Bersyukur itu Doa Termanjur. Saya juga suka kata-kata ini. Sering saya katakan, juga kepada diri sendiri. Bersyukur adalah mengucap terima kasih, menyampaikan rasa hormat yang dalam, mengakui kebesaran, juga kebenaran di atas kuasa kita. Pada titik yang sama, barang kali saja, ini bentuk yang paling sederhana, paling purba, dari sebuah doa. Dari sebuah permintaan, sebuah keinginan, sebuah harapan. Dan atau lebih dari itu, bersyukur adalah penerimaan setelah melantunkan doa. Dan karenanya bersyukur menjadi kepasrahan, menjadi bentuk berserah yang melegakan. Bersyukur atas hidup ini, apakah yang tengah terjadi, atau kesulitan yang akan menghadang sekaligus juga bersyukur masih diberikan kekuatan juga keberanian melanjutkan. Atau menikmati semua ini dengan rasa syukur. Baik dengan mengucap atau mengungkap atau lebih tepat terungkapkan.
Kadang, atau sering, saya mengeluh akan kejadian yang terjadi. Kenapa ada masalah yang menimpa, padahal bukan akibat langsung yang saya lakukan. Umpama kata, hanya perumpamaan seperti pada kata if I were, ada pohon menimpa motor yang sudah di parkir di tempat yang baik dan disediakan untuk itu. Saya bisa mengomel panjang pendek, bisa menyalahkan pohon dan atau musim hujan, bisa memaki hidup, bisa merasa sial dalam hidup. Tapi sebaliknya bisa merasa bersyukur karena terhindar dari bahaya kejatuhan pohon.
Dalam budaya Jawa jurus bersyukur ini disebutkan sebagai kawruh beja, atau pengetahuan tentang keberuntungan, yang diajarkan Ki Ageng Surya Mentaram. Bahwa sebaiknya – atau sebenarnya , kita sebagai manusia telah diuntungkan. Dan itulah cara menghadapi hidup. Ajaran ini pernah sangat popular pada masanya, sekitar tahun 60an, dan mengalami kritikan karena dianggap terlalu pasif, tidak memberikan gairah. Mungkin tidak harus dipahami sebagai “masih untung kaki kiri yang patah dan bukan dua-duanya”, melainkan sebagai masih ada kaki dan sanggup meneruskan langkah.
Dengan demikian bersyukur sekaligus juga sikap reflektif akan apa yang terjadi di masa lalu, dan bagaimana bisa melalui. Ada kekuatan yang kadang tak sepenuhnya kita pahami yang membimbing sepenuhnya, di samping kemampuan personal dan daya pikir kita. Dengan demikian ada optimistis yang muncul, ada keberanian, ada rasa aman, ada yang sesuatu yang melindungi dan menyertai kita. Apa pun namanya, dan bagaimana pun wujud dan cara kerjanya. Itu yang membuat kita bersyukur, karena selalu dan selalu menemukan alasan nyata untuk bersyukur.
Dan dengan demikian saya merasa lebih tenang menjalani hari-hari, menghadapi cobaan atau godaan, kenakalan dan atau kecemasan . Termasuk hal-hal sepele seperti terjebak dalam kemacetan, seperti terjadi salah paham, seperti ketidak-tahuan, seperti juga hal-hal yang tak sepenuhnya bisa dipahami sebab musababnya.
Bersyukur adalah doa yang terucap, atau terungkap dalam sikap. Baik yang dianjurkan atau diterangkan oleh siapa, atau kita “temukan” dalam rumusan pemahaman kita sendiri. Dan semua itu menjadikan indah, kuat, tegar dan memudahkan tersenyum.
Arswendo Atmowiloto
Koran Jakarta, 26/03/2016
Budayawan
0 comments:
Post a Comment