Pengertian yang dapat kita simak dari kenyataan di atas adalah bahwa dalam sehari saja ternyata sekurang-kurangnya terjadi 959 kasus perceraian atau 40 kasus setiap jamnya. Ini fenomena yang mengerikan, bahkan tak dapat dijelaskan. Bagaimana mungkin mereka bercerai setelah sebelumnya saling mencintai, berjanji di hadapan Tuhan, adat, dan hukum untuk saling menjaga, tak terpisahkan, kecuali oleh maut?
Ini juga menjadi sesuatu yang sangat menggeramkan karena merupakan bentuk dari pendangkalan janji. Saya tak mau bilang, ayo, terus lanjutkan pernikahanmu yang meski harus menderita dan tersiksa secara fisik dan psikis! Tetapi, ada hal yang lebih urgen untuk ditanyakan: sudah siapkah menikah atau memang hanya untuk status, ikut-ikutan, dan heboh-behohan saja?
Anak Menjadi Benda
Atau, yang lebih parah, jangan-jangan, pengertian pernikahan itu pun tak dipahami? Hanya karena orang tua mendesak, kita mau? Hanya karena tampan dan ganteng, kita kepincut? Hanya karena kaya, kita tiba-tiba “dewasa” dan bermaksud sesegera mungkin menikah? Pada akhirnya, pernikahan itu semua dilakukan tanpa pemikiran. Kenal pun tidak sehingga masih saja usia pernikahannya seumur jagung, eh, semua sudah berantakan!
Kita tiba-tiba menjadi egois. Tak mempertimbangkan dampak lanjutan. Dalam perceraian, misalnya, kita buta pada efek yang lebih mengerikan dari peristiwa kehancuran keluarga. Efek itu adalah bukan bagaimana dua manusia yang dulunya diikat oleh janji suci tiba-tiba berpisah, tetapi perihal bagaimana nasib anak hasil dari pernikahan itu kelak? Seperti yang kita ketahui dan fakta sudah banyak membuktikan, anak dari hasil pernikahan acap diperlakukan tak ubahnya ibarat harta warisan.
Anak yang adalah manusia dibuat semacam benda atau barang yang bisa diperjualbelikan. Karena itu, anak menjadi bahan rebutan tanpa berpikir sama sekali untuk mendidik. Hak anak diabaikan. Inilah sejatinya yang dapat ditafsir menjadi awal dari keruntuhan sebuah nehara. Bukankah negara ini adalah kumpulan dari keluarga?
Ya, keluarga yang seringkali dianalogikan semacam kapal menjadi kapal-oleng setelah para penumpangnya kasak-kusuk. Nahkodanya tak lagi punya haluan, juga tak punya keinginan untuk menyelamatkan kapal. Nahkdoa malah cari selamat sendiri. Imbasnya, kapal semakin oleng, bopeng, dan bocor di sana sini. Sedikit saja ombak menumpas, kapal itu sudah pontang-panting. Jangankan membendung segala serangan, keluarga bahkan menjadi serangan itu sendiri.
Kalau sudah begini keadaannya, segala macam keriuhan dunia mudah saja merangsek ke keluarga. Narkotik, misalnya, tiba-tiba sudah menjadi konsumsi anak. Pornografi dan pergaulan bebas yang dulu tabu menjadi industri biasa dan dibiasakan. Akibat lanjutan lainnya, HIV/AIDS melenggang begitu saja. Aborsi menjadi rahasia bersama. Konon, ada dua juta bayi per tahunnya yang diaborsi.
Kapal yang sudah kupak-kapik tadi akhirnya semakin kritis. Masalah membuncah dan perceraian pun di ambang pintu. Nasib suami dan istri ke depan tidak lagi ditentukan oleh mereka, tetapi oleh mafia melalui hukum. Di sana, jangan berpikir lagi ada lagi kekerluargaan. Jangan pula kira bahwa cinta yang dulu dapat menjadi rujukan. Tangisan anak yang ingin agar kedua orang tuanya rujuk bahkan sebisa mungkin dibaikan. Jangan-jangan, salah satu dari kedua pihak saling menghasut agar si anak membenci ayah atau ibunya.
Ini terjadi karena memang semua sudah ingin lekas-lekas saja bubar, saling mengejar, bila perlu dengan sikap tak wajar: barbar. Ada yang mengejar harta gono-gini, ada yang mengejar hak asuh, ada yang mengejar warisan. Semua serba mengejar hingga segalanya kucar-kacir. Lalu, di mana waktu untuk memikirkan nasib anak? Bukankah anak menjadi penerus dan pewaris kita, bahkan mungkin menjadi tujuan utama dari perkawinan itu selain menyatukan rasa cinta yang dulu pernah bergelora di dada mereka?
Pertanyaan reflektifnya: kalau begini adanya, apa yang kita teruskan dan kita wariskan kelak, kecuali kalau bukan kekurangajaran dari kita sendiri? Apa pula hak kita ke depan mengatakan bahwa generasi penerus harus lebih baik, padahal, kita sama sekali tak menabung kebajikan dan kebaikan di pundak dan hati mereka? Bagaimana juga kita memaksakan mereka untuk menghormati orang tua, sementara kita mengabaikan hak mereka? Pertanyaan yang paling penting: mengapa kecekceokan ini terjadi, padahal, bukankah sebelumnya mereka memutuskan berkeluarga setelah merasa ada kecocokan?
Melulu Reproduksi
Berbagai jawaban boleh dijejerkan. Tetapi, penyebab utama dari segala masalah itu adalah karena keluarga sudah melulu urusan reproduksi, tanpa komunikasi dan diskusi. Apalagi kini kita tengah dikungkung era digital, tendensi komunikasi menjadi sangat dangkal. Komunikasi tidak lagi bertatap muka. Yang tak kenal memang bisa saling menyapa, tetapi yang saling kenal juga bisa tak saling menyapa.
Dari sini, lahirlah kecurigaan satu sama lain. Ada yang menuduh selingkuh, ada pula yang benar-benar selingkuh. Alasan boleh dijejerkan, misalnya, karena tak diperhatikan. Dan, tidak diperhatikan pula terjadi karena komunikasi terlanjur dangkal. Keluarga akhirnya menjadi kata-kata usang. Ayah cukup sebagai pemberi nafkah, tak perlu lagi menasihati. Istri bagi suami cukup sebatas pelengkap identitas di kartu keluarga. Dan, manakala mereka bosan karena komunikasi dangkal, mereka saling menyerang!
Nah, situasi yang beginikah yang kita harapkan ada pada generasi mendatang? Apakah kita masih akan berdiam menyaksikan berjuta penelantaran anak? Masihkah kita puas dengan mencukupkan diri sebagai mafia peradilan di pengadilan perceraian? Masihkah kita bungkam pada kekerasan distorsi kesakralanan sebuah pernikahan, sebuah janji teguh pada Tuhan, pada agama, pada hukum, terutama pada hati sendiri?
Di kolom ini, dengan niat tulus, kita mau menyadarkan bahwa kesuksesan negara ini ada pada kelanggengan komunikasi keluarga. Suami dan istri yang saling mendamaikan akan menularkan kedamaian pada anaknya, anaknya akan melahirkan kedamaian pula. Begitu setersunya. Maka itu, kiranya diperlukan kini, bahkan itu sangat mendesak agar pemerintah mengkaji pembelajaran pernikahan diintegrasikan pada dunia pendidikan.
Soal bagaimana itu akan diterapkan, pemerintah harus berpikir. Yang pasti, pembelajaran pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting. Demi bangsa ini dan demi masa depan kita. Kita menyarankan, apabila kelak itu dapat dipertimbangkan, baiknya pembelajaran itu ditempatkan pada perkualiahan, tepatnya di semester akhir. Memang, akan timbul masalah kelak, apakah orang yang tak kuliah tak akan mendapat hak untuk belajar pernikahan? Pertanyaan itu benar, tetapi apakah kita masih bermimpi bahwa tahun-tahun depan tak meningkatkan wajib belajar hingga ke perguruan tinggi?
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan
0 comments:
Post a Comment