Riduan Situmorang--Ada selentingan yang membuat kupingku panas ketika ada
yang mengatakan kalo alasan mengapa Ahok itu berani adalah karena ada naga di
baliknya. Karena kupingku panas, fungsinya untuk mendengar akhirnya tidak maksimal
lagi. Mereka berteriak pun, saya tak juga bisa mendengar dengan baik. Semua bising.
Semua recok. Maka, satu-satunya jalan ke luar dari kebisingan itu adalah
mendengarkan hatiku.Untung hatiku masih bisa diajak kompromi. Masih bisa disuruh memilah yang baik dan yang buruk. Hanya memang, saya belum yakin, yang kemudian saya pilih dari pilahan itu apakah baik atau buruk. Apakah alami atau busuk.
Hatiku bilang begini, Ahok itu memang berani. Beraninya bahkan tak tanggung-tanggung. Pada sebuah acara di Metro TV, tepatnya Mata Najwa, Ahok pernah bilang kalo Tuhan misalnya ngaco, Ahok pasti ngajak duel dengan-Nya. Saya berucap dalam hati, “Ini Ahok manusia apa ngga?”
Ya, tentang Tuhan, kita memang tak pernah bisa habis membahas. Semakin dikupas, semakin kita blingsatan mencari-Nya. Emosi pun semakin bertumpuk-tumpuk hingga tak terasa, tangan bisa melayang, senjata bisa meledak, pisau bisa menerkam, dan Tuhan menjadi obralan sadis.
Nah, di saat-saat seperti ini juga, telingaku pun acap panas. Kadang hatiku juga bahkan ikut panas. Kalau tak ada yang meneduhkan, bisa-bisa aku meledak sendiri. Tetapi, untung saat ini hatiku masih sejuk, pikiranku masih waras, dan telingaku kuarahkan ke dalam.
Sebab, andai aku mengarahkan telinga ke luar, aku akan tersesat. Soalnya begini, semakin aku banyak mendengar ke luar, biasanya yang lahir hanya hasutan demi hasutan. Pada saat seperti itu, hatiku yang adalah milikku sering kali justru bukan milikku lagi. Lagian, kalo begini adanya, Tuhan itu justru akan sering dicabik-cabik. Tuhan sering dibikin jadi milik privasi.
Ya, saya membahas Tuhan di sini karena di DKI, Ahok juga mengajak duel Tuhan. Untung Tuhan tak gemas mendengarnya. Dan, untung pula Ahok hanya bercanda. Tapi, masalahnya adalah, manusia-manusia di sana juga sering mengadu Tuhan dan Ahok. Disuruhlah begini: Ayo, pilih Tuhan atau Ahok? Ayo, Ahok itu umat Tuhan atau tidak? Ah? Ini apa? Kok berani kali? Kalo Ahok bukan umat Tuhan, jadi umat siapa?
Ah, ternyata, yang punya naga bukan hanya Ahok. Jika Ahok berani melawan Tuhan kalo Dia bikin ngaco, manusia lainnya justru berani meniadakan ciptaan Tuhan meski ga lagi kaco.
Saya tak tahu gimana lagi menceritakan peristiwa ini bagaimana. Kita menyembah Tuhan, kita dibasmi. Kita ga nyembah Tuhan pun, kita dibasmi karena akan dicap sebagai yang atheis. Kita lantas harus di mana?
Saya jadi teringat pada John Lenon, artis tersohor dari The Beatles. Dia menulis lagu Imagine. Di lagu itu, John Lenon menulis andai Tuhan tidak ada, andai agama tidak ada, andai surga dan neraka tidak ada. Sebab bagi Lenon, surga dan neraka selama ini jadi petaka. Negara juga menjadi pengekang. Tapi, karena bayangan itu, Lenon dituduh menjadi seorang atheis yang bebas sebebas-bebasnya.
Terlepas, apakah Lenon atheis atau tidak bagi saya tidak penting. Terlepas kemudian John Lenon ditembak mati, bahkan oleh penggemar beratnya sendiri karena tak suka idolanya menjadi atheis, itu juga tak penting. Yang penting bagi saya adalah mimpinya tentang perdamaian. Tuhan sudah pasti merindukan perdamaian sehingga bagi Dia, agama tak peting. Yang penting adalah damai dan damai. Itu saja!
Dan yang lebih penting lagi, saya berharap damai itu bukan karena imbalan. Maksudnya begini, kita berbuat baik itu bukan agar masuk surga. Kita juga takut berbuat jahat itu bukan karena takut masuk neraka. Ya, berbuat baik karena memang untuk berbuat baik. Sebab, jika kita berbuat baik hanya untuk imbalan kebaikan, di mana kebaikan kita.
Seperti begini, jika kita menghormati orang tua kita hanya karena dia orang tua kita, di mana letak kebaikan kita? Kecuali kita baik pada orang tua yang lain yang tidak kita kenal, itulah bagi saya kebaikan yang alami, apalagi kalau itu tanpa iming-iming imbalan, tentu saja.
Saya berharap hal yang sama juga terjadi pada Ahok. Ahok berani, ya, bukan karena ada naga di baliknya. Ahok berani ya cukuplah karena dia berani melakukan itu untuk kebaikan. Bukan agar masuk surga, bukan agar terhindar dari neraka, terlebih bukan agar terpilih menjadi Gubernur DKI. Ya, kalo pun Ahok berani karena memang ada naga di baliknya, mudah-mudahan naga itu adalah Tuhan.
Yang pasti, saya pengennya berteriak kepada orang yang menuduh kalo Ahok itu berani karena ada naga di baliknya. Teriakan saya begini: “Apa koruptor berani korupsi bukan karena memang ada naga di baliknya?” Apakah tuduhanmu kepada Ahok murni atas dasar kebaikan, atau karena ada naga lain yang memaksamu untuk melakukan itu?”
Ah, terserahmulah! Saya hanya menyesal mengapa Rabiah Al Adawiyah—sufi terkenal di Irak pada abad 8 Masehi—tidak berhasil membakar agar surga lenyap. Saya lebih menyesalnya karena dia juga tak berhasil memadamkan api di neraka. Andai surga itu dilenyapkan dan neraka ditiadakan, oh, betapa indahnya ketika manusia beribadah pada Tuhannya hanya karena kecintaannya kepada Tuhan, bukan karena takut neraka dan rindu surga. Inilah mungkin yang diimpikan John Lenon.
Ini bukan tentang ateisme, ini tentang cinta dengan Tuhan yang sudah sangat intim. Ini juga bukan tentang naga di balik Ahok, tetapi soal siapa Naga di balikmu! Saya berharap, Naga itu tersenyum yang lalu memanggulmu dan berkata, “Nak, coba lihat Aku! Pernahkah Aku menghinamu meski kau hanya terbuat dari debu tanah?” Lalu kau menggeleng dan Naga itu melanjutkan, “Nah, kenapa kau selalu membuat Aku berada pada posisi sejajar, dan bahkan berlawanan dengan Ahok?”
Setelah kalimat dari Sang Naga itu bergulir, aku pun berharap kau dapat menjawabnya. Menjawabnya dengan cara: jangan dengan mengarahkan telingamu ke luar, tetapi mendengar jeritan hatimu. Tapi yang penting, pastikan dulu, kau punya hati atau tidak!
Riduan Situmorang
Pencinta Humor yang Tak Lucu






0 comments:
Post a Comment