain. Lahir pula penginjilan bersifat mendekati barbar. Mereka kini berada pada ruang kebenaran sendiri sehingga keberanan secara universal ditinggalkan. Bagi mereka, agama di luar agama mereka adalah musuh yang harus dibasmi. Istilah agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku diartikan menjadi ideologi yang melahirkan kondisi konflik dan egosentrisme.
Kita mendadak alergi pada agama lain, bahkan pada sesama agama yang berlainan mazhab. Pada titik ini, ruang sosial yang menjadi navigasi universal benar-benar lumpuh. Ironisnya, signifikansi tindakan pemerintah pun benar-benar tidak terlihat. Pemerintah malah seakan memberi ruang gerak untuk konflik. Kesannya juga pemerintah terlalu memberi sikap yang toleran pada aksi-aksi yang intoleran. Padahal, pemerintah seharusnya mengakomodasi ruang gerak bebas untuk persatuan dalam keberbedaan.
Tujuan Mulia
Akan tetapi, pada faktanya pemerintah tetap diam. Mereka hanya banyak berkoar, tetapi sedikit penyelesaian. Mereka terlalu banyak berdebat, tetapi miskin ide sebagai solusi alternatif. Pemerintah pun—entah mereka sadar atau tidak—sudah turut andil menciptakan ruang reot dan kacau ini. Lihatlah, di sekolah, pemerintah menciptakan ruang konflik. Ruang-ruang umum pun difalisitasi dengan ruang-ruang konflik. Tidak seperti Korea yang membuat bandaranya memiliki tempat ibadah tiap-tiap agama. Di London, misalnya, tepatnya di Bandara Heathrow ada tulisan Interfaith Prayer and Meditation Room.
Nah, kalau konon di Korea dan Inggris yang menganut paham individualisme dan liberalisme saja memfasilitasi ruang doa inter-religius, mengapa Indonesia yang sangat menghargai kultur tidak mencoba membuat hal demikian? Tapi, begitulah pemerintah. Mereka tidak terlalu jeli membaca dan menggodok kultur sebagai sarana untuk memperastukan elemen bangsa yang sudah menyebar dalam friksi-friksi sentimental. Bahkan, pemerintah masih tetap memelihara pembelajaran monoreligus di sekolah. Padahal, pembelajaran monoreligius ujung-ujungnya akan menumbuhkan rasa percaya diri yang terlalu tinggi untuk agamanya sehingga menganggap agama lain adalah salah dan kafir.
Jadi, kini saatnya pemerintah harus memikirkan bagaimana membuat pembelajaran berbasis inter-religus, bukan semata monoreligius. Sekali lagi, agama adalah sarana untuk menyatukan, bukan menyekat. Akan halnya manusia berbeda memang sudah menjadi takdir Tuhan. Kini tugas kita adalah mengumpulkan puing-puing perbedaan untuk kelak menyatukannya dalam rasa persaudaraan melalui pembelajaran inter-religius sebagai suplemen terhadap pembelajaran monoreligius.
Pendidik, Konsultan
Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya di Prosus Inten Medan
0 comments:
Post a Comment